Kamis, Oktober 29, 2009

TERAPI STRES.. - dari sebuah buku di perputakaan nasional -

TERAPI STRES


1. Sumber terbaik untuk penanggulangan stress adalah keyakinan dasar, bahwa di tengah segala kekacauan yang ada, dunia dan segala isinya tetaplah baik adanya.
2. Pengaruh stress terhadap kehidupan, bukan ditentukan oleh apa yang terjadi pada Anda, tetapi pada cara Anda menghadapi dan menanggapinya.
3. Jangan terburu-buu mengejar keberhasilan dan kesuksesan, tenang, karena bisa saja Anda melewatkan bagian terbaik kehidupan.
4. Jangan membesaran kekhawatiran terhadap sesuatu yang tidak pasti dan berusahalah mengkontrol masalah.
5. Menerima hidup dengan suka cita dan rasa syukur, beranggapan bahwa hidup itu harus bebas stres, justru akan membuat hidup Anda menjadi lebih stres bila ternyata kenyataaan tidak berjalan sesuai dengan harapan.
6. Ubah sikap Anda, karena stres ada di mata dan di hati orang yang melihatnya, kita bisa menghilangkan stres walau keadaan luar diri kita tidak berubah.
7. Berfikir bahwa, harus menyelesaikan masalah dengan kekuatan sendiri adalah kurang baik. Bila kita bisa menyadari kebutuhan kita terhadap orang lain dan berani memintanya maka itu akan jauh lebih baik. Jangan ragu minta tolong.
8. Kasihi dan sayangilah diri sendiri, yakin bahwa kita bisa maju terus tanpa perduli orang lain berpihak pada kita atau tidak.
9. Saat stres, kita mudah/cenderung berkata dan berfikir negatif pada diri sendiri. Jadi hindarilah itu. Katakan pada diri sendiri: saya layak, saya dicintai, saya berbakat, saya mampu untuk meraihnya, dan yakinilah fikiran itu!
10. Jangan selalu menyenangkan orang lain, boleh menghargai/mencintai orang lain tetapi jangan menggadaikan hidup Anda pada mereka.
11. Apabila mulai cemas, carilah secepat mungkin kesempatan untuk bersantai, rileks kan diri Anda sekarang juga!
12. Tarik napas dalam-dalam dan pelan dari perut, dan hembuskan perlahan, lepaskan tekanan dan kecemasan yang mengganggu.
13. Melakukan suatu kebaikan untuk orang lain, adalah pelepasan stress yang besar, buatlah kue untuk tetangga yang kesepian, menelpon sahabat lama, berkunjung pada teman yang sudah lama tidak bertemu.
14. Tidur yang cukup, jangan pakai waktu tidur untuk memikirkan masalah.
15. Ampuni sesama Anda, orang yang berbuat salah pada Anda, pahami kesalahan orang lain seperti memahami kesalahan sendiri, dendam dan penyesalan yang berkepanjangan/berlebihan membuang energi.
16. Menyatulah dengan nilai-nilai dan norma sesuai keyakinan Anda, dan berbuatlah menurut nilai-nilai itu, karena hidup sesuai norma yang diyakini akan menolong di saat stres.
17. Berterima kasih pada keberhasilan diri sendiri
18. Nikmati hidup, bangun pagi, nikmati udara segar pagi hari, kicauan burung, memandang sunset.
19. Perhatikan makan. Kapan makan dan apa yang di makan. Makan makanan sehat dan bersama orang yang Anda dicintai bisa menyehatkan tubuh dan memulihkan jiwa Anda.
20. Tertawalah dengan lepas saat ada momen untuk tertawa. Humor sangat membantu menghilangkan stres.
21. Kesehatan yang baik memerlukan sentuhan manusia. Berangkulan dengan saling menepuk bahu, berjabat tangan, olahraga bersama, bermain, menari bersama dapat membantu menciptakan kontak manusiawi (yang tidak berlebihan) untuk menghindari ketegangan akibat stres.
22. Berikan waktu berharga untuk diri sendiri yang bebas dari gangguan siapapun dan apapun.
23. Berjalan. Berjalan secara teratur, mampu menangkal stres. Berjalan cepat baik bagi tubuh. Berjalan santai dengan jarak yang cukup jauh merilekskan perasaan, berjalan sendiri memberikan keheningan, berjalan bersama orang lain memperdalam hubungan.
24. Adalah penting untuk mengkomunikasikan pertentangan yang mungkin timbul, dengan orang-orang yang terlibat dalam situasi tertentu yang mungkin bisa menimbulkan stres. Misalnya partner kerja, keluarga di rumah. Pertentangan antara tuntutan kerja dan hubungan internal keluarga menuntut komunikasi yang baik dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Jadi berikanlah penjelasan sebelumnya.
25. Bebaskan diri, melakukan kesenangan atau hobi secara privasi, seperti memancing atau bepergian sendiri. Singkirkan dulu tanggung jawab dan beban sementara, untuk merefresh jiwa Anda.
26. Kenali sebab stres, akar masalahnya, lalu selesaikan secara perlahan.
27. Bila sudah bertemu akar masalahnya, analisa: bisakah Anda berhadapan dengan faktor itu? Bila tidak, maka rubahlah sikap dan cara pandang Anda.
28. Untuk pencegahan, istirahat yang cukup. Jalan-jalan sekeliling tempat kerja, menikmati sarapan pagi dengan bersyukur dan siap memulai hari.
29. Tentukan misi/tujuan hidup!

rencana proposal disertasi

PERKEMBANGAN DAYA KOGNISI ANAK AUTISTIK

A. Latar Belakang Masalah
Rentang kehidupan manusia telah dibagi oleh ahli psikologi ke dalam beberapa masa, dimana dalam setiap masanya ada tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai dan tercapai. Karena pencapaian tugas perkembangan pada satu tahapan kehidupan mempengaruhi pencapaian perkembangan pada tahap atau masa berikutnya. Pada rentang umur 2 sampai 6 tahun anak dikatakan berada pada masa Anak Awal (early childhood). Pada usia ini, terdapat berbagai macam istilah yang dapat diberikan, yaitu:
1. Orang tua sering menyebutnya dengan “problem age” atau “troublesome age”. Karena, pada periode ini orang tua sering dihadapkan pada problem tingkah laku, misalnya keras kepala, tidak menurut, negativisme, tempertantrums, mimpi buruk, iri hati, ketakutan yang tidak masuk akal pada siang hari, dan sebagainya.
2. Para pendidik menyebut periode ini sebagai usia pra sekolah (pre-school age), yaitu periode persiapan untuk masuk sekolah dasar. Biasanya anak-anak usia 2-6 tahun memasuki Taman Kanak-kanak.
3. Para psikolog memberikan istilah pada periode ini sebagai usia pra gang (pre-gang age). Dikatakan demikian, karena anak harus mulai belajar dasar-dasar tingkah laku sosial sebagai persiapan untuk penyesuaian dirinya terhadap kehidupan sosial yang lebih tinggi nanti setelah dewasa.
4. Selain itu, para psikolog juga menyebut periode ini sebagai periode eksplorasi. Hal ini disebabkan karena perkembangan yang utama pada periode ini ialah menguasai dan mengontrol lingkungan. Mereka selalu ingin tahu apa dan bagaimana lingkungan itu. Sehingga periode ini juga disebut dengan usia bertanya (questioning age).
Pada masa ini, berbagai gangguan perkembangan bisa saja menyerang anak dan melumpuhkan kemampuannya untuk berkembang, salah satunya adalah sindrom autisme (autism syndrome). Yaitu sebuah kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada ketidakmampuan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Istilah Autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme berarti aliran, sehingga autisme adalah suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Oleh karena itu autistik adalah suatu gangguan perkembangan kompleks yang menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun, namun pada autistik infantil gejala yang diartikan memiliki keanehan dalam bersosialisasi dengan dunia di luar dirinya. Banyak penderita dengan sindrom ini memiliki inteligensi rata-rata atau sering kali juga di atas rata-rata, tetapi umumnya mereka sudah didiskreditkan sejak awal, demikian menurut Kanner.
Dalam sebuah Kamus Lengkap Psikologi, autisme didefinisikan sebagai cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri, dimana penderita menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri dan menolak realitas, serta keasyikan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri. Anak autistik adalah anak dengan kecenderungan diam dan suka menyendiri yang ekstrim. Anak autistik bisa duduk serta bermain-main selama berjam-jam lamanya dengan jari-jarinya sendiri atau dengan serpihan-serpihan kertas. Tampaknya anak tersebut tenggelam dalam satu dunia fantasi batiniah sendiri.
Autisme merupakan salah satu defisit perkembangan pervasif pada awal kehidupan anak yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak yang ditandai dengan ciri pokok yaitu terganggunya perkembangan interaksi sosial, bahasa dan wicara, serta munculnya perilaku yang bersifat repetitif, stereotipik dan obsesif.
Gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan atau hendaya perkembangan ini memiliki ciri kelainan fungsi dalam tiga bidang interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang.
Gangguan ini membuat anak autistik tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.
Autisme ini merupakan suatu kecatatan perkembangan yang dengan mantap mempengaruhi komunikasi lisan dan non lisan serta interaksi sosial pada usia di bawah 3 tahun yang berdampak pada perolehan pendidikan anak, dimana anak tersebut sering melakukan pengulangan aktifitas, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan rutinitas harian dan tanggapan yang tidak lazim terhadap perasaan. Gejala yang timbul pada anak autistik sangatlah bervariasi. Saat ini yang lebih banyak dikenal, karena lebih banyak menyerang anak-anak adalah istilah Autistic Spectrum Disorder atau Gangguan Spektrum Autistik.
Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak, gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya bisa melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun. Yaitu antara lain tidak adanya kontak mata, dan tidak menunjukkan responsif terhadap lingkungan. Jika kemudian tidak diadakan upaya terapi, maka setelah usia 3 tahun perkembangan anak terhenti atau mundur, seperti tidak mengenal suara orang tuanya dan tidak mengenali namanya.
Penyebab yang pasti dari autisme tidak diketahui, yang pasti hal ini bukan disebabkan oleh pola asuh yang salah. Penelitian terbaru menitikberatkan pada kelainan biologis dan neurologis di otak termasuk ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik dan gangguan kekebalan. Beberapa kasus mungkin berhubungan dengan infeksi virus (rubella congenital atau cytomegalic inclusion disease), fenilketonuria (suatu kekurangan enzim yang sifatnya diturunkan) dan sindroma X yang rapuh (kesalahan kromosom).
Menurut Lumbantobing, penyebab dari autisme dapat dipengaruhi oleh:
1. Faktor keluarga dan psikodinamik
Mulanya diperkirakan gangguan ini akibat kurangnya perhatian orang tua, tetapi penelitian terakhir tidak menemukan adanya perbedaan dalam membesarkan anak pada orang tua anak normal dari orang tua anak yang mengalami gangguan ini. Namun beberapa anak autisme berespon terhadap stressor psikososial seperti lahirnya saudara kandung atau pindah tempat tinggal berupa eksaserbasi gejala.
2. Kelainan organo-biologi-neurologi
Berhubungan dengan lesi neurologi, rubella kongenital, cytomegalovirus, ensefalitis, meningitis, fenilketonuria, tuberous sclerosis, epilepsi dan fragilee X syndrome. Penelitian neuroanatomi menunjukkan bahwa autisme akibat berhentinya perkembangan dari cerebellum, cerebrum dan sistem limbik. Pada MRI ditemukan hipoplasi vermis cerebellum lobus VI dan VII. Pada sekitar 10-30% anak dengan autisme dapat diidentifikasi faktor penyebabnya
3. Faktor genetik
Pada survey gangguan autisme ditemukan 2-4% saudara kandung juga menderita gangguan autisme. Pada kembar monozygot angka tersebut mencapai 90% sedang akan kembar dizigot 0%
4. Faktor imunologi
Terdapat beberapa bukti mengenai inkompatibilitas antara ibu dan fetus, dimana limfosit fetus bereaksi terhadap antibodi ibu, sehingga kemungkinan menyebabkan kerusakan jaringan syaraf embrional selama masa gestasi.
5. Faktor perinatal
Tingginya penggunaan obat pada selama kehamilan, respiratory disstres syndrome, anemia, neonatus
6. Penemuan biokimia
Pada sepertiga dari penderita autisme ditemukan peninggian serotonin plasma. Selain itu terdapat peninggian asam homovanilik pada cairan liquor cerebrospinal.

Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autisme atau tidak, digunakan standar international tentang autisme. ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk autisme infantil yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah : Harus ada sedikitnya gejala dari (1), (2) dan (3) seperti di bawah ini, dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3).
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal ada 2 gejala dari yang tertera berikut ini:
a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju, apabila dipanggil tidak menengok. Perilaku anak autistik sering menunjukkan emosi yang tidak sesuai. Beberapa anak menjerit atau tertawa dengan sedikit atau tanpa provokasi, tetapi dapat pula terlihat gejala perilaku lain seperti hiperkinesis yang sering berganti-ganti dengan hiperaktifitas, agresifitas dan temperamen perilaku melukai diri sendiri seperti mencakar, menggigit dan menarik rambut. Penderita austistik hampir tidak menunjukkan perilaku emosional, yang terlihat hanya duduk dan memandang ke ruang kosong Mereka tidak menunjukkan rasa kecewa atau tidak senang bila berpisah dengan orang tuanya atau tidak gembira bila orang tua mereka datang kembali kedekatnya, hal ini dikarenakan terdapatnya gangguan kedekatan (attachment).
b. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya, senang menyendiri
Yang dimaksud adalah kegagalan untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sesuai menurut tingkat perkembangannya. Secara fisik mereka akan menjaga jarak dengan teman lain, tidak pernah memulai dan hanya sedikit berespon terhadap interaksi sosial. Fungsi luhur penyandang akustik dewasa muda cenderung memperlihatkan kurang kooperatif di dalam kelompoknya bermain.
c. Kurangnya hubungan timbal balik sosial dan emosional.
Yang dimaksud dengan istilah hubungan sosial yang timbal balik adalah kapasitas yang dinamis untuk mempertahankan interaksi yang cocok. Hubungan sosial yang timbal balik bukanlah ketrampilan tunggal tetapi lebih pada hasil dari gabungan ketrampilan, hanya beberapa yang sudah diketahui. Interaksi verbal merupakan hal yang dimaksud dengan hubungan emosional yang timbal balik yaitu kondisi yang menunjukkan keakraban yang lazimnya terhadap orang tua mereka dan orang lain, pada penderita austistik gagal menjalani hubungan ini. Kegagalan dalam membuat persahabatan, kejanggalan dan ketidaksesuaian sosial terutama kegagalan untuk mengembangkan empati. Pada masa remaja akhir, orang austik tersebut yang paling berkembang seringkali memiliki keinginan untuk bersahabat, tetapi kecanggungan pendekatan mereka dan ketidakmampuan utuk berespon terhadap minat, emosi dan perasaan orang lain adalah hambatan yang utama dalam mengembangkan persahabatn. Kesulitan ini dideskripsikan sebagai kegagalan dalam hubungan timbal balik dan memberikan disorganisasi yang sifat dan perkembangan yang tidak seimbang dari ketrampilan sosial.
d. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain
Yang dimaksud adalah tidak adanya keinginan spontan untuk berbagi rasa, kesenangan minat atau pencapaian dengan orang lain, misalnya tidak memamerkan, membawa atau menunjukkan benda yang menarik minat. penderita austistik juga mengalami kegagalan mengenali perasan orang lain. Anak austik tidak dapat menggunakan ketrampilannya dengan efektif karena tidak mampu menunjukkan dan memperlihatkan sesuatu hal yang dimaksud. Anak austistik seringkali menggunakan isyarat, meraba dan mengambil barang bukan dengan jarinya tapi menganggap orang lain sebagai benda misalnya dengan memegang tangan orang itu dan menempatkan pada suatu barang yang diinginkan. Setelah tujuan tercapai, anak austistik kurang mampu untuk melanjutkan pada aktifitas lain, tetapi biasanya mengulang kembali aktifitas yang semula.
e. Kurangnya kemampuan untuk bisa membagi kegembiraan dan kesenangan pada orang lain.

2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada1 dari gejala di bawah ini :
a. Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal.
b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru

3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan. Minimal ada 1 gejala dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya
c. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda

4. Adanya gangguan emosi
a. Tertawa, menangis, marah-marah tanpa sebab
b. Emosi tidak terkendali
c. Rasa takut yang tidak wajar

5. Adanya gangguan persepsi sensorik
a. Menjilat-jilat dan mencium-cuim benda
b. Menutup telinga bila mendengar suara keras dengan nada tertentu
c. Tidak suka memakai baju dengan bahan yang kasar
d. Sangat tahan terhadap sakit

Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1) interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, dan (3) cara bermain yang monoton, kurang variatif. Bukan disebabkan oleh gangguan disintegrasi masa kanak, namun kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autisme ringan. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya gangguan atau penyakit lain yang menyertai gangguan autis yang ada, seperti retardasi mental yang berat atau hiperaktifitas. Autisme memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan , tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada.
Bila disimpulkan maka secara umum penderita autisme klasik memiliki 3 gejala yaitu: sulit sekali berinteraksi, gangguan komunikasi verbal, sering tertawa terbahak-bahak tidak pada tempatnya, kegiatan dan minat yang aneh, menyukai sesuatu dengan cara yang aneh dan berlebihan, suka berjinjit (berjalan dengan jari kakinya saja), kurang/tidak suka berkontak mata dengan siapapun, tidak suka dipeluk, disayangi atau menyayangi, sering menarik diri dalam pergaulan/keramaian, tidak perduli bahaya, tahan rasa sakit, terpaku pada benda tertentu, sering berputar atau memutarkan benda, mudah sekali mengamuk, secara fisik hiperaktif, atau bahkan tidak aktif sama sekali, tidak tertarik dengan metode pengajaran biasa, sangat membenci rutinitas.
Orang tua memainkan peran yang sangat penting dalam membantu perkembangan anak. Seperti anak-anak yang lainnya, anak autis terutama belajar melalui permainan, bergabunglah dengan anak ketika dia sedang bermain, tariklah anak dari ritualnya yang sering diulang-ulang, dan tuntunlah mereka menuju kegiatan yang lebih beragam. Misalnya orang tua mengajak anak mengitari kamarnya kemudian tuntun mereka ke ruang yang lain. Orang tua perlu memasuki dunia mereka untuk membantu mereka masuk ke dunia luar.
Kata-kata pujian karena telah menyelesaikan tugasnya dengan baik, kadang tidak berarti apa-apa bagi anak autis. Temukan cara lain untuk mendorong perilaku baik dan untuk mengangkat harga dirinya. Misalnya berikan waktu lebih untuk bermain dengan mainan kesukaannya jika anak telah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Anak autis belajar lebih baik jika informasi disampaikan secara visual (melalui gambar) dan verbal (melalui kata-kata). Masukkan komunikasi agumentative dalam kegiatan rutin sehari-hari dengan menggabungkan kata-kata dan foto-foto, lambang atau isyarat tangan untuk membantu anak mengutarakan kebutuhan, perasaan dan gagasannya. Tujuan dari pengobatan adalah membuat anak autis berbicara tetapi sebagian anak autis tidak dapat bermain dengan baik, padahal anak-anak mempelajari kata baru dalam permainan, sebaiknya orang tua tetap berbicara kepada anak autis sambil menggunakan semua alat komunikasi dengan mereka, apakah berupa isyarat tangan, gambar, foto, tangan, bahasa tubuh manusia maupun tehnologi. Jadwal kegiatan sehari-hari, makanan dan aktifitas favorit serta teman dan anggota keluarga lainnya bisa menjadi bagian dari sistem gambar dan membantu anak untuk berkomunikasi dengan dunia di sekitarnya.
Anak autis memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak-anak lainnya, dan hak ini telah dilindungi oleh peraturan pemerintah maupun secara universal. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan tahun 1989, telah mendeklarasikan hak-hak anak, dan ditegaskan bahwa semua anak berhak memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Deklarasi tersebut dilanjutkan dengan The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education yang memberikan kewajiban bagi sekolah untuk mengakomodasi semua anak termasuk anak-anak yang memiliki kelainan fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik maupun kelainan lainnya. Sekolah-sekolah juga harus memberikan layanan pendidikan untuk anak-anak yang berkelainan maupun yang berbakat, anak-anak jalanan, pekerja anak, anak-anak dari masyarakat terpencil atau berpindah-pindah tempat, anak-anak dari suku-suku yang berbahasa, etnik atau budaya minoritas dan anak-anak yang rawan termarjinalkan lainnya.
Di Indonesia, Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5, ayat 1 s.d. 4 telah menegaskan bahwa:
1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), sejak tahun 1979 sudah ada sekolah umum yang menerima ABK untuk belajar bersama-sama anak-anak normal lainnya karena orang tua menginginkan anak mereka mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah umum dan bukan di sekolah luar biasa (SLB). Searah dengan perkembangan pendidikan baik di luar dan di dalam negeri, pada tahun 2003 Dirjen Dikdasmen menerbitkan SE no. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif yang menyatakan bahwa penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif di setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya empat sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.
Sejalan dengan itu, dewasa ini, telah lebih mudah ditemui lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal, yang berfokus pada pendidikan anak autisme, sehingga memudahkan masyarakat yang ingin mengetahui informasi mengenai autisme. Salah satu yang benar-bvenar memfokuskan diri pada bidang perluasan informasi dan wawasan mengenai autisme adalah Yayasan Autisme Indonesia. Yayasan ini memfokuskan diri bukan pada pelatihan dan pembelajaran anak autisme, melainkan menjadikan dirinya sebagai pusat informasi autisme bagi masyarakat. Yayasan ini mengumpulkan data tentang lembaga-lembaga pembelajaran anak autistik di seluruh jabodetabek dan juga bekerja sama dengan mereka dalam menyebarluaskan informasi tentang adanya seminar/simposium yang mengangkat masalah autisme.
Adanya yayasan atau lembaga pendidikan/pusat informasi seperti ini sangat menguntungkan masyarakat terutama orang tua yang memiliki anak autistik, karena mereka bisa dengan mudah mendapatkan keterangan dimana lembaga pengasuhan dan pembelajaran anak autistik yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dari lembaga ini pula peneliti mendapatkan informasi alamat dan nomor telpon seluruh lembaga autisme yang ada di jabodetabek. Dari lembaga-lembaga inilah kemudian dikumpulkan data tentang program pengajaran yang diterapkan untuk anak autisme dalam upaya meningkatkan kemampuan kognisinya.
Setiap lembaga yang menangani autisme ini menerapkan terapi, metode dan kurikulum pembelajaran yang berbeda antara satu lembaga dengan lainnya. Walaupun perbedaan itu tidak terlalu besar, karena memang mengikuti standar terapi dan kurikulum yang sudah disetujui sebelumnya oleh psikolog atau pakar pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, dan kurikulum yang diterapkan tersebut berbeda dengan yang ada di sekolah umum. Ini disebabkan kondisi anak autistik yang tidak bisa mengikuti pelajaran dengan metode yang biasa. Pemberian kurikulum ini juga mempertimbangkan gejala yang diderita anak.
Anak autisme tidaklah seluruhnya memiliki kadar IQ yang rendah, sebagian malah memiliki kecakapan istimewa yang terpendam, yang baru akan tersalurkan dengan baik bila pendidik dan terutama keluarga dekatnya memberikan dukungan mental dan kasih sayang yang merupakan obat utama bagi anak autistik. Selain itu pembelajaran dengan metode dan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan mereka juga akan mempercepat proses penyesuaian diri mereka dan untuk selanjutnya bisa membuka jalan agar mereka bisa berprestasi dan maju seperti anak –anak normal.
Karena autisme adalah kekurangan pada saraf otak, maka setiap anak autistik dipastikan mengalami perkembangan kognisi yang jauh lebih lamban dibanding anak normal seumurnya. Perkembangan kognisi yang terlambat dan terhambat itu ditandai antaranya dengan susahnya berkomunikasi verbal dan non verbal, susahnya beradaptasi, sulitnya berkonsentrasi, dan juga sulitnya diajari dengan metode pengajaran konvesional. Oleh karenanya, untuk membuat anak autistik sebisa mungkin hidup seperti anak normal yang pertama diperhatikan adalah daya kognisinya. Karena dengan daya kognisi yang membaik, anak akan semakin bisa hidup mandiri, tidak tergantung pada orang lain, dan itu merupakan awal yang baik bagi kesembuhannya.
Dengan berlatar belakang keadaan ini, maka diupayakanlah penelitian ini untuk mengetahui metode terapi, model pembelajaran dan kurikulum apa saja yang telah dikembangkan oleh yayasan dan lembaga pendidikan autisme, (khususnya daerah jabodetabek) untuk meningkatkan daya kognisi anak autistik.


B. Identifikasi masalah
Dalam penelitian ini ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, yaitu:
1. Apakah informasi tentang autisme ini sudah menyebar rata di masyarakat luas?
2. Apakah pemerintah daerah (pemda) di jabodetabek ikut menangani masalah penanganan autisme di daerahnya masing-masing?
3. Apakah departemen pendidikan nasional kantor wilayah setempat ikut andil dalam mempersiapkan kurikulum atau terapi yang diterapkan lembaga pendidikan autisme?
4. Apakah lembaga pendidikan autisme yang ada di jabodetabek ini melaporkan kurikulum yang digunakan ke Direktorat Pendidikan Luar Biasa departemen pendidikan nasional?
5. Apakah Direktorat Pendidikan Luar biasa memantau perkembangan efektifitas dari metode, terapi dan kurikulum yang diterapkan oleh lembaga pendidikan autisme?
6. Apakah lembaga pendidikan autisme dalam penggunaan kurikulum dan model terapi untuk anak autisme selalu menyesuaikan dengan perkembangan mengenai kurikulum dan model terapi autisme yang diterapkan secara internasional?
7. Apa saja strategi, dan rencana yang dimiliki lembaga pendidikan autisme dalam menerapkan kurikulum dan model terapi terhadap anak penderita autisme?
8. Apa saja faktor penunjang dan penghambat yang mempengaruhi keberhasilan lembaga pendidikan autisme dalam menjalankan misinya?

C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terfokus dalam pembahasan, maka dibatasilah masalah yang ada sebagai berikut:
1. Apa kurikulum dan terapi yang digunakan lembaga pendidikan autisme di jabodetabek?
2. Apa faktor penunjang dan penghambat keberhasilan kurikulum dan terapi yang digunakan lembaga pendidikan autisme?

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat ditentukan rumusan masalah penelitian ini adalah: ”Seperti apa dan bagaimana kurikulum dan terapi yang dijalankan lembaga pendidikan autisme dan apa saja faktor penghambat dan penunjangnya?”

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara kritis pelaksanaan kurikulum dan terapi bagi anak autistik (penderita autisme) dalam upaya peningkatan daya kognitif.
Secara operasionalnya, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan penelitian ini, yaitu:
1. Mendapatkan gambaran yang utuh tentang fenomena autisme di jabodetabek dan penanganan yang diberikan oleh lembaga pendidikan autisme
2. mengetahui kebijakan dan upaya yang dilakukan oleh direktorat pendidikan luar biasa untuk menangani pendidikan anak penderita autisme khususnya di wilayah penelitian jabodetabek
3. menguraikan secara analitis kurikulum dan terapi yang dijalankan lembaga pendidikan autisme terhadap anak autistik.

Mengenai manfaat penelitian ini, secara teoritis adalah untuk: memberikan wawasan baru bagi semua orang yang perduli pada pendidikan anak terutama anak penyandang autisme, bahwa autisme bukanlah tidak bisa disembuhkan. Bahwa anak penyandang autisme jugs memiliki kemampuan intelektual, dan daya kognisi yang bisa dikembangkan dan juga dilatih, dengan segala keterbatasan dan kekurangannya.
Sedangkan secara praktisnya adalah sebagai tambahan wawasan atau bahan perbandingan bagi peneliti lain yang mungkin akan membahas masalah serupa.

F. Metodologi Penelitian
Untuk mencapai hasil yang diinginkan maka dirancanglah metodologi penelitian sebagai berikut:
Dari sudut lokasi sumber data maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian lapangan, dan dari segi sifat data bisa dikategorikan sebagai penelitian kualitatif.
Melalui penelitian lapangan ini, peneliti akan mengumpulkan data tentang lembaga pendidikan autisme di sembilan (9) wilayah jabodetabek, (Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Dari setiap wilayah tersebut akan diambil satu lembaga pendidikan autisme saja, yang dianggap bisa mewakili lembaga lainnya. Ini dimaksudkan untuk mempermudah pengumpulan data dan analisa nantinya. Berarti dari 9 wilayah penelitian tersebut didapatkan 9 lembaga pendidikan autisme.
Pengumpulan data lebih dititikberatkan kepada kurikulum dan terapi yang digunakan lembaga pendidikan autisme tersebut, juga kepada faktor penunjang serta penghambat keberhasilan program atau misi lembaga pendidikan tersebut. Untuk sampai pada data tersebut maka peneliti perlu menganalisa kelengkapan sarana dan fasilitas penunjang dan terapi, kualitas sumber daya manusia yang menjalankan kurikulum dan terapi dimaksud, juga supervisi atas pelaksanaan kurikulum dan terapi.
Pengumpulan data melalui metode kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan pengamatan di lembaga pendidikan yang menjadi objek penelitian. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui misi dan visi lembaga dalam membuka pendidikan bagi anak penyandang autisme ini, mengetahui kurikulum dan terapi yang seperti apa yang diterapkan di lembaga tersebut, bagaimana prosedur pelaksanaannya, kualitas pelaksana dari kurikulum dan terapi dimaksud, juga untuk mengetahui tehnik supervisi yang dilakukan pihak lembaga terhadap SDM-nya sendiri. Untuk kepentingan ini perlu dilakukan wawancara intensif (depth interview) kepada pimpinan lembaga, tenaga pengajar dan terapis, juga kepada wali murid atau orang tua dari anak autis yang bersekolah di lembaga pendidikan tersebut, guna mengetahui tingkat keberhasilan dan efektifitas kurikulum dan terapi yang telah dijalankan.
Selain itu, peneliti juga mengadakan pengamatan terlibat, yaitu pengamatan yang dilakukan sembari sedikit berperan serta dalam kehidupan orang-orang yang diteliti. Denzin menyebutkan bahwa pengamatan terlibat adalah strategi lapangan yang secara simultan memadukan analisis dokumen, wawancara dengan responden dan informan, partisipasi langsung dan observasi, juga introspeksi. Peneliti memilih metode ini karena sifat penelitian yang terbuka, berdasarkan fakta kondisi dan data di lapangan dan juga dapat dipadukan dengan teori dan data dari metode lain.
Sasaran dari pengamatan terlibat ini adalah aktifitas tenaga pengajar dan terapis di dalam dan di luar kelas, baik pada situasi belajar maupun bermain. Dalam memberikan pelajaran sesuai kurikulum yang digunakan, juga aktifitas memberikan terapi sesuai kebutuhan anak autistik. Peneliti melakukan pengamatan seperti ini dengan tujuan menjustifikasi data yang didapat melalui wawancara sebelumnya, dan juga untuk menambah data yang mungkin belum terungkapkan melalui wawancara.
Selanjutnya, penghimpunan data dilakukan melalui pengumpulan dokumen mengenai kondisi anak autistik di sekolah tersebut, jumlah siswa yang masuk setiap tahun, data tertulis atau berupa grafik yang menjelaskan bagaimana kondisi awal daya kognisi anak autistik saat pertama kali datang di lembaga, dan kemudian kondisi yang ada saat ini, data yang lebih menggambarkan peningkatan kemampuan kognisi anak selama belajar dan mendapat terapi di lembaga tersebut. Keluhan, penghargaan, kritik maupun saran yang diterima lembaga dari masyarakat sekitarnya terutama orang tua atau wali dari murid autistik yang dibina oleh lembaga tersebut. Penghimpunan data melalui metode ini bermaksud untuk meng”crosschek”, data yang telah didapatkan dari dua data di atas, yaitu wawancara dan pengamatan terlibat.
Setelah data terkumpul melalui metode ini kemudian dilakukan klasifikasi data, dengan menggabungkan data yang didapatkan dengan wawancara dan pengamatan terlibat. Setelah data terklasifikasi dengan baik kemudian dianalisa secara mendalam sesuai pendekatan penelitian yang digunakan. Dalam menganalisa data mengenai kurikulum dan terapi yang digunakan lembaga, peneliti menggunakan acuan teori dari buku-buku yang bersifat handbook mengenai hal bersangkutan. Selanjutnya analisis teoritis sangat diperlukan untuk menguji kebenaran teori yang telah baku tersebut dengan kondisi nyata yang berlangsung di lapangan penelitian.
Kajian-kajian terdahulu juga dijadikan bahan analisa tambahan dan acuan berfikir dalam mengkritisi penerapan kurikulum dan terapi yang telah berlangsung di lembaga pendidikan dimaksud.

G. Penelitian Terdahulu
Ada dua penelitian terdahulu yang peneliti paparkan di sini:
1. R. Peter Hobson, Autism and The Developmental of Mind, London, (1993). Dalam penelitian ini, Hobson melakukan penelitian untuk membuktikan bahwa kemampuan berfikir anak autistik bisa ditingkatkan, juga dijelaskan beberapa teori dan tehnis pelaksanaan terapi untuk meningkatkan kemampuan tersebut.
2. Mohammad Anas, Adaptasi Penyandang Autisme di Sekolah, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, (2003). Dalam penelitiannya ini Anas menyebutkan gangguan dan masalah yang mungkin timbul saat anak dengan ASD bersekolah. Anas juga menjelaskan beberapa teori untuk mengatasi keadaan tersebut.
Selanjutnya untuk ruang lingkup penelitian di kalangan civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, peneliti belum menemukan penelitian serupa, yang membahas autisme dari sisi peningkatan daya kognisi.

H. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini tidak lebih dari lima bab. Pada bab pertama, yaitu bab pendahuluan, peneliti akan memaparkan poin-poin berikut: latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfa’at penelitian, metodologi penelitian, penelitian terdahulu, sistematika penulisan.
Dilanjutkan dengan bab kedua, yaitu kerangka teori, sub poin dari bab dua adalah sebagai berikut: bagian (A) Autisme, yang dibahas dalam bagian A ini adalah ciri-ciri umum, beberapa jenis sindrom yang terkait dengan autisme, daya kognisi anak autistik, gaya belajar anak autistik, kondisi di Indonesia. Bagian (B), yang dibahas dalam bagian B ini: kurikulum dan terapi untuk anak autistik, individualized curriculum, home education, terapi lovaas/ABA, terapi perilaku, terapi biomedik, terapi sensori integrasi, upaya pemerintah dalam penanganan autisme di Indonesia, kebijakan Direktorat Pendidikan Luar Bias, lembaga pendidikan autisme non formal.
Kemudian setelahnya bab tiga, yaitu metodologi penelitian. Sub poin dari metode penelitian ini adalah: jenis dan pendekatan penelitian, obyek penelitian, instrumen penelitian, pengumpulan data, pengolahan dan analisa data.
Bab keempat, yaitu hasil penelitian, yang menjadi temuan utama dalam bab 4 ada 9 sub poin. Pertama adalah lembaga pendidikan autisme di Jakarta Pusat, yang dibahas dalam lembaga ini adalah kurikulum dan terapi yang dijalankan, kelengkapan sarana dan fasilitas penunjang kurikulum dan terapi. Kualitas sumber daya manusia pelaksana kurikulum dan terapi, supervisi berkala pelaksanaan kurikulum dan terapi. Faktor penunjang dan penghambat keberhasilan lembaga.
Subpoin kedua dan seterusnya adalah lembaga pendidikan autisme di Jakarta Timur, di Jakarta Utara, di Jakarta Selatan, di Bogor, di Depok, di Tangerang, di Bekasi. Kesemua subpoin ini memiliki ruang lingkup pembahasan yang sama.
Terakhir adalah bab kelima, seperti pada umumnya sub poin penutup ini terdiri dari kesimpulan dan implikasi.
























DAFTAR PUSTAKA


Aeni, dkk., Gangguan Perkembangan Pervasif : Ilustrasi 1 Kasus, Jurnal Medika Nusantara., 2001, Vol : 22(2)

Azrin & Fox, Teaching Develompentally Disable Children, Pro-ed., Texas: Austin Publisher, 1971

Bandi, Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, Bandung: Refika Utama, 2006 Cet. Ke 1


Campbell, M, Shay dkk, Pervassif Development Disorder, Comprehensive Text Book of Psychiatry, USA, Mc Millan Publishing, 1983

Chaplin, J.P. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
Courchesne., Gangguan Perkembangan Pervasif : Ilustrasi 1 kasus, (Jurnal Medika Nusantara. 1991, Vol : 22(2)


Djohan. Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik, 1999
Hartono., Infantil Autism, Majalah Medical Indonesia., Jakarta: Yayasan Autisme Indonesia, 1998, edisi V

H.S., Kaplan, Saddock, B.J., Greb,J.A , Synopsis of Psychiatry Behavioral Scienses., Clinical Psychiatry Refford DC (Ed). Baltimore: Williams & Wilkins, 1994

Hodgdon, Linda A, MEd, CCC-SLP, Solving Behavior Problems in Autisme – Improving Communication with Visual Strategies, Quick Roberts Publishing: Michigan-US, 1999, 1st ed

Hurlock, Elizabeth, Child Development, USA: Mc Graw Hill, 1978 6th ed.

Marat, S., & Siregar, J.R. Pengantar Psikologi Perkembangan, Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, 1991

M, Budiman,., Tatalaksana Terpadu Pada Autisme, dalam : Simposium : Seputar Autisme, 1997
Meng, Dr. Lam Chee & Chan Yee Pei, BSc,; Assessment for Children for School Readiness in Singapore Mainstream Education, 2002;  WeCAN Third Annual Autisme Best Practices Conference November 2002

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999


Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004

Newson,dkk., Long-term Outcome For Children With Autism Who Received Early Intensive Behavioral Treatment, Los Angeles, University of California, 1998
TERAPI PEMULIHAN TRAUMA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL
(Kajian dari Sudut Pandang Pendidikan dan Psikologi Islam)

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Bahwa anak adalah permata hati orang tua, itu sudah pasti. Bahwa kejiwaan anak sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, demikianpun sudah pasti. Maka orang tua yang memang merasa menyayangi permata hatinya mestilah berusaha semaksimal mungkin agar perkembangan mental anak terjaga dengan baik dan menuju ke arah yang normal dan sehat. Namun bukan hanya kedua orang tua yang berkewajiban menjaga dan harus bersumbangsih terhadap perkembangan mental anak, seluruh anggota keluarga baik itu keluarga inti maupun keluarga majemuk si anak memiliki andil dan peran yang sama terhadap kewajiban ini, hanya saja intensitasnya yang berbeda.

Seluruh individu dalam satu rumpun keluarga bisa mempengaruhi perkembangan dan kemampuan mental anak. Sumbangan keluarga bagi anak jelas berbentuk materi, kecukupan fasilitas, transformasi pendidikan, jembatan menuju alam sosial yang lebih luas, namun yang lebih terpenting dari semua itu adalah keluarga sangat berperan dan berpengaruh dalam membangun kondisi mental anak.

Seharusnya memang demikian, bahwa orang tua, kakak, adik, paman, bibi, sepupu, kakek, nenek dan bahkan saudara lainnya hendaknya memberi good influence terhadap perkembangan anak terutama mentalnya. Karena inti dari struktur diri manusia itu adalah struktur rohani. Walaupun kondisi fisik kurang sempurna namun bila psikis berkembang ke arah yang normal dan sehat maka kekurangan fisik tidaklah menjadi masalah yang bisa menghambat kemajuan hidup.

Namun yang terjadi di masyarakat luas tidaklah seperti yang seharusnya. Ada catatan hitam tentang kekerasan anak yang ironisnya dilakukan oleh orang dalam keluarga itu sendiri. Banyak kasus anak yang diperkosa atau dilecehkan secara seksual, menerima kekerasan fisik yang tidak seharusnya diterima anak dari siapapun, terlebih dari orang yang mengaku memiliki hubungan darah dengan si anak.

Anak di bawah umur dan balita menjadi korban kekerasan seksual terbesar sepanjang 2003. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) mendata, ada sekitar 50 persen anak di bawah umur dan balita yang menjadi korban dari total 239 kasus (sampai bulan Oktober).
Jenis kekerasan yang dialami berupa perkosaan, sodomi, pedofilia, pencabulan dan pelecehan seksual. Dalam laporan catatan akhir yang disampaikan LBH APIK pada hari ini, Rabu 31/12 di Jakarta, pelaku pada umumnya adalah orang-orang yang dekat dengan korban. "Bahkan memiliki hubungan darah dengan korban (incest)," ujar Vonny Reyneta, Ketua LBH APIK .

Komnas HAM Perlindungan Anak mengeluarkan data selama medio 2006 - 2007 , dalam setiap bulannya terdapat 17 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak di Jakarta. ketujuh belas kasus ini melibatkan anak sebagai korban maupun anak sebagai pelakunya. Kasus terakhir yang mengemuka adalah terjadi pada Kamis 8 Maret 2007 lalu, adalah Muna Nuria (14) diperkosa dan dihabisi nyawanya oleh 2 pelaku yakni Gusti Randa (17) dan Hendra Saputra (15) . Kedua pelaku ini telah ditangkap Polres Jakarta Utara. Kejadian ini membuat dilematis Komnas HAM Perlindungan Anak. Disatu sisi Komnas harus membela kepentingan korban, dan lainnya komnas terbentur untuk melindungi hak kedua pelakunya yang juga masih tergolong ABG itu. Kejadian ini tergolong sadis karena para pelaku yang masih ABG ini tega menghabisi nyawa sang korban, setelah tewas korban diperkosa secara bergiliran. Hal ini telah diakui kedua pelaku sendiri. Masa depan kedua pelaku ABG ini terbayang suram karena meraka dikenakan pasal 340 KUHP pembunuhan berencana dan pasal subsider pasal 338 tentang pembunuhan tanpa rencana yang diancam humuman mati.

Kasus kekerasan seksual anak-anak di Indonesia selama beberapa tahun ini meningkat dengan sangat tajam.Di wilayah Jawa Barat, dari data yang dihimpun dari Polda Jabar dalam kurun waktu 6 bulan (Oktober 2001-Maret 2002) telah terjadi 116 kasus kekerasan seksual kepada anak-anak.Kasus-kasus itu meliputi 57 kasus perkosaan, 25 kasus pencabulan, 9 kasus disodomi, 1 kasus dibawa lari dan disetubuhi, 6 kasus dilacurkan , 9 kasus pelecehan seksual, dan 9 kasus usaha perkosaan. Data-data tersebut diatas hanyalah data mengenai kasus-kasus yang diungkap oleh pihak kepolisian, jumlah real kasus yang tidak maupun belum terungkap bisa jadi jauh lebih besar lagi.Kasus perkosaan yang dilakukan oleh kerabat dekat korban misalnya, kasus-kasus semacam ini biasanya baru terungkap. setelah berlangsung selama bertahun-tahun, sehingga diperkirakan masih banyak kasus-kasus serupa yang tidak pernah terungkap.

Bicara mengenai kekerasan seksual berarti bicara mengenai pelecehan seksual, penyerangan dan penganiayaan seksual, sampai pemerkosaan. Pelecehan seksual yang disertai atau tidak dengan kekerasan merupakan suatu kegiatan yang disembunyikan oleh pelakunya dan keluarga merupakan tempat yang paling aman untuk menyembunyikan hal ini dari masyarakat. Inilah yang kemudian menyebabkan pelecehan seksual di dalam keluarga lebih cenderung untuk menjadi kronis, karena pelaku memiliki kesempatan yang besar untuk mengontrol dan memanipulasi sang anak untuk tidak membuka mulut.     
     
Kesadaran masyarakat yang rendah terhadap masalah ini menjadi salah satu faktor pendukung tindak kekerasan tersebut. Banyak tetangga -bahkan keluarga- yang enggan melaporkan suatu tindak kekerasan yang terjadi di dalam sebuah rumah. Mereka beranggapan bahwa masalah ini adalah masalah keluarga tersebut. Akibatnya, banyak pelaku dengan bebas kembali melakukan berulangkali kekerasan tersebut. Dalam beberapa contoh kasus yang bisa diamati di media massa baik cetak maupun elektronik terlihat bahwa anak-anak sering sekali menjadi objek kekerasan fisik dan seksual.

Kekerasan merupakan suatu tindak kejahatan. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku baik yang terbuka ataupun tertutup, bersifat menyerang ataupun bertahan yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Thomas Santoso menjelaskan empat sifat kekerasan:
1. Kekerasan terbuka: adalah tindak kekerasan yang secara transparan dilakukan baik dengan kekuatan kata-kata yang kasar maupun kekuatan fisik seperti menempeleng dan semacamnya.
2. Kekerasan tertutup: tindak kekerasan yang inheren sifatnya, tidak langsung disampaikan dalam bentuk kata-kata kasar maupun perbuatan fisik tetapi tersirat dalam sikap yang mengancam, baik mengancam itu dengan kata-kata, dengan alat atau dengan mimik wajah.
3. Kekerasan agresif: kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu
4. Kekerasan defensif: kekerasan yang dilakukan untuk mempertahankan sesuatu

Umumnya kekerasan tidak terlepas dari ancaman, ini dikarenakan umumnya pihak korban kekerasan tidak menerima begitu saja sikap yang menyakiti tersebut, sementara pihak yang mengancam tentu saja tidak akan berhenti dengan mudahnya dalam berusaha mendapatkan keinginannya. Lagi pula menurut Weber (1958) ancaman dianggap sebagai suatu bentuk kekerasan. Dengan mengancam sebahagian orang merasa bisa mengontrol dan mengendalikan orang lain. Ancaman menurut Weber merupakan suatu kemampuan untuk mewujudkan keinginan seseorang sekalipun menghadapi keinginan yang berlawanan.

Sedangkan mengenai dimensinya, seorang Gandhian Johan Galtung mengatakan bahwa kekerasan memiliki dimensi sebagai berikut:
1. Kekerasan fisik dan psikis
Kajian fisik dan psikis merupakan ’area’ yang sering menjadi pelampiasan dari orang yang suka melakukan kekerasan. Walaupun disebutkan terpisah namun bukan berarti kekerasan fisik tidak berpengaruh pada kondisi psikologis anak korban kekerasan.
2. Kekerasan berpengaruh yang positif dan negatif
Kekerasan bisa saja bervalue positif tetapi hanya pada para pelakunya, karena dengan ini pelaku mendapatkan kemenangan emosi dan kepuasan kebutuhan, sementara bagi korban cenderung berakibat negatif, bahkan terkadang dalam jangka waktu yang lama dan seringkali tidak terdeteksi secara langsung. Bisa juga dipahami dalam bentuk sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya terdapat pengendalian –tidak bebas-, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif, meskipun mungkin menimbulkan perasaan yang euphoria.
3. Kekerasan ada objek atau tak ada objek
Secara umum kekerasan selalu membutuhkan objek, walaupun itu hanya sebotol kaleng softdrink kosong yang ditendang sekeras-kerasnya atau secangkir kopi yang sengaja dicampakkan ke lantai.
4. Kekerasan ada subjek atau tak ada subjek
Bila kekerasan terjadi dengan adanya subjek disebut personal, berarti kekerasan di sini dilakukan oleh perorangan, namun terkadang kekerasan bisa juga dilakukan oleh bukan orang, yaitu sistem. Suatu sistem yang sangat memaksa, memeras, menekan dan membuat orang menjadi sangat terpaksa mengikuti karena kewajiban tertentu, namun tidak menguntungkan atau hanya memberi keuntungan kecil (tidak sepadan dengan besarnya tekanan) pada orang yang mengikuti.
5. Kekerasan yang disengaja atau tidak disengaja
Kesengajaan atau ketidaksengajaan ini dilihat dari tujuan melakukan kekerasan tersebut bukan dari perbuatannya. Umumnya kekerasan yang bersifat agresif cenderung berdimensi disengaja walau ada beberapa kasus dimana kekerasan bersifat agresif terjadi tanpa sengaja. Namun pada kasus kekerasan yang defensif kekerasan yang terjadi umumnya tidak sengaja.
6. Kekerasan yang tampak atau tersembunyi
Kekerasan yang tampak seperti yang telah dijelaskan, yaitu dengan kata-kata kasar, perbuatan dan penggunaan alat yang bisa menyakiti orang lain dimana tindakan itu terlihat jelas. Kekerasan tersembunyi yaitu kata-kata yang menyiratkan ancaman, dan sikap yang mengancam.

Bila kekerasan seksual dikaitkan dengan dimensi dan sifat kekerasan yang telah diuraikan, bisa diamati bahwa kekerasan seksual bersifat terbuka, tertutup, dan agresif, tidak bersifat defensif. Karena jelas kekerasan seksual terjadi saat pihak pelaku menyerang korban yaitu anak di bawah umur untuk mendapatkan sesuatu yang seharusnya tdak boleh didapatkannya dari anak itu.

Untuk dimensinya maka kekerasan seksual memiliki dimensi kekerasan fisik juga psikis, positif bagi pelaku dan negatif bagi korban, berdimensi kekerasan dengan objek dan subjek (personal/langsung), kekerasan ini juga berdimensi sengaja dan tampak, walaupun juga sering berdimensi tersembunyi, karena seringkali kekerasan seksual didahului dengan ancaman.

Sebenarnya apa definisi yang pasti mengenai kekerasan seksual? Secara umumnya kekerasan seksual adalah kekerasan yang terjadi karena persoalan seksualitas. Ibarat awan dan hujan begitu jugalah hubungan seks dan kekerasan. Selama ada hubungan seks maka selama itu pula kekerasan selalu bersifat possible. Untuk pengertian kekerasan seksual yang diakui dalam perundangan adalah dapat dipahami dengan merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak tentang Ketentuan Pidana Pasal 81 ayat 1 dan 2:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana denagn pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Dalam undang-undang tertera dengan jelas bahwa yang dinamakan kekerasan seksual terhadap anak adalah menggunakan segala cara baik dengan cara yang mengancam jiwa anak maupun bukan dengan tujuan mendapatkan kepuasan seksual yang diinginkan pelaku.

Dalam makalahnya yang berjudul "Penganiayaan Seksual pada Anak" Soetjiningsih menjelaskan mengenai pengertian dari penganiayaan seksual pada anak. Yaitu, bila anak terlibat pada aktivitas seksual yang masih belum dimengerti, dimana tingkat perkembangan anak pada saat itu masih belum siap dan belum bisa memberikan persetujuannya, dan/atau perbuatan tersebut melanggar hukum atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Definisi lainnya mengenai kekerasan seksual, yaitu kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa, dimana anak digunakan untuk mendapatkan kepuasan seksual oleh orang dewasa atau orang lain. Biasanya, penganiayaan seksual dilakukan oleh orang yang lebih tua dari korbannya, atau yang memiliki posisi lebih tinggi dari anak tersebut, jenis kelamin yang berbeda, aktivitas seksual tidak sesuai dengan umur anak, terdapat unsur paksaan, tekanan, ancaman, atau harus merahasiakan, korban yang melawan, dan sering disertai penganiayaan fisik.
Kekerasan seksual pada anak sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.
1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)
2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)
3. Kekerasan dalam ritual agama (Ritualistic abuse)
4. Kekerasan dalam lingkungan institusi (Institutional abuse)
5. Kekerasan dalam lingkungan anak jalanan (Street or stranger abuse)

1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan sepengetahuan keluarga. Ditegaskan oleh Prof. Dr. Soetjiningsih yang memberikan makalah berjudul "Penganiayaan Seksual pada Anak". Soetjiningsih menjelaskan mengenai pengertian dari penganiayaan seksual pada anak. Yaitu, bila anak terlibat pada aktivitas seksual yang masih belum dimengerti, dimana tingkat perkembangan anak pada saat itu masih belum siap dan belum bisa memberikan persetujuannya, dan/atau perbuatan tersebut melanggar hukum atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingkup ini. Dikatakan bahwa dua pertiga dari anak-anak yang mengalami pelecehan seksual, pelakunya adalah keluarga mereka sendiri. Ini tidak hanya meliputi orangtua kandung, namun juga orangtua angkat, kekasih dari orangtua mereka, teman orang tua yang tinggal bersama, maupun kakek, paman, bibi, sepupu, saudara laki-laki dan perempuan.



2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua dari teman sekolah
3. Kekerasan seksual dalam ritual agama (Ritualistic abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam suatu ritual agama atau berdalih untuk ritual agama.
4. Kekerasan seksual dalam lingkungan institusi tertentu (Institutional abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam suatu institusi tertentu, mungkin di sekolah, di tempat kursus, tempat penitipan anak.
5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse)
Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum oleh orang yang tidak dikenal oleh korban. Bisa dengan ancaman atau dengan rayuan memberikan permen, diajak jalan-jalan dan semacamnya.

Perlu dipahami, persoalan-persoalan kekerasan seksual terhadap anak perempuan terutama yang juga berakhir dengan KTD (Kehamilan yang Tidak Dikehendaki), bukan persoalan sederhana yang bisa diselesaikan dengan 'cara' sederhana pula. Misalnya, ada yang kemudian mencoba menyelesaikan persoalan dengan menikahkan anak yang sudah hamil tersebut, baik dengan pelaku ataupun dengan orang lain. Ketika korban seorang pelajar, tidak jarang pihak sekolah menyelesaikan masalah dengan mengeluarkan anak yang hamil dari sekolah. Alasannya, sekolah sudah memiliki peraturan yang tidak mengijinkan siswanya hamil. Penyelesaian-penyelesaian tersebut sungguh bukan mengatasi masalah, tapi justru menambah masalah, khususnya bagi korban.

Harus diakui, isu kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual terhadap anak perempuan dan atau perkosaan, kurang terangkat ke permukaan dibandingkan isu lain. Berbeda dengan masalah trafficking/perdagangan anak, pedofilia, juga pornografi yang jauh lebih banyak dibahas dalam masyarakat. Hal yang makin memprihatinkan ialah, menurut KUHP, hukuman pemerkosa anak lebih ringan di banding hukuman terhadap pemerkosa perempuan dewasa. Sementara di sisi lain, masyarakat bisa sedikit lega dengan adanya Undang Undang Perlindungan Anak yang memberikan hukuman minimal tiga tahun penjara bagi pelaku kekerasan seksual, walaupun dalam implementasinya masih jauh dari harapan.

Dampak kekerasan seksual bagi anak perempuan tidaklah sesaat, tapi bisa jadi seumur hidup. Banyak dari mereka yang setelah mengalami kekerasan seksual, karena merasa sudah tidak perawan lagi dan masa depan suram, pada akhirnya terjerumus ke dunia prostitusi anak. Dalam hal ini, kekerasan dan eksploitasi seksual menjadi semakin dekat dengan dengan kehidupan anak-anak tersebut. Teguh Vedder menjelaskan beberapa akibat yang rentan menyerang anak korban kekerasan seksual, diantaranya:
memiliki self esteem yang rendah
rasa harga diri baru bisa muncul denagn baik dan normal bila individu tidak mengalami hal-hal yang mungkin akan menjatuhkan harga dirinya. Sedangkan pada anak korban kekerasan, sudah jelas anak tersebut direnggut harga dirinya, dianggap rendah oleh pelakunya dan apa hyang terjadi itu bisa melukai rasa percaya dirinya. Masa lalu yang buruk ini akan terus menghantui fikirannya, mungkin jadi mimpi buruk ayng membangunkannya di tengah amlam dan sedikit abnyak akan mempengaruhi pola tingkah lakunya terutama terhadap lawan jenis.
Rusaknya hubungan antara orang tua korban dan korban terhadap pelaku.
Hubungan keluarga yang tadinya utuh menjadi rusak. Karena perbuatan pelaku. Baik orang tua korban maupun korban sendiri pada saat dewasa menyimpan dendam yang tidak akan hilang begitu saja terhadap pelaku. Satu sisi mungkin ingin mengadukan pelaku pada yang berwajib agar mendapatkan hukuman tetapi di sisi lain ada rasa malu yang timbul andainya aib tersebut diketahui saudara lainnya atau kemungkinan akan dipermalukan tetangga. Akhirnya rasa sakit tersebut hanya dipendam saja membuat dendam yang terasa di hati makin membuat lobang yang meregangkan hubungan darah mereka.
Ditambahkan oleh Hurlock, bahwa anak-anak yang mengalami sesuatu yang buruk di masa lalu akan berakibat bagi penerimaan dirinya. Apalagi kalau hal buruk tersebut diberikan oleh keluarga, karena menurut Hurlock keluarga adalah faktor yang paling penting dan paling besar mempengaruhi kepribadian. Bila keluarga justru memberikan masalah besar saat anak masih dalam pembentukan kepribadian, maka cenderung kepribadian anak akan mengarah pada kepribadian yang bernilai kurang positif.

Menurut Nilam Widyarini, incest merupakan aib yang sangat memalukan bagi keluarga, dan sangat menyakiti dan melukai harga diri anak yang jadi korban. Keengganan keluarga membongkar aib justru membuat pelaku semakin berkuasa dan leluasa mengulangi dan mengulangi kembali perbuatan hina itu. Incest sering terjadi antar kakak laki-laki terhadap adik perempuan, atau mungkin adik laki-laki yang bertubuh besar terhadap kakak perempuan yang tidak jauh perbedaan umurnya dan bertubuh lebih kecil, walaupun ini cukup jarang terjadi. Atau antara ayah dengan anak gadisnya apakah itu kandung, tiri atau angkat. Antara anak laki-laki dewasa terhadap ibunya mungkin juga terjadi, tetapi persentasenya cukup kecil. Jelasnya, dalam kekerasan seksual hampir bisa dipastikan wanita berada pada posisi korban dan laki-laki pada posisi pelaku.

Dalam incest ini jarang ditemukan unsur suka – sama –suka. Oleh karenanya bisa dicurigai bahwa ayah atau kakak yang melakukan sexual abuse sampai pemerkosaan terhadap anak gadis atau kakaknya menggunakan kekerasan dalam mencapai maksudnya. Hampir tidak pernah terdengar ada perempuan yang memperkosa laki-laki. Ini dikarenakan karena stigma bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, lagipula dengan sifat khas yang dimiliki laki-laki maupun perempuan memang hampir tidak mungkin perempuan bisa ”memperkosa” perempuan.
Saat incest dicurigai terjadi oleh salah satu anggota keluarga maka cenderung kecurigaan itu di redam, bahkan ketika sampai ke pihak yang berwajibpun cenderung ada pihak keluarga yang terkesan menutupi atau bahkan menyembunyikan fakta. Ketika seorang nenek menyatakan bahwa anaknya tidak bersalah, hal ini mungkin dilakukannya untuk melindungi anaknya, namun juga berarti bahwa mungkin sang nenek sedang memikirkan seluruh keluarganya, termasuk dirinya sendiri, suaminya, sang paman dan bibi, keponakan, yang mungkin merasa terancam dengan terungkapnya satu pelecehan seksual pada salah satu anak di dalam keluarga.

Untuk alasan inilah pelecehan seksual atau bahkan kekerasan seksual dalam keluarga menjadi lebih sulit untuk diusut dan sering terjadi bahwa penyelidikan kasus pelecehan/kekerasan seksual dalam keluarga berhubungan dengan anggota keluarga lainnya. Ada beberapa penyebab atau pemicu timbulnya incest menurut Widyarini. Akar dan penyebab tersebut tidak lain diantaranya adalah pertama, karena pengaruh aspek struktural, yakni situasi dalam masyarakat yang semakin kompleks.
Kompleksitas situasi menyebabkan ketidakberdayaan pada diri individu.
Khususnya apabila ia seorang laki-laki (notabene cenderung dianggap
dan menganggap diri lebih berkuasa) akan sangat terguncang, dan
menimbulkan ketidakseimbangan mental-psikologis. Dalam ketidakberdayaan tersebut, tanpa adanya iman sebagai kekuatan internal/spiritual, seseorang akan dikuasai oleh dorongan primitif,yakni dorongan seksual ataupun agresivitas.

Dorongan primitif ini menjadi lebih buruk lagi karena disupport dengan kemajuan tehnologi yang memang bermata dua. Pada satu sisi kemajuan tehnologi sangat membantu percepatan pembangunan, dan penyebaran lebih banyak informasi pada lebih banyak kalangan dan daerah. Namun seiring itu hi-tech ternyata juga berperan dalam peningkatan jumlah kejahatan, jenis dan modus operandinya. Dalam kasus kekerasan seksual ini pelaku cenderung terobsesi pada korban awalnya belum tentu dimulai dari korban sendiri. Inilah sebab incest yang kedua yaitu konflik budaya.

Anggapan masyarakat pada korban yang memasuki usia remaja, kekerasan seksual yang terjadi dipicu oleh tingkah dan perilaku mereka sendiri, namun anggapan ini tentu tidak bisa diterapkan pada kasus pelecehan atau penganiayaan seksual yang terjadi pada anak di bawah delapan tahun. Banyaknya film porno dalam bentuk cd atau dvd yang mudah didapatkan, murahnya harga player cd atau dvd sehingga banyak yang memiliki, atau beredarnya video porno lewat internet yang di download oleh orang-orang yang memiliki HP dengan fasilitas kamera, kesemua ini bisa menjadi pemicu meningkatnya perkosaan yang dilakukan pada perempuan usia berapapun. Juga media cetak yang sering mengangkat tema pornografi diiringi gambar-gambar seronok, yang demikian ini tentu memancing dan mengarahkan otak pada hal-hal yang bersifat seksualitas.

Penyebab ketiga adalah kemiskinan. Meskipun incest dapat terjadi dalam segala lapisan ekonomi, secara khusus kondisi kemiskinan merupakan rantai situasi yang sangat potensial menimbulkan incest. Sejak krisis 1998, tingkat kemiskinan di Indonesia semakin meninggi. Banyak keluarga miskin hanya memiliki satu petak rumah. Tidak ada sekat antara kamar tidur orang tua dengan anak. Ini bisa memicu nafsu seksual dari kakak laki-laki terhadap adik perempuan atau nafsu ayah terhadap gadis kecilnya karena mereka tidur di satu tempat yang sama.

Sebab yang keempat adalah pengangguran. Banyaknya kasus PHK pada masa krisis membuat banyak ayah menjadi pengangguran. Kondisi ini memaksa perempuan untuk akhirnya sering keluar rumah untuk bekerja. Akhirnya di saat istri semakin jarang di rumah membuat kesempatan terjadinya incest antara ayah dengan anak atau dengan anggota keluarga lainnya semakin besar.

Bicara mengenai asal lingkungan pelaku kekerasan seksual, anak juga harus dijaga dari ancaman dari pihak luar keluarga. Batasan antara lingkup intrafamilial dan ekstrafamilial kadang menjadi kabur dan pengenalan dari salah satunya sering mengantar pada yang lainnya. Seorang anak laki-laki yang mengalami pelecehan seksual di rumah oleh ayahnya, mungkin secara tidak sadar membiarkan dirinya berada dalam situasi yang berbahaya bersama dengan laki-laki lain, yang dapat mengambil kesempatan untuk melakukan hal yang sama padanya jauh dari keluarganya.

Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku biasanya orang dewasa yang dikenal oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan anak tersebut,  kemudian membujuk sang anak ke dalam situasi dimana pelecehan seksual tersebut dilakukan, sering dengan memberikan imbalan tertentu yang tidak didapatkan oleh sang anak di rumahnya. Sang anak biasanya tetap diam karena bila hal tersebut diketahui mereka takut  akan memicu kemarahan dari orangtua mereka. Selain itu, beberapa orangtua kadang kurang peduli tentang dimana dan dengan siapa anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak yang sering bolos sekolah cenderung rentan untuk mengalami kejadian ini dan harus diwaspadai. Lebih jelas lagi akan dirinci tahapan terjadinya sexual abuse:
Fase perjanjian. Pelaku akan menjanjikan akan memberikan sesuatu yang menarik hati si anak. Mungkin berupa makanan, minuman, uang cash, atau diajak jalan-jalan oleh si pelaku sampai anak tidak merasa curiga sedikitpun bahkan sebaliknya merasa nyaman dan dekat dengan si pelaku.
Fase rahasia. Pelaku hampir selalu mengatakan “jangan bilang siapa-siapa ya…” pada anak calon korbannya. Terkadang kata-kata seperti ini disampaikan secara baik-baik tetapi tidak jarang disertai dengan ancaman.
Fase penyingkapan. Biasanya baru terjadi apabila orang tua benar-benar merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada putrinya. Atau mungkin si anak mengeluh sakit pada bagian tubuh tertentu terutama organ vitalnya. Atau pada kebanyakan kasus penganiayaan seksual ini tersingkap setelah anak hamil, dan pada saat itu anak sudah mengalami penganiayaan seksual yang pastinya lebih dari sekali dua kali.

Fenomena inilah yang kadang ditutupi keluarga si anak yang bersangkutan. Walaupun ada anggota keluarga yang mengetahui tentang penganiayaan seksual ini namun membiarkan begitu saja hingga akhirnya si anak hamil. Anak-anak dengan riwayat pelecehan seksual mengalami pengalaman yang buruk dan menderita secara emosional maupun kesulitan tingkah laku. Anak-anak ini membutuhkan bantuan pemulihan trauma setelah pelecehan seksual tersebut dideteksi dan dihentikan.

Dilihat dari sudut pandang manapun, anak adalah harta yang berharga. Dalam lapangan pendidikan ada dikenal istilah periode emas, dan periode penting pertumbuhan anak. Mulai dari kelahirannya sampai akhir masa remaja anak merupakan makhluk yang rentan dan mudah lemah, terpengaruh bahkan terperosok ke lobang-lobang kejahatan dan kemaksiatan bila orang dewasa yang terdekat tidak ”rapi” dalam penjagaanya.

Demikian pula dalam pandangan Islam, anak merupakan titipan Allah yang suatu saat akan diminta pertanggungjawaban orang tua tentang perawatan dan pengasuhan anak tersebut. Bukan hanya pemenuhan kebutuhan materi dan fisik yang harus diupayakan orang tua melainkan juga pemenuhan kebutuhan psikologi anak. Dalam pandangan Zakiah Darajat, kebutuhan yang mendasar bagi setiap manusia pada fase manapun, baik itu anak-anak, remaja, dewasa atau bahkan orang tua adalah kasih sayang dan selanjutnya rasa aman. Apabila orang dewasa yang sudah bisa mengusahakan arah hidupnya sendiri, masih membutuhkan kasih sayang apalagi anak di bawah umur yang umumnya masih sangat bergantung pada orang tua. Kalaupun ada anak-anak yang bisa tidak terlalu bergantung secara materi pada orang tuanya namun sebelum mencapai usia dewasa, hampir setiap orang membutuhkan keluarga untuk berbagi suka duka. Ikatan yang kuat dalam keluarga bisa memberi rasa hangat pada jiwa anak, dan yang demikian itu berpengaruh pada pembentukan rasa percaya diri anak, kestabilan emosi dan pengarahan daya mentalnya terhadap hal yang positif.

Semua kondisi positif itu bisa dicapai dengan bermula dari keluarga yang penuh kasih sayang, dimana bukan hanya orang tua dan saudara kandung yang berkewajiban memperhatikan pemenuhan psikologi anak. Keluarga yang basic kasih sayangnya kuat sangatlah menunjang dan menjadi background kepribadian dan tingkah lakunya di masa mendatang. Baik dari sudut pandang pendidikan anak maupun psikologi Islam, kondisi yang saling menyayangi, saling menguatkan dan saling menerima di keluarga bisa mempermudah pencapaian anak terhadap prestasi fisik maupun psikis. Agar anak bisa mencapai segala prestasi tersebut seyogyanya keluarga dengan seluruh pihak didalamnya menjaga dengan hati-hati. Jangan sampai anak menjadi korban perbuatan buruk yang bisa saja membekas di ingatannya dan merubah tingkah lakunya ke arah yang negatif.
Anak merasa keluarga lah yang mampu menaungi dan melindunginya dari kejahatan dan kekerasan dunia luar. Kondisi keluarga yang membuat anak nyaman dan aman akan sangat membantu dalam proses perkembangan jiwa, kreativitas dan juga kepribadiannya. Pada kasus kekerasan seksual dalam keluarga, bagaimana anak akan merasa aman apabila orang yang menyakitinya bahkan merenggut mahkotanya adalah pamannya atau bahkan ayahnya sendiri? Bahkan dengan demikian keluarga telah menjelma menjadi tempat yang sangat menakutkan bagi anak. Seperti yang digambarkan Hurlock, ”jika anak belajar dalam suasana penuh ancaman ia akan belajar mengutuk (walau dalam hatinya), dan jika ia hidup dalam suasana tertekan dan ketakutan ia akan menjadi penakut terhadap hidup”.

Selanjutnya menurut Zakiah, bahwa anak sangat membutuhkan penghargaan terhadap harga dirinya. Anak perlu merasa memiliki keluarga, merasa punya posisi penting dalam keluarga. Apa yang dikatakannya didengarkan oleh anggota keluarga (walaupun, jelas tidak semua kata-kata anak akan dipertimbangkan), dan apa yang menjadi kemauan atau kegelisahannya diperhatikan oleh keluarga. Bila melihat kepada situasi kekerasa seksual di rumah tangga, jelas bahwa anak korban kekerasan seksual di rumah tangga telah dihancurkan harga dirinya oleh keluarganya sendiri. Justru keluargalah yang membuat ia menjadi gelisah, kehilangan hak bicara (karena diancam) dan kehilangan posisi penting bahwa ia adalah permata keluarga.
Berarti baik dari segi psikologi Islam maupun pendidikan Anak, keluarga memiliki peran terbesar dalam menentukan arah pembentukan jiwa anak. Bagaimanapun pengaruh dari luar keluarga datang pada diri anak, tetap saja pengaruh dari dalam keluarga yang paling memberi kesan dalam perkembangan pemikiran dan tingkah lakunya di masa depan. Bahkan para sosiologpun menilai bahwa keluarga adalah benteng kokoh sebuah lapisan masyarakat, bila benteng ini rapuh maka perlahan konstruksi lapisan masyarakat pun merapuh.

Namun pada sebahagian kasus kekerasan seksual, justru yang menjadi Dewa Siwa bagi cahaya mata si anak adalah keluarganya sendiri. Orang yang sering bermain dengannya, orang yang sering membuatnya tertawa bahkan sering menjaga dan menemani hari-harinya. Luka yang tertoreh dalam jiwa anak akibat kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga dapat dipastikan dua kali lipat lebih perih daripada andainya luka tersebut ditorehkan orang lain di luar keluarga yang mungkin tidak dekat dengannya atau tidak Ia kenal sama sekali.

Ini logis karena anak harus kembali bersosialisasi dengan orang yang telah memberikannya mimpi buruk, dan ia harus memendam dalam-dalam kekecewaan yang kadang tidak dapat dibahasakannya karena ia takut dengan ancaman yang pernah diberikan pelaku. Tentu saja suasana demikian menciptakan tekanan yang sangat mengganggu fikiran dan hatinya, hingga banyak anak yang menjadi korban sexual abuse terutama oleh keluarga akan berubah menjadi pemurung, seperti menyimpan sesuatu namun takut menyampaikannya. Selain itu anak menjadi tidak mempercayai orang lain lagi. Karena kepercayaan yang ia berikan pada keluarga telah dirusak oleh keluarganya sendiri. Mungkin bisa mengakibatkan depresi, merasa berdosa dan tidak berharga, ingin bunuh diri atau melakukan percobaan bunuh diri, menyendiri dan tidak mau bergaul lagi dengan dunia luar.

Akibat lainnya dari incest ini adalah anak bisa membeci laki-laki atau sebaliknya perkembangan kematangan seksualnya menjadi lebih cepat. Bisa saja ia menjadi lebih menyukai seks, bicara mengenai seks, bahkan mungkin ia ingin mengalami hal yang sama dengan laki-laki lain. Kondisi ini pada gilirannya akan memicu anak melakukan hubungan seks dengan pacarnya ataupun menjadikan dirinya sebagai objek seks komersial. Seandainya anak menjadi benci laki-laki maka yang akan terjadi selanjutnya adalah penyimpangan orientasi seksual yang lebih berbahaya yaitu menjadi lesbian. Karena anak dengan pemikirannya yang masih sangat sederhana merasa jenis laki-laki hanya akan menyakitinya karena kaum laki-laki sejenis dengan ayahnya.

Mungkin ini pemikiran yang sepele dan terlalu menggeneralisisr karena pasti tidak semua laki-laki seperti itu. Namun dalam fikiran anak-anak yang demikian itu bukanlah sepele, apalgi bila si anak memiliki gambaran dalam hati dan fikirannya bahwa ayah itu sosok yang akan menyayangi dan melindungi dia apapun yang terjadi, karena awalnya si anak merasa bahwa dialah putri kesayangan ayah. Namun saat sang pelindung ini memaksakan nafsu bejatnya pada anak maka rusaklah jiwa anak yang selama ini menyayangi dan menghormati orang tuanya. Karena awalnya ia sangat sayang sehingga ketika ia kecewa maka ia bisa menjadi sangat benci.

Sebab lainnya karena anak merasakan kekecewaan yang dalam karena tercorengnya hubungan emosional yang harmonis yang selama ini dirasakan anak terhadap pelaku. Hati anak-anak yang lugu akan sangat rapuh menghadapi kenyataan bahwa orang yang disayanginya ternyata menyakitinya bahkan merusak masa depannya dengan cara-cara yang tentu saja tak pernah terbayangkan sama sekali, bahkan kadang tak dimengertinya sedikitpun.

Pada kondisi seperti ini hendaknya keluarga yang lain menginformasikan kekerasan yang dilakukan tersebut kepada yang berwajib, bisa juga ke Komisi Nasional Perlindungan Anak, atau ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia, agar mendapat tindakan kuratif dan juga preventif agar hal demikian tidak terulang lagi pada diri anak.

Namun seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa kadang anggota keluarga takut membeberkan kenistaan yang dilakukan salah seorang anggota keluarga yang lain terhadap si anak di keluarga itu. Takut akan timbul pandangan miring dari keluarga lainnya yang tidak mengetahui akan hal tersebut, atau oleh tetangga di sekitarnya, hingga keluarga yang tahu akan hal ini memilih mendiamkan saja. Padahal ini sangatlah berakibat buruk karena hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan tidak terpenuhi justru oleh keluarganya sendiri.

Dari sekian kasus yang jumlahnya pasti lebih banyak dari yang dilaporkan, telah ada sebagian kasus yang diselesaikan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak terutama divisi Hotline Service bekerja sama dengan Rumah Perlindungan Sosial Anak. Anak-anak korban kekerasan seksual dititipkan di Rumah Perlindungan Sosial Anak untuk mendapatkan terapi pemulihan trauma (trauma healing therapy) dari pendamping, psikolog atau relawan yang telah diberi pelatihan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak.

Terapi ini secara umum bertujuan untuk menenangkan kegoncangan bathin yang dirasakan anak korban kekerasan seksual, agar mereka bisa kembali ke dunia mereka sebelumnya, bisa dengan mata terbuka dan percaya diri melanjutkan kembali bangku sekolah yang mereka tinggalkan. Terapi dilaksanakan dengan bersandar pada prinsip-prinsip konseling dalam psikologi dengan memperhatikan fase perkembangan serta kondisi mental anak pada fase itu, dan juga agama anak.

Atas dasar semua kondisi yang telah dipaparkan, penulis merasa tertarik untuk menjelaskan dan menganalisa terapi pemulihan trauma yang diberikan para terapis di Rumah Perlindungan Sosial Anak dari sudut pandang pendidikan anak dan psikologi Islam.


Identifikasi Pokok Permasalahan dan Perumusan Masalah
Permasalahan pokok yang akan dikaji dalam pelitian ini adalah terapi pemulihan trauma yang digunakan para terapis terhadap anak korban kekerasan seksual dikaji dari sudut pandang pendidikan anak dan psikologi Islam. Perumusan masalah tergambar dalam pertanyaan sebagai berikut:
7. kecakapan yang harus dimiliki terapis untuk memberikan trauma healing terhadap anak korban kekerasan seksual
8. terapi pemulihan trauma yang telah diberikan
9. metode yang digunakan terapis dalam upaya trauma healing
10. faktor penghambat dan pendukung jalannya trauma healing terapy?

Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengupas secara detail terapi pemulihan trauma yang dilakukan Rumah Sosial Perlindungan Anak. Memaparkan terapi pemulihan trauma yang diberikan secara deskriptif analitik, yaitu setelah dipaparkan keseluruhan bagiannya kemudian dianalisa secara kritis dan mendalam. Analisa yang dimaksudkan adalah mengkaji terapi tersebut dari sudut pandang pendidikan anak dan psikologi Islam.

Manfaat penelitian:
1. Secara teoritis, memberikan pemahaman yang komprehensif kepada peneliti dan juga komunitas akademika yang terkait dengan dunia psikologi Islam dan pendidikan, agar dapat memahami lebih jauh tentang fenomena yang nyata terjadi di hadapan mata tentang kekerasan seksual anak dan terapi yang diperlukan untuk memulihkan traumanya.
2. Secara pragmatis, memberikan penjelasan yang mendalam tentang terapi pemulihan terapi yang digunakan untuk memulihkan trauma, untuk kemudian peneliti bisa memberikan sumbangsih yang nyata dalam terapi pemulihan trauma anak korban kekerasan kekerasan seksual.

Tinjauan Hasil Penelitian dan Kajian yang Relevan
Disertasi, Penanganan Anak Korban Kekerasan Seksual di Polres Metro Jakarta Selatan, oleh Prasetijo, (2002). Pada disertasi ini, Prasetijo meneliti proses penanganan yang dilakukan polres Metro terhadap anak korban kekerasan seksual. Dimana proses interogasi dan sikap yang ditampakkan polisi tidak sama dengan ketika polisi tersebut mengintrogasi atau menyelidiki korban kriminal yang lainnya.

Disertasi, Penanganan Pada Anak yang Mwenyaksikan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, oleh Gisella Tani Pratiwi, (2003). Dalam disertasi ini Gisella mengambil anak yang bukan terlibat kekerasan seksual tetapi melihat terjadinya kekerasan fisik dalam ruang lingkup keluarga inti, terutama antara ayah dengan ibu.

Disertasi, Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak, oleh Maria Lamria (2005). Maria Lamria menjelaskan upaya yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak terhadap anak yang menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan ini mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual dan emosional.

Sistematika Penelitian
Pada bab pertama akan dijelaskan mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi Pokok Permasalahan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Hasil Penelitian dan Kajian yang Relevan, Sistematika Penelitian, dan Metodologi Penelitian.

Pada bab ke dua akan dijelaskan mengenai Posisi Anak dalam posisi Keluarga, Masyarakat dan Negara, Kodrat Anak Dalam Islam, Kaidah Islam Dalam Pendidikan Anak, serta Anak Menurut Psikologi Islam .

Selanjutnya bab tiga akan mengupas Definisi, dan Teori-teori Kekerasan, Jenis-jenis Kekerasan dan Akibat yang Ditimbulkannya, Pandangan Islam Terhadap Kekerasan, Pandangan Psikologi Terhadap Kekerasan.

Bab ke empat membahas mengenai Jenis-jenis Kekerasan Anak, Dampak Kekerasan Terhadap Perkembangan Mental Anak, Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan, Posisi dan Fungsi Komisi Nasional Perlindungan Anak, Kekuatan Hukum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Posisi dan Fungsi Rumah Sosial Perlindungan Anak (RSPA).

Untuk bab lima akan dibahas Upaya yang Telah dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak Bekerja Sama Dengan RSPA Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual, Kecakapan yang Harus Dimiliki Oleh Terapis Dalam Menghadapi Trauma Anak Korban Kekerasan Dari Segi Pendidikan Anak dan Psikologi Islam, Metode yang Digunakan Terapis Dalam Terapi Pemulihan Trauma Kaitannya Dengan Pendidikan Anak dan Psikologi Islam, Faktor Penghambat dan Pendukung yang mempengaruhi Keberhasilan Terapi Pemulihan Trauma Anak.

Diteruskan bab enam yang menelaah Pengembalian Jati Diri Anak Korban Kekerasan Seksual Melalui Terapi Pemulihan Trauma (beberapa contoh kasus), dan juga Bakti Rumah Sosial Perlindungan Anak Terhadap Masyarakat.
Sebagai bab terakhir akan dibahas Kesimpulan dan Penutup

6. Metodologi Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif analitik, dengan menggunakan pijakan analisa ilmu pendidikan dan psikologi Islam. Peneliti mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya tentang keekrasan seksual anak dan terapi pemulihan trauma yang dilakukan Rumah Sosial Perlindungan Anak terhadap anak korban kekerasan seksual. Kemudian dilakukan wawancara mendalam dengan pimpinan Rumah Sosial Perlindungan Anak dan beberapa terapis atau psikolog yang memberikan terapi pemulihan trauma terhadap aank korban kekerasan seksual. Peneliti juga mengobservasi secara cermat dan teliti terapi pemulihan trauma yang dilakukan terapis terhadap anak korban kekerasan seksual. Kemudian seluruh data yang didapatkan dari observasi dan wawancara mendalam dikaji, dianalisa dengan berpijak pada ilmu pendidikan anak dan psikologi Islam.

Selasa, Oktober 27, 2009

alhamdulillah....
dari hari ke hari... allah terus menganugrahi banyak nikmat padaku.... :)

Kamis, Oktober 15, 2009

MEMBANGUN KREATIVITAS ANAK: DARI SEGI KOGNISI DAN AGAMA

PENDAHULUAN
Menciptakan suatu hal yang baru kadang bisa dikatakan sulit, kadang mudah. Ketika manusia dihadapkan pada sesuatu yang membuatnya berfikir, maka manusia dengan kelebihan istimewa yang diberikan Allah, yaitu akalnya, akan mencoba berbagai cara menemukan solusi. Salah satu contoh, sepeda. Sejarah sepeda bermula di Inggris tahun 1790, dengan nama Hobby Horses dan Celeriferes. Keduanya belum punya mekanisme sepeda zaman sekarang, batang kemudi dan sistem pedal. Hanya ada dua roda pada sebuah rangka kayu. Penemuan fenomenal dalam kisah masa lalu sepeda tercipta berkat Baron Karl Von Drais. Von Drais yang berhasil melakukan terobosan penting pada tahun 1817, merupakan peletak dasar perkembangan sepeda selanjutnya. Oleh Von Drais, Hobby Horse dimodifikasi hingga mempunyai mekanisme kemudi pada bagian roda depan. Ia menyebutnya Draisienne. Proses penciptaan selanjutnya dilakukan Kirkpatrick Macmillan. Pada tahun 1839, ia menambahkan batang penggerak yang menghubungkan antara roda belakang dengan ban depan Draisienne. Untuk menjalankannya, tinggal mengayuh pedal yang ada. James Starley mulai membangun sepeda di Inggris di tahun 1870. Starley berhasil membuat terobosan dengan mencipta roda berjari-jari dan metode cross-tangent. Sampai kini, kedua teknologi itu masih terus dipakai. Sampai akhirnya, keponakan James Starley, John Kemp Starley melanjutkan karyanya. Ia menciptakan sepeda yang lebih aman untuk dikendarai oleh siapa saja pada 1886. Sepeda ini sudah punya rantai untuk menggerakkan roda belakang dan ukuran kedua rodanya sama. Namun penemuan tak kalah penting dilakukan John Boyd Dunlop pada 1888. Dunlop berhasil menemukan teknologi ban sepeda yang bisa diisi dengan angin (pneumatic tire). Sejak ini sepeda makin menemukan kesempurnaannya hingga sekarang .
Mengapa membicarakan sejarah sepeda? Bukan lampu, mesin uap, telepon dan lainnya? Poin penting dalam sejarah penemuan apapun, adalah IDE dan KREATIVITAS. Bagaimana seorang manusia biasa menjadi luar biasa dengan ide yang muncul, dan tidak sebatas itu, ia berusaha untuk mewujudkan ide-ide itu ke alam nyata. Sesuatu yang tadinya mungkin tidak pernah terbayangkan oleh orang-orang pada zaman itu, namun –melalui ide dan kreativitas yang istimewa- kemudian “sesuatu” itu tercipta dan berkembang hingga akhirnya dinikmati oleh puluhan bahkan ratusan generasi setelahnya. Lalu, apa dan bagaimana kreatifitas itu, dan bagaimana membangun sisi kreatif anak hingga ia bisa menemukan “sesuatu” yang berguna bagi umat manusia di kemudian hari? Akan dibahas secara sekilas pada tulisan berikut.

PEMBAHASAN

MAKNA KREATIVITAS
Para pakar membedakan pengertian kreativitas, beberapa diantaranya: Barron mengatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Makna ‘baru’ di sini menurut Utami , tidaklah menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada, melainkan mewujudkan suatu kombinasi yang sudah ada sebelumnya.
Sedikit lebih panjang Drevdahl menjelaskan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk memproduksi komposisi-komposisi dan gagasan-gagasan baru yang dapat berwujud aktifitas imajinatif dan sintesis yang mungkin melibatkan pembentukan pola-pola baru dan kombinasi dari pengalaman masa lalu yang dihubungkan dengan yang sudah ada pada situasi sekarang. Hasil tersebut berguna, bertujuan, terarah, dan tidak hanya sekedar fantasi. Sumber awal dari perkembangan kreativitas itu disebabkan oleh factor-faktor yang ada dalam lingkungan keluarga .
Sementara Rhodes mengelompokkan kreativitas dalam empat kategori, yaitu product, person, process, dan press. Product menekankan kreativitas dari hasil karya kreatif, baik yang sama sekali baru maupun kombinasi karya-karya lama yang menghasilkan sesuatu yang baru. Person memandang kreativitas dari segi ciri-ciri individu yang menandai kepribadian orang kreatif atau yang berhubungan dengan kreativitas, ini dapat terlihat melalui perilaku yang nampak. Process menekankan bagaimana proses kreatif itu berlangsung sejak dari mulai tumbuh sampai dengan terwujudnya perilaku kreatif. Sedangkan press menekankan pada pentingnya faktor-faktor yang mendukung timbulnya kreativitas pada individu .
Beralih ke Torrance, ia mengatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan memahami kesenjangan-kesenjangan atau hambatan-hambatan dalam hidupnya, merumuskan hipotesis-hipotesis baru, dan mengkomunikasikan hasil-hasilnya, serta sedapat mungkin memodifikasi dan menguji hipotesis- hipotesis yang telah dirumuskan. Kemampuan kreatif ini menurut Torrance berlangsung melalui proses belajar yang dilakukan oleh individu dalam waktu yang lama. Kemampuan ini juga membutuhkan pengetahuan sebagai bahan dalam membuat hipotesis-hipotesis baru terhadap sesuatu.
Dari perspektif psikologi, Maslow mengatakan kreativitas adalah kemampuan manusia mengarah/menuju pada penciptaan/penyusunan sesuatu yang berpola baru. Kreativitas merupakan tanda manusia mengaktualisasikan dirinya. Aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi manusia dalam piramida hierarki kebutuhan yang dikonsepkan Malsow. Aktualisasi diri masuk kepada kelompok B-Needs atau being needs: kebutuhan untuk menjadikan dirinya “ada”, sedangkan empat kebutuhan sebelumnya berada pada kategori D-Needs atau deficit needs: yaitu kebutuhan dasar, yang bila salah satunya tidak terpenuhi dengan imbang, maka manusia akan merasakan kekurangan dalam hidupnya, kebutuhan ini sebagai syarat terciptanya homeostatis.
Sedangkan dari sudut filsafat, menurut Toety Heraty Noerhadi, kreativitas memiliki fungsi biologik dan evolusi budaya. Kreativitas berfungsi biologis ketika stimulus yang muncul direspon dengan sikap/gerakan fisik, sampai membentuk restrukturasi. Ini diawali dari “kondisioning klasik’ sebagai tahapan pertama, yang diciptakan Ivan Pavlov dalam merangsang perilaku anjing melalui bunyi bel. Kondisioning klasik ini dilanjutkan oleh B.F. Skinner terhadap tikus-tikus percobaannya, untuk membedakan pintu yang berbagai bentuk dan warna, melalui proses yang disebut dengan conditioning operant. Tahap ketiga dalam hukum stimulus respon ini adalah kondisioning semantik yang sudah melibatkan bahasa dalam pemberian stimulus. Kondisioning semantik ini akhirnya meluas tidak sebatas bahasa saja melainkan juga mencakup simbol2 dan tanda-tanda, Karena manusia adalah makhluk yang sangat mahir dalam membentuk simbol-simbol dan tanda-tanda untuk menyampaikan makna. Simbol-simbol ini terus mengalami perubahan dan pembaharuan sesuai dengan pengertian-pengertian baru yang dipahami manusia mengenai segala hal. Tahapan pembaharuan ini merupakan tahapan yang terakhir yang dinamakan restrukturasi kreatif. Inilah posisi dan fungsi kreativitas tertinggi yaitu: mengganti tatanan lama dengan tatanan baru.
Kreativitas dalam fungsinya sebagai evolusi budaya. Sejak awal, manusia mengandalkan kemampuan berburu hewan dan bertahan hidup di hutan, namun kemudian ada perubahan situasi dimana manusia harus hidup berpindah-pindah dengan kondisi alam yang mungkin sama sekali berlainan dengan tempat hidup sebelumnya. Dalam kondisi seperti ini dituntut penyesuaian diri yang baik, maka manusia mencoba untuk menyesuaikan kemampuan hidupnya dengan tantangan baru, yang kemudian menimbulkan kreativitas dalam bekerja. Proses perubahan dari zaman batu ke zaman logam merupakan bukti dari kreativitas yang berfungsi sebagai evolusi budaya tersebut.
Terkait dengan budaya, Selo Soemardjan mengatakan bahwa, kreativitas selamanya tidak akan pernah berhenti dipengaruhi oleh kondisi budaya yang mengitari tempat kreativitas itu tumbuh. Budayapun memiliki faktor pembentuk yang beragam, ada yang timbul dari nilai-nilai, norma agama, aturan adat suku, tata nilai hukum dan nilai-nilai normative lainnya.
Dari beberapa definisi yang dipaparkan, ada beberapa hal penting yang bisa disarikan dari kreativitas bahwa; 1) Mengarah pada sesuatu yang baru, 2) Merupakan usaha untuk beradaptasi dengan kesulitan atau tuntutan, 3) Membutuhkan entri/pengetahuan yang sudah ada sebelumnya/pengalaman, 4) Kreativitas bisa dipelajari, bukan hadiah dari Tuhan, 5) Lingkungan sangat mempengaruhi kemampuan kreativitas, 6) Kreativitas membutuhkan proses, bukan sesuatu yang langsung jadi dalam sekejap, 7) Kreativitas sebagai tanda kemampuan mengembangkan diri.
Dari pemahaman beberapa definisi ini bisa dimengerti bahwa, kreatifitas bukanlah sesuatu yang given, melainkan harus diupayakan untuk memilikinya, ada proses belajar yang harus dilewati, ada pengetahuan yang harus dikuasai sebagai basic dari kreativitas itu, juga kreativitas membutuhkan kemauan/desire. Terlihat dari uraian Torrance, bahwa kreativitas timbul sebagai usaha memahami dan mengatasi kesenjangan/kesulitan hidup. Demikian pula yang digambarkan Sutan Takdir Alisyahbana, bahwa kreativitas berfungsi ketika manusia bertingkah laku berevolusi, menyesuaikan diri terhadap perubahan alam. Berarti dibutuhkan will dalam membangun kreativitas. Bisa dipahami juga bahwa kreativitas hanya bisa dimiliki oleh mereka yang mempunyai curiosity. Curiosity itu yang menjadi pendorong untuk bisa melakukan sesuatu demi mengatasi kondisi tertentu.
Bila kreativitas bukanlah given by God, berarti keluarga memiliki peranan besar terhadap pertumbuhan jiwa kreativitas anak, seperti dikatakan Drevdahl, karena keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak, maka pengaruh yang datang dari keluarga adalah pengaruh pertama yang akan membentuk/membantu perkembangan anak. Agar pengarahan/pengajaran materi apapun kepada anak bisa berhasil, termasuk didalamnya mengarahkan anak untuk kreatif, haruslah dimulai dari usia dini. Usia dini, seperti yang “dijual” di iklan-iklan, merupakan golden stage si anak, dimana sistem memorynya sangat mudah menerima dan merekam informasi apapun, sehingga materi apapun akan diterimanya dengan baik. Oleh karenanya penting bagi orang tua, keluarga dan pendidik di sekolah untuk benar-benar memahami masa penting anak, apa saja tugas perkembangannya pada masa-masa itu, untuk selanjutnya dapat dengan semaksimal mungkin mencukupi kebutuhan si anak agar seluruh potensinya terbina. Termasuk di dalamnya daya kreativitas anak.
J. P. Guilford menjelaskan dua model cara berfikir: yaitu konvergen dan divergen. Cara berfikir ini terkait dengan teori belahan otak (hemisphere theory), yaitu pembagian kerja/fungsi otak kanan dan otak kiri. Fungsi otak kanan (right hemisphere) berkenaan dengan pekerjaan yang bersifat non linier, non verbal, holistik, humanistis, kreatif, mencipta, mendisain, bahkan terkait magic/ mistik dan sebagainya. Sementara otak kiri (left hemisphere) berfungsi pada pekerjaan yang bersifat ilmiah, kritis, linier, teratur, sistematis, terorganisir, dan sebagainya. Dari pembagian fungsi dan kemampuan kerja otak ini disimpulkan bahwa cara kerja otak kanan lebih divergent, bersifat menyebar. Sedangkan cara kerja otak kiri lebih convergent, bersifat pemusatan fokus/terarah. Konvergen adalah cara berfikir yang biasa mengulas apa yang sering difikirkan orang lain secara kebanyakan. Sementara berfikir divergen adalah kebalikannya, ia memikirkan apa yang jarang difikirkan. Dalam kaitannya dengan daya kreatif maka cara berfikir divergenlah yang dianggap lebih mampu berkreativitas.
Sedangkan jika dilihat dari psikoanalisa, Freud dan para pengikutnya memandang kreativitas adalah sebagai sublimasi dorongan seksual atau libido. Sehingga dimaknai, orang yang memiliki daya kreativitas yang bagus adalah mereka yang mampu memanage tingkat libidonya. Mereka yang memiliki daya kreativitas yang baik, terkadang melakukan tindakan dan mempunyai pemikiran yang acapkali spontas, di luar dugaan orang lain, sehingga kadang tidak bisa dijelaskan dengan nalar ilmiah. Setelah mempelajari daya kreatrivitas dalam sains, Arthur Koestler menyimpukan bahwa, cara berfikir yang kaku dalam penemuan ilmiah adalah terlalu berlebihan, karena daya kreavitas di mata Koestler adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.
Dari cara-cara berfikir orang-orang yang memiliki daya kreativitas, yang lompatan imajinasinya kadang tidak terduga oleh orang lain, dimana ia biasanya meng-ide-kan sesuatu yang tidak terfikirkan oleh orang lain, maka secara inheren kreativitas seperti mengisyaratkan “kejeniusan” dalam pola kerjanya. Pada tahun 1700-an, jenius dipahami sebagai sebuah daya yang tidak bisa dipahami secara ilmiah, dan misterius dalam menghidupkan aspek-aspek insani, sedangkan saat ini, jenius dipahami sebagai kemampuan luar biasa untuk mencapai orisinalitas yang diinginkan atau pada orang yang memberikan kontribusi baru dan berguna bagi kemanusiaan.
Bila ditekankan pada ide ini, yaitu sisi jenius yang berlindung di balik daya kreativitas, akan muncul pemahaman bahwa kreativitas hanya bisa dimiliki oleh orang-orang jenius. Orang yang memiliki tingkat IQ istimewa yaitu sekitar 150-200. Maka ide ini akan bertentangan dengan pemaknaan kreativitas oleh pakar-pakar yang sebelumnya sudah disebutkan, yaitu Torrance, Drevdahl, Barron, Utami dan Rhodes, mungkinpun oleh banyak pakar lain yang tidak disebutkan di sini. Sedangkan para pakar tersebutpun memberikan definisi seperti itu setelah melalui pengujian hipotesa dan serangkaian penelitian dengan metodologi yang sah. Lalu dimana titik temunya?
Psikoterapi menjawabnya dengan menjabarkan dua kondisi yang bersebrangan, yaitu yang mendukung tumbuhnya daya kreativitas, dan kondisi yang menghalanginya, dimana dua kondisi ini dibahas dari segi internal dan eksternal individu.
Kondisi yang mendukung tumbuhnya kreativitas dari segi internal adalah, penerimaan diri pada fenomena baru, mengurangi penolakan diri dan pertahanannya, respon-respon yang tidak biasa, disiplin diri, penghargaan diri yang tidak berlebihan, minat yang luas, penolakan-penolakan hambatan yang datang dari luar, kemampuan untuk membuat penyaluran kapasitas, dan kemampuan untuk berimprovisasi, dan mendramatisir. Sedangkan dari segi eksternalnya, kondisi yang penuh permainan, tidak terlalu kompetitif, tidak rapat dengan penilaian, memberikan motivasi situasional, tidak ada batasan waktu, percaya, bersifat personal, dan berorientasi proses.
Sebaliknya, kondisi yang menghambat tumbuh kembang kreativitas dari segi internal adalah, perhatian berlebihan pada opini yang lain, keterlibatan berlebihan dengan orang lain, penilaian sikap, membekunya tingkah laku menjadi pola-pola yang kaku dan tingginya rasa takut. Dari sisi eksternalnya yang menghambat lajunya kreativitas adalah tekanan sosial untuk menjadi konformis, batasan waktu, penilaian yang terlalu ketat, tekanan penampilan, disiplin yang berlebihan, serta kurangnya apresiasi bahkan hukuman berlebihan yang diberikan terhadap munculnya sikap-sikap atau ide-ide kreatif.
Kubie, di sisi lain dari psikotherapy, membandingkan proses kreatif dengan neurotic/neurose. Baginya, inti dari jiwa yang sehat adalah fleksibilitas dalam berbagai cara vital, sedangkan inti dari sakit adalah menyimpan tingkah laku yang tidak dapat diubah, dan pola-pola yang tidak pernah terpuaskan.
Secara lebih jauh makna dari pemahaman Kubie ini adalah, orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mampu melenturkan pemikirannya dalam menghadapi kesulitan. Penulis mengidentikkan pemahaman ini dengan kemampuan kreativitas yang didefinisikan Torrance. Bahwa, kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk mencari solusi yang tepat ketika berhadapan dengan kesulitan. Apabila saraf melentur, kondisi jiwa bisa fleksibel menghadapi tekanan, maka ia akan –seperti karet- elastis. Dimana elastis tidak mudah putus. Jika disandingkan dengan teori toleransi stres dalam ilmu fisika, bahwa toleransi stres adalah suatu keadaan benda berupa kawat atau tali, yang menahan benda lain di atasnya yang jauh lebih berat. Ketika itu, ia akan melengkung, dan toleransi stres adalah waktu (seberapa lama) kawat melengkung mampu menahan beban berat, sebelum akhirnya putus. Ketika kawat kian melengkung, mungkin pula meregang karena beratnya beban, ini bisa disamakan dengan kondisi seseorang yang sedang menanggung beban mental yang hebat, sehingga mengalami gangguan neurose. Sedangkan bila kawat tidak mampu lagi menahan berat benda, maka kawat akan putus, dengan kata lain, jika saraf tidak mampu lagi menanggulangi dan menampung persoalan, maka saraf akan putus. Pada beberapa orang ini akan berakibat stroke, dan pada sebagian lain ini akan berakhir di psikose, yaitu sakit jiwa.
Jiwa mengalami neurose karena ia tidak mampu merubah persepsinya tentang suatu keadaan yang menyakitinya, tidak mampu mengganti sudut pandang pemikiran terhadap keadaan yang menimpa, dan jiwa yang demikian, menyimpan ketidakpuasan yang sangat tingi terhadap hidup. Itulah yang melatarbelakangi definisi singkat yang dikatakan Kubie, bahwa inti rasa sakit adalah menyimpan tingkah laku yang tidak berubah dan pola-pola yang tidak terpuaskan. Maka sakit yang dipahamkan Kubie disini bukanlah pada wilayah fisik melainkan psikis, yaitu self, mind and soul.
Kembali pada psikoterapi, Lynn Wilcox mengatakan bahwa manusia dan semua yang ada di alam raya ini adalah hasil kreativitas Tuhan. Tidak ada daya manusia sedikitpun untuk bisa berkreativitas selain menggunakan daya yang diberikan oleh Tuhan, dan itu terjadi melalui ketersambungan yang kuat antara manusia dengan Tuhan. Ini sangatlah selaras dengan keyakinan yang diajarkan Islam, bahwa tiada kekuatan kecuali dari Allah yang maha tinggi lagi maha besar. Kekuatan yang dimaksud, adalah kekuatan apa saja, semua jenis kekuatan, baik itu fisik apalagi psikis. Berarti jika manusia ingin menjadi kuat jiwa raganya selain ia harus mengusahakannya dengan kemampuannya, ia harus menjalin koneksi yang intens dengan Tuhannya, karena hanya Tuhannya-lah yang mampu memberikan kekuatan tersebut kepada manusia. Agar manusia memiliki kekuatan untuk berbuat, untuk berkreativitas maka ia harus membuka mata hatinya terhadap Tuhannya, mendekat, sangat mendekat. Demikianlah gambaran yang dipaparkan Wilcox dalam psikoterapinya, bahwa ketersambungan dengan tuhan adalah inti daya untuk berbuat apa saja, inti dari kreativitas.
Jika dari awal, dirunutkan, maka poin-poin penting dari kreativitas semakin bertambah, mulai dari unsur pembelajaran, proses, pengalaman, motivasi lingkungan, adaptasi/respon terhadap permasalahan, pengembangan/aktualisasi diri, sampai pada unsur kejeniusan, bahkan psikotherapy terutama Wilcox memasukkan unsur kedekatan hubungan dengan Tuhan, sebagai pilar penting dari sebuah bangunan kreativitas.
Walaupun demikian, bertambahnya unsur penting yang harus ada dalam penumbuhan kreativitas, tidaklah bersebrangan maknanya satu sama lain. Semua pilar pokok tersebut saling berhubungan erat dan mendukung satu sama lain, bahkan bila satu diantaranya absen, maka kreativitas tidak akan mudah tumbuh dengan baik, sebagaimana penjelasan lebih lanjut.
Perjalanan pembelajaran mengenai segala sesuatu memerlukan proses. Bahkan Allahpun menciptakan alam ini melewati tahapan proses yang bisa diamati dalam al Qur’an. Walaupun dalam ayat lain Allah mengatakan bahwa untuk penciptaan apapun Ia bisa saja hanya dengan mengucapkan “kun/jadi!” maka jadilah apapun yang dikehendakinya (Q.S. Yaasin/36: 82). Namun Allah tetap menciptakan langit dan bumi dalam dua hari (Q.S. Fushshilat/14: 9), yang demikian itu bertujuan untuk menjelaskan pada manusia bahwa penciptaan sesuatu memerlukan proses, walaupun sebenarnya Allah bisa menciptakannya seketika.
Maka dari itu, wajar bila manusia memerlukan proses untuk sampai pada sesuatu, karena manusia tidak memiliki daya Kun fa Yakun seperti Allah. Manusia harus belajar, manusia yang enggan belajar menurut Mahmud Qombar, bagaikan hewan yang bodoh, karena setiap orang biasa pasti memerlukan bimbingan orang lain yang lebih tahu untuk memberinya pengetahuan sehingga dirinya tidak tersesat. Untuk menjadi kreatif membutuhkan sebuah pembelajaran. Karena perubahan tingkah laku yang dicapai seseorang dari tidak bisa menjadi bisa, tidak tahu menjadi tahu, tidak kreatif menjadi kreatif tentunya melewati tahapan-tahapan pembelajaran, sebagai hasil dari proses kognitif yang dilakukan oleh individu atas dasar pengalaman dan interaksi dirinya dengan lingkungan sekitarnya.
Menguasai pengetahuan yang biasa dipelajari orang lain, untuk menjadi “bisa” dalam hal yang biasa buat kebanyakan orang memerlukan proses belajar yang baik dan mencukupi syarat. Apalagi untuk memiliki daya yang “tidak biasa” yaitu kreativitas, seperti dikatakan bahwa kreativitas tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Dalam usaha menjadi kreatif, seseorang memerlukan lingkungan yang kondusif, yaitu lingkungan yang memotivasi. Walaupun individu memiliki minat belajar tinggi, sarana belajar memadai, potensi intelektual menunjang, namun lingkungan tidak mendukung, maka proses pembelajaran untuk menjadi/menguasai apapun tetap mengalami kemandegan, oleh karenanya faktor mileu adalah salah satu pilar penting bagi keberhasilan sebuah proses pembelajaran atau pendidikan apapun.
Ketika individu sudah memulai untuk belajar yang didukung salah satunya dengan lingkungan yang memotivasi, maka sebuah proses pencarian kemampuan telah dimulai. Dalam proses ini, individu akan menemukan pengalaman-pengalaman baru tentang banyak hal. Pengalaman atau pemahaman baru terkadang tidak hanya timbul dari hasil belajar, dapat juga timbul dari usaha adaptasi individu terhadap perubahan, atau merupakan jawaban dari tuntutan masalah yang dialami. Pengalaman demi pengalaman akan membimbing individu untuk mendapatkan pengetahuan yang kian komprehensif tentang segala sesuatu. Proses pembelajaran yang melahirkan pengalaman ini membutuhkan kemampuan intelektual untuk mengurai dan menganalisa pengalaman-pengalaman yang didapatkan sehingga mampu memaknai informasi yang telah didapatkan dengan pemaknaan yang baru dan berbeda, namun tetap berguna. Atau bahkan memberikan sebuah pemahaman baru mengenai sesuatu.
Selain membutuhkan daya kognisi, diperlukan juga kepribadian yang matang, dimana ia dalam berfikir mencoba menemukan sesuatu itu, tidak lagi memikirkan keuntungan dirinya, namun untuk kemaslahatan orang lain. Individu bersedia menggunakan waktu dan kemampuannya semaksimal mungkin, untuk melakukan yang terbaik bagi sesamanya. Ia bersedia mengembangkan dirinya demi kepentingan orang lain. Hanya individu yang sudah memiliki kematangan pribadi yang mampu berlaku demikian. Itulah sebab mengapa Maslow meletakkan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tertinggi dan terpisah dari kebutuhan dasar, karena walau semua manusia membutuhkannya namun tidak semua manusia mampu menggapainya.
Demikianlah untuk memecahkan suatu masalah berat/penting, atau menjawab tuntutan terhadap sesuatu, individu menggunakan kematangan pribadinya dalam mengembangkan diri bagi kepentingan orang lain, pengalaman yang sudah didapatkannya untuk dicombine dengan daya intelektualnya yang tinggi sehingga bisa menemukan sesuatu yang baru, yang bisa disebut solusi. Pada tahap ini, tingkat intelegensi seseorang dituntut untuk terlibat secara maksimal. Itulah yang mendasari terselipnya ide jenius pada daya kreativitas seperti yang disebutkan sebelumnya. Karena untuk mampu memaknai sebuah informasi/fenomena dengan pemahaman yang berbeda, tidak mengikuti pemahaman sebelumnya, bahkan mampu memunculkan sudut pandang yang sebelumnya tidak pernah terfikirkan oleh orang kebanyakan, tentu membutuhkan analisa tinggi dengan tingkat intelegensi yang tidak rendah. Karena informasi ataupun fenomena yang diamati sama dengan yang diamati oleh orang lain, namun terjawantahkan melalui pola fikir yang berbeda sehingga hasilpun berbeda, melampaui batas pemahaman umum, bahkan kadang terlihat “lain”.
Namun begitu, bukan berarti individu yang tingkat intelegensinya sedang kemudian tidak mampu berkreasi atau tidak memiliki daya kreativitas sama sekali, karena seperti sudah dijabarkan bahwa kreativitas bukan given by God, walaupun sumbernya memang dari God/the Source. Karena daya kreativitas bukanlah sesuatu yang dibawa dari lahir laksana DNA. Ianya bisa dipelajari dan diusahakan, walaupun mungkin akan ada perbedaan antara individu yang berintelegensi sangat tinggi dengan yang hanya “tinggi” atau bahkan di bawah itu.
Lalu apa hubungannya kreativitas dengan segala unsur pembangunnya, itu dengan kedekatan kepada Tuhan? Perlu diingat bahwa manusia terlahir dengan fitrahnya masing-masing. Fitrah bisa disandingkan maknanya dengan potensi. Dalam Islam manusia dikenal memiliki potensi untuk belajar. Dalam al Qur’an, manusia kadang disebut dengan istilah nas (bentuk tunggal)/insan (bentuk jamak), Kata insan berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa, dapat dikatakan bahwa kata insan menunjuk suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari adanya kesadaran penalaran Kata insan digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain adalah akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan . Apabila manusia dikatakan bisa berbeda seorang dengan lainnya karena salah satu faktornya adalah kecerdasan, berarti manusia memiliki tingkat intelegensi yang berbeda seorang dengan yang lainnya. Berarti pula manusia memiliki potensi belajar. Walaupun tingkat intelegensi dan kemauan serta kemampuan belajar bukan satu-satunya yang mempengaruhi kecerdasan. Tersirat pula dalam beberapa ayat al Qur’an yang kerap diakhiri dengan kata-kata “apakah kamu tidak berfikir?” “apakah kamu tidak berakal?”. Kata-kata ini menunjukkan bahwa akal dan potensi untuk belajar dan diajar telah diberikan Allah, tetapi manusia kurang memaksimalkannya atau bahkan dinilai Allah tidak memanfaatkannya.
Karena otak sebagai organ berfikir dan akal sebagai kemampuan berfikir adalah pemberian Allah, juga willing untuk belajar juga dianugrahi Allah, maka sudah seharusnya manusia bila ingin memaksimalkan daya kerja otaknya, mendekatkan diri secara lebih kepada Tuhannya. Sebuah ibarat yang umum dalam kenyataan hidup sehari-hari, jika seorang bawahan ingin mendapatkan kenaikan gaji/kenaikan pangkat dari atasan hendaklah ia memperbaiki kinerjanya, memperbaiki etos kerjanya, memperbaiki sifatnya secara personal sebagai bawahan juga dalam relasinya dengan sesama karyawan, apalagi dengan atasan. Karena kenaikan gaji/kenaikan pangkat adalah nilai plus yang belum tentu bisa didapatkan bawahan lainnya. Demikianlah kiranya dengan kreativitas, karena daya kreativitas adalah nilai plus bagi cara kerja akal sebagai kemampuan berfikir, yang tidak semua orang memilikinya sehingga untuk mendapatkannya, hendaklah mengadakan pendekatan yang intens dengan Sang Sumber kreativitas itu sendiri. Dari penjelasan ini sekiranya bisa diketahui titik temu semua pilar-pilar pembangun rumah “kreativitas”.

KREATIVITAS PADA ANAK
Perkembangan kreativitas pada umumnya mengikuti pola-pola yang dapat diramalkan, mulai dari tahap awal perkembangan anak, dunia bermainnya sampai pada tahapan selanjutnya kettika ia dewasa. Karena kreativitas merupakan bagian dari perkembangan kognisi maka kreativitas dapat ditinjau dari perkembangan kognitif, berdasarkan teori kognitif Jean Piaget. Menurutnya ada empat tahapan perkembangan kognitif, yang dalam penjelasan berikut juga akan dijabarkan dari segi perkembangan kreativitasnya, termasuk proses belajar, pengaruh mileu, dan penanaman jiwa keagamaan, yaitu:
1. Tahap sensori motoris
Tahap ini dimulai dari kelahiran sampai usia 2 tahun, dimana anak belajar dan berusaha mencapai kematangan dalam memfungsikan saraf sensori motoris, yaitu saraf yang ada pada tangan, kaki dan seluruh persendian. Mampu berlari, walau tidak kencang adalah target yang seharusnya mampu dicapai anak pada saat umurnya 2 tahun. Pada tahap ini, interaksi anak dengan mileunya masih terpaku sekitar keluarga, terutama keluarga inti, atau orang yang satu rumah dengannya. Interaksi dengan lingkungan lebih berorientasi pada gerakan otot-otot dan saraf motoriknya, ia suka menyentuh dan memegang sesuatu dengan erat, dan lebih cenderung tergantung dari stimulus dari lingkungannya. Apabila orang tua dan keluarga dekatnya sering menstimulasi untuk berjalan maka kemampuan berjalannya akan lebih cepat dikuasai dibandingkan anak yang kurang mendapat stimulasi.
Mengenai kreativitas, piaget menjelaskan pada usia ini, kemampuan berkreasi masih nol, karena semua kegiatannya hanya berorientasi fisik yang bersifat refleksif, karena pandangannya terhadap objek masih belum permanen, mudah dialihkan. Ia belum mengenal konsep ruang dan waktu, konsep tentang dirinya dan hubungan dengan orang lain, sehingga belum mampu menciptakan sesuatu.
Sedangkan untuk penanaman jiwa keagamaan, dalam pandangan Woodworth, bayi telah memiliki insting keagamaan diantara sekian insting yang dimilikinya, hanya saja seluruh indra dan organ berfikirnya belum mencapai kematangan fungsi, sehingga nilai-nilai keagamaan belum mampu ditangkap ataupun dinalarnya. Karena bayi memiliki insting keagamaan, yang memang telah diketahui dalam Islam, bahwa tiap bayi lahir dengan fitrahnya, dan setiap manusia memiliki fitrah atau berpotensi untuk bertuhan dan beragama, Nabi mensunatkan seorang bapak untuk mengazankan putra atau membisikkan iqamat di telinga putrinya ketika lahir. Selanjutnya yang bisa dilakukan orang tua adalah membiasakan anak dengan situasi yang agamis, atau mendengar kata-kata pujian seperti tahmid, tahlil dan sebagainya. Misalnya dibawa berzikir setiap selesai shalat jama’ah. Ketika akan menyuapi anak, ibunya terlebih dahulu membaca do’a mau makan. Ketika anaknya bersin, orang tua yang menyebut kalimat tahmid. Saat akan memandikan, mengenakan baju, menyusui, atau menggendongnya, dahulukan dengan menyebut lafadz basmalah, dan cara-cara lainnya.
2. Tahap pra operasional
Tahap ini berlangsung dari usia 2-7 tahun, disebut juga tahap intuisi karena perkembangan kognisinya memperlihatkan kecendrungan yang ditandai oleh situasi intuitif. Ini disebabkan perbuatannya tidak didasari pertimbangan rasional melainkan didorong oleh perasaan, kecendrungan alamiah, peniruan sikap-sikap yang didapat dari orang yang bermakna, serta lingkungan sekitarnya. Anak bersifat egosentris di usia ini, yang dalam pandangan Kartono, berbentuk naïf. Karena sifatnya itu, ia sering bertentangan bahkan dengan orang tuanya, yang diistilahkan sebagai masa Trotzalter (penentangan) pertama, karena ia lebih belajar untuk mengikuti kemauan dan perasaannya.
Daya kreativitas pada usia ini sudah mulai tumbuh karena anak sudah memiliki memory, mulai memahami keterkaitan ruang dan waktu walaupun secara sederhana, mampu memikirkan masa lalu dan masa datang sesuai kemampuan imajinasi dan kekuatan memory serta daya tangkapnya, meskipun rentang waktu yang diingat dan difikirkannya masih sangat pendek. Selain itu, anak memiliki kemampuan untuk menterjemahkan fenomena alam dan sesuatu yang ada di lingkungannya secara animistik dan antropomorfik. Animistik adalah menjelaskan fenomena alam dengan menggunakan perumpamaan hewan. Sementara antropomorfik adalah menjelaskan fenomena alam dengan perumpamaan manusia. Seperti misalnya ketika seorang gadis kecil say bye kepada bunga-bunga, ia membayangkan bunga tersenyum kepadanya.
Kemampuannya ini akan tumbuh dengan baik bila mileunya mendukung, misalnya orang tua memasukkan anak ke kelompok play group/TK yang berkualitas, dan di rumah keluarga juga rajin memberikan stimulasi dengan memberikan mainan-mainan yang menunjang kreativitas dan meningkatkan daya imajinasi anak, sembari mengamati perkembangan dan arah minat anak. Kemampuan imajinasi pada anak-anak merupakan kemampuan dasar kreativitas. Tanpa adanya imajinasi yang melampaui pemahaman umum, sebuah hal baru akan sulit tercipta, seperti halnya penemuan sepeda, pastilah diawali dari angan-angan untuk bisa berjalan dengan menaiki sesuatu agar bisa lebih cepat sampai di tujuan dibanding dengan berjalan kaki.
Untuk bidang keagamaan, pada usia ini menanamkan agama pada anak bisa dilakukan dengan dongeng, Ernest menyebut masa ini dengan the Fairy Tale Stage. Daya fantasinya yang sangat tinggi bisa dimanfaatkan untuk mengenalkan konsep kekuasaan Tuhan melalui dongeng yang dikarang, walaupun kurang masuk akal.
3. Tahap operasional konkret
Mulai usia 7-11 tahun perkembangan kognitif anak memasuki tahap konkret, karena anak mulai memahami realita yang terjadi di sekitarnya, sehingga ia mulai belajar untuk objektif, egoisnya berkurang, mulai bisa memahami fikiran dan perasaan orang lain, walaupun tidak sepenuhnya.
Mengenai kreativitasnya, pun sudah mulai berkembang, karena daya imajinasinya tetap tinggi sedangkan konsep ruang dan waktu yang ada di fikirannya makin terbentuk dengan sempurna. Sebagai contoh, sebuah lomba menggambar pernah diadakan untuk menghibur anak-anak penghuni penampungan korban Tsunami Aceh yang terjadi tahun 2006. Peserta lomba adalah anak-anak yang masih di usia SD, berarti tidak lebih dari 12 tahun. Dari semua gambar yang masuk, 90% diantaranya adalah gambar air yang menggenang begitu luas, dan gambar rumah atau hanya atap rumah yang hancur terseret arus. Beberapa anak yang kehilangan keluarganya bahkan menggambar ayah dan ibu atau kakaknya dalam posisi tidur, diantara genangan air (seakan terbawa Tsunami). Kesemua itu mengilustrasikan terjadinya Tsunami, padahal lomba diadakan setelah berbulan-bulan pasca Tsunami. Lomba menggambar itu menjadi penyaluran kreativitas mereka, yang didasari oleh pengalaman, dan memory, bahkan tersalurkan juga perasaan mereka walaupun ketika menggambar tidak lagi meneteskan air mata karena kemampuan mereka menyadari realita sudah semakin berkembang.
Mileu tetap memegang peranan penting, dan ini terlihat pada lomba menggambar ini, dimana kreativitas mereka dipengaruhi oleh stimulus yang mereka dapatkan dari kejadian di lingkungan. Dalam usaha membangkitkan jiwa agama anak, di usia ini mulai bisa dikenalkan konsep Tuhan secara lebih mendekati kebenaran seperti yang diajarkan agama. Karena kemampuan akal yang sudah bisa memikirkan realitas, atau the Realistic Stage, dalam istilah Ernest.
4. Tahap operasional formal
Setelah 11 tahun, untuk selanjutnya kemampuan kognisi anak memasuki tahap operasional formal. Kemampuannya berfikir logis hampir menyertai seluruh perbuatannya. Aspek moral dan sensitivitasnya terhadap dunia luar semakin berkembang baik. Ia belajar memisahkan antara rasio dan perasaannya. Walaupun ia tidak selalu berbuat rasional, karena pada masa remaja. Sekitar usia 15-18 tahun, anak akan memasuki masa Strung and Drum, yaitu masa yang penuh dengan kegoncangan, ketidakstabilan emosi, yang kadang mengaburkan pemikiran rasional yang awalnya telah mulai dimiliki.
Untuk sisi kreativitasnya, masa-masa ini merupakan masa yang potensial dan kondusif untuk menumbuhkembangkan kreativitas sampai tingkat yang lebih tinggi. Seiring dengan relasi sosial yang sangat meluas, bukan hanya dekat rumah atau sebatas teman sekolah, namun jauh lebih dari itu, apalagi dengan adanya tekhnologi internet yang menyediakan media seperti friendster, facebook, twitter dan semacamnya yang menstimulasi anak melanglang jauh dari dunia keluarga. Mileu pergaulan anak yang sangat jauh meluas dari sebelumnya akan memberikan banyak pengaruh dan tidak selamanya pengaruh itu negative ataupun positif sifatnya. Dari perkembangan relasi, akan timbul ide-ide baru. Misalnya ide nge-band, atau mencari kerja sampingan di luar sekolah (yang positif) tanpa sepengetahuan orang tua untuk membantu ekonomi keluarga.
Karena pada masa ini, anak sudah mulai mampu memikirkan hal yang abstrak, yang terus berkembang, maka anak sudah bisa memahami nilai agama yang lebih abstrak, seperti nilai-nilai ibadah yang dijelaskan agama, konsep pahala dan dosa, surga dan neraka, serta konsep-konsep abstrak lainnya yang ada di dalam agama. Ernest menyebut masa ini dengan the Individual Stage.
--------------------------------------------------------------------------------------
Demikian penjelasan teori kognisi dan kreativitas Jean Piaget yang disertai analisa dari sisi proses belajar, pengaruh mileu serta pendidikan agamanya. Jika dikembalikan pemikiran kepada unsur-unsur penting kreativitas yang telas disebutkan pada halaman 5 tulisan ini, maka terdapat unsur aktualisasi diri yang dipahamkan Maslow. Tidak adanya unsur ini bukan dikarenakan teori Jean Piaget belum sempurna atau unsur kreativitas yang dipaparkan Maslow. Melainkan karena kemampuan intelegensi anak memang belum sampai ke tahap itu. Bahkan walau agama telah dikenalkan dari bayi, namun tetap belum menemukan bentuknya yang sempurna, baik dari segi pemahaman apalagi pengamalan. Zakiah Darajat mengatakan bahwa kematangan beragama seseorang biasanya dimulai pada usia 24 tahun, baru dimulai, dan masih akan terus berkembang, bergantung kepada banyak faktor yang mempengaruhi, dan tidak ada limit bagi kematangan beragama. Walaupun pada masa anak-anak sudah mengenal konsep Tuhan versi mereka karena diperkenalkan oleh orang tuanya, namun pemahaman utuh dan benar mengenai agama baru tumbuh ketika memasuki masa dewasa awal.
Sejalan dengan kemampuan dan kematangan beragama, maka kematangan pribadi sampai akhirnya mampu mengembangkan diripun, bukan sesuatu yang muncul begitu saja, ia merupakan sesuatu yang muncul perlahan-lahan dan menemukan bentuknya yang sempurna ketika semakin dewasa, itulah sebabnya dalam teori kognisi dan daya kreativitas Jean Piaget yang dilengkapi analisa tentang proses belajar serta pengaruh mileu, tidak menyebutkan perkembangan keagamaan dan kematangan pribadi untuk mengaktualisasikan dirinya.
BEBERAPA LANGKAH MENSTIMULASI KREATIVITAS ANAK
Setelah memahami kemampuan kognisi dan perkembangan daya kreativitas anak dari teori Jean Piaget, berikut dijelaskan sekilas tentang beberapa langkah menstimulasi perkembangan kreativitas anak.
Menstimulasi perkembangan anak bisa melalui cara bercerita, bermain, mendengarkan musik, dan melalui lukisan. Masing-masing cara tersebut memiliki poin-poin penting yang urgen untuk dimengerti oleh orang tua.
1. Melalui cerita. Cerita bisa disampaikan oleh guru di sekolah SD atau TK, dan bisa juga oleh orang tuanya pada waktu senggang, biasanya menjelang tidur malam. Dalam pemberian cerita, oleh siapapun hendaknya memperhatikan hal-hal berikut:
a. Pemilihan cerita yang cocok dengan tingkat intelegensi anak, seperti anak dibawah 7 tahun menyukai cerita tentang hewan, sedangkan usia 11 tahun sudah menyukai cerita tentang superheroes.
b. Ikatan emosional antara anak dengan yang menceritakan. Ini berpengaruh kepada situasi emosional juga terhadap penerimaan jiwanya akan nilai dari cerita yang dibacakan.
c. Efektifitas sarana, seperti penggunaan buku cerita bergambar bagi anak-anak. Karena anak masih menyukai dunia gambar.
d. Kemampuan pencerita, cerita tidak hanya dibacakan kemudian selesai. Pencerita juga memasukkan nilai-nilai positif yang terkandung dalam cerita, dengan perlahan, tidak terburu-buru dan sabar. Memahamkan nilai tidaklah dengan cara yang keras/mengomeli, tetapi dengan cara yang menarik hati, sehingga nilai cerita yang disampaikan bisa teringat dan mempengaruhi tingkah lakunya setelah itu. Pencerita harus pula menguasai intonasi bicara dalam bercerita ditambah mimik yang mendukung situasi yang diceritakan, sehingga membuat anak tertarik, senang mendengarkan cerita sampai selesai.
e. Menghargai dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan anak tentang cerita tersebut dengan sabar, walau terkadang pertanyaan yang dilontarkannya terkesan bodoh. Karena bertanya pada dasarnya buka tanda ketidaktahuan melainkan tanda keingintahuan, karena itu harus diapresiasi, jika tidak akan menumbuhkan perasaan tidak nyaman antara anak dengan pihak yang bercerita
f. Menurut penulis, untuk kian mendekatkannya pada agama, hendaklah ia diceritakan kisah-kisah nabi dalam al Qur’an, atau kisah-kisah orang shalih, atau sahabat nabi. karena banyak nilai moral dalam kisah-kisah itu, nilai-nilai yang akan mereka butuhkan untuk menjadi pribadi yang unggul. Tidak lupa memulai dengan basmalah, dan mengakhiri cerita menjelang tidur dengan hamdalah dan yang paling terakhir, doa menjelang tidur disusul cium sayang orang tuanya.
2. Melalui permainan. Ada banyak permainan di dunia anak, mulai dari permainan tradisional yang dimiliki tiap budaya suku, permainan yang didapatkan dari guru di sekolah mungkin pula yang diajarkan keluarga dan lingkungan, sampai permainan modern yang tersedia di pasaran, seperti mobil-mobilan atau boneka dan semacamnya, di Timezone atau berupa game komputer. Dalam menawarkan permainan atau barang mainan kepada anak, hendaknya orang tua perlu mengetahui:
a. Sisi positif yang didapatkan anak dengan permainan/mainan itu
b. Pengaruh permainan/mainan terhadap tugas belajar yang tentu saja lebih pokok diselesaikan anak
c. Tingkat ketergantungan anak terhadap permainan/mainan tersebut
d. Model permainan yang disukainya dan tingkat kecintaannya pada permainan/mainan tersebut, karena terkadang gejala penyimpangan orientasi seksual sudah muncul pada usia dini, ketika masa-masa bermain, hanya terkadang orang tua kurang mewaspadainya.
e. Menurut penulis, janganlah didekatkan anak pada permainan yang sedikit mengarah kepada judi, atau permainan negative lainnya, seperti main dengan taruhan uang, karena banyak sekali jenis permainan seperti itu saat ini. Pahamkan pada anak nilai negatif yang tersembunyi dalam permainan tersebut.
3. Melalui musik. Telah umum diketahui berdasarkan penelitian yang valid, bahwa alunan musik bisa merangsang fungsi tertentu dalam saraf otak kanan, sesuai teori belahan otak. Musik beralunan lembut seperti Mozart dan Bethoven diyakini bisa menstimulasi pertumbuhan otak bayi bahkan sejak di dalam kandungan, bukan hanya itu, segala jenis musik asal tidak terlalu keras baik untuk perkembangan otak bayi, juga termasuk shalawat Nabi Muhammad SAW yang dialunkan melalui kaset dan diperdengarkan ke perut ibu ketika mengandung, memberikan pengaruh pada peningkatan kecerdasan bayi setelah lahir. Untuk cara dengan musik ini, ada beberapa catatan penting:
a. Sebaiknya musik yang diperdengarkan adalah musik yang tidak keras atau hingar bingar, karena alunan musik yang sering didengar mempengaruhi kondisi jiwa bayi. Itu sebabnya sangat baik meninabobokkan anak dengan melantunkan asmaul husna atau shalawat Nabi, karena kalimat-kalimat indah itu lebih menenangkan jiwa anak dari pada alunan musik biasa, perlu diingat sekali lagi bahwa manusia adalah pancaran dari zat Tuhan, maka ketika ia diingatkan dengan nama Tuhannya, alam bawah sadarnya akan mendengar dan jiwanya menjadi tenang, walau kenyataannya ia masih belum mengerti konsep Tuhan.
b. Bersama anak menyanyikan lagu yang disukainya akan menguatkan tali kasih sayang anak dengan orang tuanya.
c. Arahkan anak untuk menyukai musik yang baik, apalagi dewasa ini anak-anak terkesan lebih cepat tumbuh dewasa daripada seharusnya yang didengarnya musik orang dewasa. Dimana lirik lagu yang dihafalnya adalah kata-kata yang bukan untuk konsumsi anak seusianya
d. Menurut penulis, sebaiknya orang tua mengajak anak menghafalkan asmaul husna dengan mengikuti irama lagunya, yang kini tersedia banyak dalam bentuk kaset dan MP3. Untuk ini, sebaiknya orang tua telah hafal lebih dulu, jikalau tidak, usaha ini akan lebih mudah untuk gagal, karena anak lebih melihat kepada apa yang dilakukan orang tuanya daripada mendengarkan apa yang dikatakan kepadanya.
4. Melalui lukisan. Melukis atau menggambar membangkitkan sisi kecerdasan anak yang lain. Karena melalui lukisan atau gambar ia akan mengembangkan imajinasinya, kemudian melenturkan jari-jarinya untuk membentuk sesuatu yang dikhayalkannya. Berarti saraf motorik jari tangan dan intelegensi terutama saraf pada otak kanan bekerja bersamaan. Ia melanglang buana ke alam imaginatif, menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya mengenai bentuk benda-benda atau tempat-tempat, bahkan lengkap dengan suasana tertentu, misalnya gedung sekolah lengkap dengan lapangan dan bendera merah putih, dengan suasana upacara bendera Senin pagi. Ia berspekulasi dengan nilai-nilai estetika versinya sendiri melalui ekspresi warna, yang mungkin kadang terlihat kacau oleh mata orang dewasa. Namun disitulah ia mereka-reka dan membangun sebuah seni, menuangkan daya kreativitas yang dimiliki, dan di atas semua itu, ia telah berusaha untuk mengekspresikan dirinya dengan cara terbaik menurutnya, dan ia berharap untuk diterima. Berkaitan dengan ini maka sebaiknya orang tua:
a. Memfasilitasi anak untuk menggambar/melukis. Walaupun tidak harus sampai mengikutkannya dalam kursus lukis.
b. Menghargai apapun yang digambarnya, dan memotivasi untuk hasil yang lebih baik. Kalaupun ada yang tidak baik dalam lukisannya tidaklah harus dikasari.
c. Memperhatikan kecendrungan objek gambar anak, karena apa yang digambarnya adalah apa yang dikhayalkannya, dan itu menunjukkan kecendrungan jiwanya
d. Menurut penulis, sebaiknya saat anak menggambar, biasakan ia memulainya dengan basmalah, dan mengakhirinya dengan hamdalah, ketika ia menggambar pemandangan alam, hendaknya diceritakan kepadanya bagaimana kekuasaan Allah dalam menciptakan semua itu. Ketika anak berhasil menggambar sesuatu, apalagi bila gambar tersebut benar-benar bagus, ingatkan anak untuk mensyukuri nikmat Allah yang telah memberikannya kemampuan melukis dengan baik.

PENUTUP
Sedikit ulasan ini sekiranya menggambarkan bahwa penting bagi orang tua untuk membimbing anak dalam menemukan daya kreativitasnya. Karena tiap anak dilahirkan dengan tingkat intelegensi yang berbeda, sehingga orang tua tidak pernah tahu keistimewaan apa yang dimiliki anak apabila tidak distimulasi. Pun karena kreativitas bukan given by God, sehingga mestilah bisa dipelajari.
Walaupun anak memiliki kecendrungan bakat dan minat tertentu, namun hendaknya orang tua tetap mengarahkan anak ke jalan yang benar menurut agama, karena dunia hanya tempat singgah sementara, ada kampung akhirat yang lebih abadi untuk ditinggali, kendatipun demikian manusia tidak boleh melupakan nasibnya di dunia (Q.S. Al Qashash/28: 77). Maka kewajiban orang tua menyiapkan anak untuk memiliki bekal menjadi manusia yang bermutu sesuai dengan kualifikasi mutu yang diminta dunia dan akhirat. Karena jika manusia ingin bahagia dunia akhirat hendaklah ia menguasai ilmu mengenai keduanya.
Sekali lagi, manusia adalah pancaran zat Allah, daya yang dimiliki manusia adalah God’s blessing, maka untuk memiliki nilai plus dari daya yang telah diberikan, selain diusahakan dengan intelegensi, dibantu stimulasi dan motivasi lingkungan, di atas segalanya hendaklah individu membiasakan menjalin komunikasi yang intens dengan Penciptanya. Karena kreativitas bahkan daya apapun adalah bersumber dari the Source. Manusia tersambung dengan Tuhan seperti lampu tersambung dengan pemantiknya. Bila pemantik tidak bersedia mengalirkan energi pada lampu, maka selamanya lampu akan redup.
“Hendaklah manusia membuka diri terhadapNya, berjalan di jalanNya, menyatu denganNya, dan biarkan pola-pola Tuhan mengairi relung jiwa, niscaya akan terbuka segala keindahan, memahami keteraturan alam, untuk kemudian dimulainya ide-ide kreativitas yang berguna bagi umat dunia”




DAFTAR PUSTAKA

Alisyahbana, S. Takdir, (ed.) Kreativitas; Kumpulan Makalah Simposium Kreativitas Akademi Jakarta, Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1983
Arieti, Silvano, Creativity, New York: Basic Books, 1986
Asrori, Mohammad, Mohammad Ali, Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 2005, cet. ke 2
Asy'arie, Musya, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur'an, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992
Barron, R. and R. Woods, An Introduction to Philosophy of Education, London: Methuen, 1982
Bybee R.W. and R.B. Sund, Piaget for Educators, Ohio: Charles E. Merril, 1982
Clark B., Growing Up Gifted, Ohio: A Bell and Howell Information Company, 1983
Darajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970
-------------------, Kesehatan Mental, Jakarta: Penerbit Kwitang, 1996, cet. Ke 23
FJ. Monks, AMP Knoers, Siti Rahayu Haditono, Psikologi perkembangan: pengantar dalam berbagai bidangnya, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004, cet ke-15
http://adesuryana.blogspot.com/2009/02/sejarah-sepeda.html

http://www.bobby-bola.com/info%20ortu.htm, Info Orang Tua.

Hurlock, Elizabeth, Child Development, Mc Graw Hill, 1978, 6th ed
Husni, Dzaatil, Diktat Ajar Psikologi Perkembangan, Untuk internal STAI Darunnajah, Jakarta, 2009
Husni, Dzaatil, Diktat Ajar Psikologi Umum, Untuk internal STAI Darunnajah, Jakarta, 2009
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007
Jung, Carl Gustav, Modern Man in Search of a Soul, New York: Harcourt Brace & World, 1962
Khalli al, Amal Abdussalam, Mengambangkan Kreativitas Anak, (Terj. Hj. Umma Farida Lc.), Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2006
Kartono, Kartini, Psikologi Perkembangan Anak, Jakarta: CV Mandar Maju, 1995 Cet ke-5
Koestler, Arthur, The Act of Creation, New York: Dell, 1984
Kubie, L. Neurotic Distortion of the Creative Process, University of Kansas Press, 1980
Maslow, Abraham, Motivation and Personality New York: Harper, 1945, hal 60
Mc Cormak, A.J. Piagetian Theory and the Development of Creative Thinking, Ohio: Charles E. Merril, 1982
Munandar, Utami, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992
Newman & Newman, Development Through Life: a Psychosocial Approach, Illinois: The Dersey Press, 1979

Noi, Tay Swee and Peter J. Smith, Managing Stress: Guide To Asian Living, Tokyo: Mr. Grow Hill Inc, 1990
Peavy, Vance, Therapy and Creativity: A Dialogue, New York: Basic Books, 1989
Qombar, Mahmud, Dirasat Turatsiyyah fi al-Tarbiyah al-Islamiyah, Qatar: Dar al-Tsaqofah, 1405H/1985M, Jilid. Ke-1,
Shihab, Quraish, Wawasan al-Quran, Mizan, Bandung, 1996
---------, Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), Cet. ke-7,vol. 11
---------, Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), Cet. ke-7,vol. 12
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan; Suatu Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet.II, 1995
Torrance, E. P., The Faces and Forms of Creativity, Buffalo: Creative Educational Foundation, 1981
Wilcox, Lynn, Personality Psychotherapy, (Terj.) Yogyakarta: Ircisod, 2006
Yusuf, Syamsu LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: CV Rosda Karya, 2002 cet. Ke-3

Kamis, Oktober 29, 2009

TERAPI STRES.. - dari sebuah buku di perputakaan nasional -

TERAPI STRES


1. Sumber terbaik untuk penanggulangan stress adalah keyakinan dasar, bahwa di tengah segala kekacauan yang ada, dunia dan segala isinya tetaplah baik adanya.
2. Pengaruh stress terhadap kehidupan, bukan ditentukan oleh apa yang terjadi pada Anda, tetapi pada cara Anda menghadapi dan menanggapinya.
3. Jangan terburu-buu mengejar keberhasilan dan kesuksesan, tenang, karena bisa saja Anda melewatkan bagian terbaik kehidupan.
4. Jangan membesaran kekhawatiran terhadap sesuatu yang tidak pasti dan berusahalah mengkontrol masalah.
5. Menerima hidup dengan suka cita dan rasa syukur, beranggapan bahwa hidup itu harus bebas stres, justru akan membuat hidup Anda menjadi lebih stres bila ternyata kenyataaan tidak berjalan sesuai dengan harapan.
6. Ubah sikap Anda, karena stres ada di mata dan di hati orang yang melihatnya, kita bisa menghilangkan stres walau keadaan luar diri kita tidak berubah.
7. Berfikir bahwa, harus menyelesaikan masalah dengan kekuatan sendiri adalah kurang baik. Bila kita bisa menyadari kebutuhan kita terhadap orang lain dan berani memintanya maka itu akan jauh lebih baik. Jangan ragu minta tolong.
8. Kasihi dan sayangilah diri sendiri, yakin bahwa kita bisa maju terus tanpa perduli orang lain berpihak pada kita atau tidak.
9. Saat stres, kita mudah/cenderung berkata dan berfikir negatif pada diri sendiri. Jadi hindarilah itu. Katakan pada diri sendiri: saya layak, saya dicintai, saya berbakat, saya mampu untuk meraihnya, dan yakinilah fikiran itu!
10. Jangan selalu menyenangkan orang lain, boleh menghargai/mencintai orang lain tetapi jangan menggadaikan hidup Anda pada mereka.
11. Apabila mulai cemas, carilah secepat mungkin kesempatan untuk bersantai, rileks kan diri Anda sekarang juga!
12. Tarik napas dalam-dalam dan pelan dari perut, dan hembuskan perlahan, lepaskan tekanan dan kecemasan yang mengganggu.
13. Melakukan suatu kebaikan untuk orang lain, adalah pelepasan stress yang besar, buatlah kue untuk tetangga yang kesepian, menelpon sahabat lama, berkunjung pada teman yang sudah lama tidak bertemu.
14. Tidur yang cukup, jangan pakai waktu tidur untuk memikirkan masalah.
15. Ampuni sesama Anda, orang yang berbuat salah pada Anda, pahami kesalahan orang lain seperti memahami kesalahan sendiri, dendam dan penyesalan yang berkepanjangan/berlebihan membuang energi.
16. Menyatulah dengan nilai-nilai dan norma sesuai keyakinan Anda, dan berbuatlah menurut nilai-nilai itu, karena hidup sesuai norma yang diyakini akan menolong di saat stres.
17. Berterima kasih pada keberhasilan diri sendiri
18. Nikmati hidup, bangun pagi, nikmati udara segar pagi hari, kicauan burung, memandang sunset.
19. Perhatikan makan. Kapan makan dan apa yang di makan. Makan makanan sehat dan bersama orang yang Anda dicintai bisa menyehatkan tubuh dan memulihkan jiwa Anda.
20. Tertawalah dengan lepas saat ada momen untuk tertawa. Humor sangat membantu menghilangkan stres.
21. Kesehatan yang baik memerlukan sentuhan manusia. Berangkulan dengan saling menepuk bahu, berjabat tangan, olahraga bersama, bermain, menari bersama dapat membantu menciptakan kontak manusiawi (yang tidak berlebihan) untuk menghindari ketegangan akibat stres.
22. Berikan waktu berharga untuk diri sendiri yang bebas dari gangguan siapapun dan apapun.
23. Berjalan. Berjalan secara teratur, mampu menangkal stres. Berjalan cepat baik bagi tubuh. Berjalan santai dengan jarak yang cukup jauh merilekskan perasaan, berjalan sendiri memberikan keheningan, berjalan bersama orang lain memperdalam hubungan.
24. Adalah penting untuk mengkomunikasikan pertentangan yang mungkin timbul, dengan orang-orang yang terlibat dalam situasi tertentu yang mungkin bisa menimbulkan stres. Misalnya partner kerja, keluarga di rumah. Pertentangan antara tuntutan kerja dan hubungan internal keluarga menuntut komunikasi yang baik dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Jadi berikanlah penjelasan sebelumnya.
25. Bebaskan diri, melakukan kesenangan atau hobi secara privasi, seperti memancing atau bepergian sendiri. Singkirkan dulu tanggung jawab dan beban sementara, untuk merefresh jiwa Anda.
26. Kenali sebab stres, akar masalahnya, lalu selesaikan secara perlahan.
27. Bila sudah bertemu akar masalahnya, analisa: bisakah Anda berhadapan dengan faktor itu? Bila tidak, maka rubahlah sikap dan cara pandang Anda.
28. Untuk pencegahan, istirahat yang cukup. Jalan-jalan sekeliling tempat kerja, menikmati sarapan pagi dengan bersyukur dan siap memulai hari.
29. Tentukan misi/tujuan hidup!

rencana proposal disertasi

PERKEMBANGAN DAYA KOGNISI ANAK AUTISTIK

A. Latar Belakang Masalah
Rentang kehidupan manusia telah dibagi oleh ahli psikologi ke dalam beberapa masa, dimana dalam setiap masanya ada tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai dan tercapai. Karena pencapaian tugas perkembangan pada satu tahapan kehidupan mempengaruhi pencapaian perkembangan pada tahap atau masa berikutnya. Pada rentang umur 2 sampai 6 tahun anak dikatakan berada pada masa Anak Awal (early childhood). Pada usia ini, terdapat berbagai macam istilah yang dapat diberikan, yaitu:
1. Orang tua sering menyebutnya dengan “problem age” atau “troublesome age”. Karena, pada periode ini orang tua sering dihadapkan pada problem tingkah laku, misalnya keras kepala, tidak menurut, negativisme, tempertantrums, mimpi buruk, iri hati, ketakutan yang tidak masuk akal pada siang hari, dan sebagainya.
2. Para pendidik menyebut periode ini sebagai usia pra sekolah (pre-school age), yaitu periode persiapan untuk masuk sekolah dasar. Biasanya anak-anak usia 2-6 tahun memasuki Taman Kanak-kanak.
3. Para psikolog memberikan istilah pada periode ini sebagai usia pra gang (pre-gang age). Dikatakan demikian, karena anak harus mulai belajar dasar-dasar tingkah laku sosial sebagai persiapan untuk penyesuaian dirinya terhadap kehidupan sosial yang lebih tinggi nanti setelah dewasa.
4. Selain itu, para psikolog juga menyebut periode ini sebagai periode eksplorasi. Hal ini disebabkan karena perkembangan yang utama pada periode ini ialah menguasai dan mengontrol lingkungan. Mereka selalu ingin tahu apa dan bagaimana lingkungan itu. Sehingga periode ini juga disebut dengan usia bertanya (questioning age).
Pada masa ini, berbagai gangguan perkembangan bisa saja menyerang anak dan melumpuhkan kemampuannya untuk berkembang, salah satunya adalah sindrom autisme (autism syndrome). Yaitu sebuah kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada ketidakmampuan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Istilah Autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme berarti aliran, sehingga autisme adalah suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Oleh karena itu autistik adalah suatu gangguan perkembangan kompleks yang menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun, namun pada autistik infantil gejala yang diartikan memiliki keanehan dalam bersosialisasi dengan dunia di luar dirinya. Banyak penderita dengan sindrom ini memiliki inteligensi rata-rata atau sering kali juga di atas rata-rata, tetapi umumnya mereka sudah didiskreditkan sejak awal, demikian menurut Kanner.
Dalam sebuah Kamus Lengkap Psikologi, autisme didefinisikan sebagai cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri, dimana penderita menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri dan menolak realitas, serta keasyikan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri. Anak autistik adalah anak dengan kecenderungan diam dan suka menyendiri yang ekstrim. Anak autistik bisa duduk serta bermain-main selama berjam-jam lamanya dengan jari-jarinya sendiri atau dengan serpihan-serpihan kertas. Tampaknya anak tersebut tenggelam dalam satu dunia fantasi batiniah sendiri.
Autisme merupakan salah satu defisit perkembangan pervasif pada awal kehidupan anak yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak yang ditandai dengan ciri pokok yaitu terganggunya perkembangan interaksi sosial, bahasa dan wicara, serta munculnya perilaku yang bersifat repetitif, stereotipik dan obsesif.
Gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan atau hendaya perkembangan ini memiliki ciri kelainan fungsi dalam tiga bidang interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang.
Gangguan ini membuat anak autistik tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.
Autisme ini merupakan suatu kecatatan perkembangan yang dengan mantap mempengaruhi komunikasi lisan dan non lisan serta interaksi sosial pada usia di bawah 3 tahun yang berdampak pada perolehan pendidikan anak, dimana anak tersebut sering melakukan pengulangan aktifitas, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan rutinitas harian dan tanggapan yang tidak lazim terhadap perasaan. Gejala yang timbul pada anak autistik sangatlah bervariasi. Saat ini yang lebih banyak dikenal, karena lebih banyak menyerang anak-anak adalah istilah Autistic Spectrum Disorder atau Gangguan Spektrum Autistik.
Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak, gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya bisa melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun. Yaitu antara lain tidak adanya kontak mata, dan tidak menunjukkan responsif terhadap lingkungan. Jika kemudian tidak diadakan upaya terapi, maka setelah usia 3 tahun perkembangan anak terhenti atau mundur, seperti tidak mengenal suara orang tuanya dan tidak mengenali namanya.
Penyebab yang pasti dari autisme tidak diketahui, yang pasti hal ini bukan disebabkan oleh pola asuh yang salah. Penelitian terbaru menitikberatkan pada kelainan biologis dan neurologis di otak termasuk ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik dan gangguan kekebalan. Beberapa kasus mungkin berhubungan dengan infeksi virus (rubella congenital atau cytomegalic inclusion disease), fenilketonuria (suatu kekurangan enzim yang sifatnya diturunkan) dan sindroma X yang rapuh (kesalahan kromosom).
Menurut Lumbantobing, penyebab dari autisme dapat dipengaruhi oleh:
1. Faktor keluarga dan psikodinamik
Mulanya diperkirakan gangguan ini akibat kurangnya perhatian orang tua, tetapi penelitian terakhir tidak menemukan adanya perbedaan dalam membesarkan anak pada orang tua anak normal dari orang tua anak yang mengalami gangguan ini. Namun beberapa anak autisme berespon terhadap stressor psikososial seperti lahirnya saudara kandung atau pindah tempat tinggal berupa eksaserbasi gejala.
2. Kelainan organo-biologi-neurologi
Berhubungan dengan lesi neurologi, rubella kongenital, cytomegalovirus, ensefalitis, meningitis, fenilketonuria, tuberous sclerosis, epilepsi dan fragilee X syndrome. Penelitian neuroanatomi menunjukkan bahwa autisme akibat berhentinya perkembangan dari cerebellum, cerebrum dan sistem limbik. Pada MRI ditemukan hipoplasi vermis cerebellum lobus VI dan VII. Pada sekitar 10-30% anak dengan autisme dapat diidentifikasi faktor penyebabnya
3. Faktor genetik
Pada survey gangguan autisme ditemukan 2-4% saudara kandung juga menderita gangguan autisme. Pada kembar monozygot angka tersebut mencapai 90% sedang akan kembar dizigot 0%
4. Faktor imunologi
Terdapat beberapa bukti mengenai inkompatibilitas antara ibu dan fetus, dimana limfosit fetus bereaksi terhadap antibodi ibu, sehingga kemungkinan menyebabkan kerusakan jaringan syaraf embrional selama masa gestasi.
5. Faktor perinatal
Tingginya penggunaan obat pada selama kehamilan, respiratory disstres syndrome, anemia, neonatus
6. Penemuan biokimia
Pada sepertiga dari penderita autisme ditemukan peninggian serotonin plasma. Selain itu terdapat peninggian asam homovanilik pada cairan liquor cerebrospinal.

Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autisme atau tidak, digunakan standar international tentang autisme. ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk autisme infantil yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah : Harus ada sedikitnya gejala dari (1), (2) dan (3) seperti di bawah ini, dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3).
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal ada 2 gejala dari yang tertera berikut ini:
a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju, apabila dipanggil tidak menengok. Perilaku anak autistik sering menunjukkan emosi yang tidak sesuai. Beberapa anak menjerit atau tertawa dengan sedikit atau tanpa provokasi, tetapi dapat pula terlihat gejala perilaku lain seperti hiperkinesis yang sering berganti-ganti dengan hiperaktifitas, agresifitas dan temperamen perilaku melukai diri sendiri seperti mencakar, menggigit dan menarik rambut. Penderita austistik hampir tidak menunjukkan perilaku emosional, yang terlihat hanya duduk dan memandang ke ruang kosong Mereka tidak menunjukkan rasa kecewa atau tidak senang bila berpisah dengan orang tuanya atau tidak gembira bila orang tua mereka datang kembali kedekatnya, hal ini dikarenakan terdapatnya gangguan kedekatan (attachment).
b. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya, senang menyendiri
Yang dimaksud adalah kegagalan untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sesuai menurut tingkat perkembangannya. Secara fisik mereka akan menjaga jarak dengan teman lain, tidak pernah memulai dan hanya sedikit berespon terhadap interaksi sosial. Fungsi luhur penyandang akustik dewasa muda cenderung memperlihatkan kurang kooperatif di dalam kelompoknya bermain.
c. Kurangnya hubungan timbal balik sosial dan emosional.
Yang dimaksud dengan istilah hubungan sosial yang timbal balik adalah kapasitas yang dinamis untuk mempertahankan interaksi yang cocok. Hubungan sosial yang timbal balik bukanlah ketrampilan tunggal tetapi lebih pada hasil dari gabungan ketrampilan, hanya beberapa yang sudah diketahui. Interaksi verbal merupakan hal yang dimaksud dengan hubungan emosional yang timbal balik yaitu kondisi yang menunjukkan keakraban yang lazimnya terhadap orang tua mereka dan orang lain, pada penderita austistik gagal menjalani hubungan ini. Kegagalan dalam membuat persahabatan, kejanggalan dan ketidaksesuaian sosial terutama kegagalan untuk mengembangkan empati. Pada masa remaja akhir, orang austik tersebut yang paling berkembang seringkali memiliki keinginan untuk bersahabat, tetapi kecanggungan pendekatan mereka dan ketidakmampuan utuk berespon terhadap minat, emosi dan perasaan orang lain adalah hambatan yang utama dalam mengembangkan persahabatn. Kesulitan ini dideskripsikan sebagai kegagalan dalam hubungan timbal balik dan memberikan disorganisasi yang sifat dan perkembangan yang tidak seimbang dari ketrampilan sosial.
d. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain
Yang dimaksud adalah tidak adanya keinginan spontan untuk berbagi rasa, kesenangan minat atau pencapaian dengan orang lain, misalnya tidak memamerkan, membawa atau menunjukkan benda yang menarik minat. penderita austistik juga mengalami kegagalan mengenali perasan orang lain. Anak austik tidak dapat menggunakan ketrampilannya dengan efektif karena tidak mampu menunjukkan dan memperlihatkan sesuatu hal yang dimaksud. Anak austistik seringkali menggunakan isyarat, meraba dan mengambil barang bukan dengan jarinya tapi menganggap orang lain sebagai benda misalnya dengan memegang tangan orang itu dan menempatkan pada suatu barang yang diinginkan. Setelah tujuan tercapai, anak austistik kurang mampu untuk melanjutkan pada aktifitas lain, tetapi biasanya mengulang kembali aktifitas yang semula.
e. Kurangnya kemampuan untuk bisa membagi kegembiraan dan kesenangan pada orang lain.

2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada1 dari gejala di bawah ini :
a. Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal.
b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru

3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan. Minimal ada 1 gejala dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya
c. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda

4. Adanya gangguan emosi
a. Tertawa, menangis, marah-marah tanpa sebab
b. Emosi tidak terkendali
c. Rasa takut yang tidak wajar

5. Adanya gangguan persepsi sensorik
a. Menjilat-jilat dan mencium-cuim benda
b. Menutup telinga bila mendengar suara keras dengan nada tertentu
c. Tidak suka memakai baju dengan bahan yang kasar
d. Sangat tahan terhadap sakit

Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1) interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, dan (3) cara bermain yang monoton, kurang variatif. Bukan disebabkan oleh gangguan disintegrasi masa kanak, namun kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autisme ringan. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya gangguan atau penyakit lain yang menyertai gangguan autis yang ada, seperti retardasi mental yang berat atau hiperaktifitas. Autisme memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan , tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada.
Bila disimpulkan maka secara umum penderita autisme klasik memiliki 3 gejala yaitu: sulit sekali berinteraksi, gangguan komunikasi verbal, sering tertawa terbahak-bahak tidak pada tempatnya, kegiatan dan minat yang aneh, menyukai sesuatu dengan cara yang aneh dan berlebihan, suka berjinjit (berjalan dengan jari kakinya saja), kurang/tidak suka berkontak mata dengan siapapun, tidak suka dipeluk, disayangi atau menyayangi, sering menarik diri dalam pergaulan/keramaian, tidak perduli bahaya, tahan rasa sakit, terpaku pada benda tertentu, sering berputar atau memutarkan benda, mudah sekali mengamuk, secara fisik hiperaktif, atau bahkan tidak aktif sama sekali, tidak tertarik dengan metode pengajaran biasa, sangat membenci rutinitas.
Orang tua memainkan peran yang sangat penting dalam membantu perkembangan anak. Seperti anak-anak yang lainnya, anak autis terutama belajar melalui permainan, bergabunglah dengan anak ketika dia sedang bermain, tariklah anak dari ritualnya yang sering diulang-ulang, dan tuntunlah mereka menuju kegiatan yang lebih beragam. Misalnya orang tua mengajak anak mengitari kamarnya kemudian tuntun mereka ke ruang yang lain. Orang tua perlu memasuki dunia mereka untuk membantu mereka masuk ke dunia luar.
Kata-kata pujian karena telah menyelesaikan tugasnya dengan baik, kadang tidak berarti apa-apa bagi anak autis. Temukan cara lain untuk mendorong perilaku baik dan untuk mengangkat harga dirinya. Misalnya berikan waktu lebih untuk bermain dengan mainan kesukaannya jika anak telah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Anak autis belajar lebih baik jika informasi disampaikan secara visual (melalui gambar) dan verbal (melalui kata-kata). Masukkan komunikasi agumentative dalam kegiatan rutin sehari-hari dengan menggabungkan kata-kata dan foto-foto, lambang atau isyarat tangan untuk membantu anak mengutarakan kebutuhan, perasaan dan gagasannya. Tujuan dari pengobatan adalah membuat anak autis berbicara tetapi sebagian anak autis tidak dapat bermain dengan baik, padahal anak-anak mempelajari kata baru dalam permainan, sebaiknya orang tua tetap berbicara kepada anak autis sambil menggunakan semua alat komunikasi dengan mereka, apakah berupa isyarat tangan, gambar, foto, tangan, bahasa tubuh manusia maupun tehnologi. Jadwal kegiatan sehari-hari, makanan dan aktifitas favorit serta teman dan anggota keluarga lainnya bisa menjadi bagian dari sistem gambar dan membantu anak untuk berkomunikasi dengan dunia di sekitarnya.
Anak autis memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak-anak lainnya, dan hak ini telah dilindungi oleh peraturan pemerintah maupun secara universal. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan tahun 1989, telah mendeklarasikan hak-hak anak, dan ditegaskan bahwa semua anak berhak memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Deklarasi tersebut dilanjutkan dengan The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education yang memberikan kewajiban bagi sekolah untuk mengakomodasi semua anak termasuk anak-anak yang memiliki kelainan fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik maupun kelainan lainnya. Sekolah-sekolah juga harus memberikan layanan pendidikan untuk anak-anak yang berkelainan maupun yang berbakat, anak-anak jalanan, pekerja anak, anak-anak dari masyarakat terpencil atau berpindah-pindah tempat, anak-anak dari suku-suku yang berbahasa, etnik atau budaya minoritas dan anak-anak yang rawan termarjinalkan lainnya.
Di Indonesia, Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5, ayat 1 s.d. 4 telah menegaskan bahwa:
1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), sejak tahun 1979 sudah ada sekolah umum yang menerima ABK untuk belajar bersama-sama anak-anak normal lainnya karena orang tua menginginkan anak mereka mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah umum dan bukan di sekolah luar biasa (SLB). Searah dengan perkembangan pendidikan baik di luar dan di dalam negeri, pada tahun 2003 Dirjen Dikdasmen menerbitkan SE no. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif yang menyatakan bahwa penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif di setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya empat sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.
Sejalan dengan itu, dewasa ini, telah lebih mudah ditemui lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal, yang berfokus pada pendidikan anak autisme, sehingga memudahkan masyarakat yang ingin mengetahui informasi mengenai autisme. Salah satu yang benar-bvenar memfokuskan diri pada bidang perluasan informasi dan wawasan mengenai autisme adalah Yayasan Autisme Indonesia. Yayasan ini memfokuskan diri bukan pada pelatihan dan pembelajaran anak autisme, melainkan menjadikan dirinya sebagai pusat informasi autisme bagi masyarakat. Yayasan ini mengumpulkan data tentang lembaga-lembaga pembelajaran anak autistik di seluruh jabodetabek dan juga bekerja sama dengan mereka dalam menyebarluaskan informasi tentang adanya seminar/simposium yang mengangkat masalah autisme.
Adanya yayasan atau lembaga pendidikan/pusat informasi seperti ini sangat menguntungkan masyarakat terutama orang tua yang memiliki anak autistik, karena mereka bisa dengan mudah mendapatkan keterangan dimana lembaga pengasuhan dan pembelajaran anak autistik yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dari lembaga ini pula peneliti mendapatkan informasi alamat dan nomor telpon seluruh lembaga autisme yang ada di jabodetabek. Dari lembaga-lembaga inilah kemudian dikumpulkan data tentang program pengajaran yang diterapkan untuk anak autisme dalam upaya meningkatkan kemampuan kognisinya.
Setiap lembaga yang menangani autisme ini menerapkan terapi, metode dan kurikulum pembelajaran yang berbeda antara satu lembaga dengan lainnya. Walaupun perbedaan itu tidak terlalu besar, karena memang mengikuti standar terapi dan kurikulum yang sudah disetujui sebelumnya oleh psikolog atau pakar pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, dan kurikulum yang diterapkan tersebut berbeda dengan yang ada di sekolah umum. Ini disebabkan kondisi anak autistik yang tidak bisa mengikuti pelajaran dengan metode yang biasa. Pemberian kurikulum ini juga mempertimbangkan gejala yang diderita anak.
Anak autisme tidaklah seluruhnya memiliki kadar IQ yang rendah, sebagian malah memiliki kecakapan istimewa yang terpendam, yang baru akan tersalurkan dengan baik bila pendidik dan terutama keluarga dekatnya memberikan dukungan mental dan kasih sayang yang merupakan obat utama bagi anak autistik. Selain itu pembelajaran dengan metode dan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan mereka juga akan mempercepat proses penyesuaian diri mereka dan untuk selanjutnya bisa membuka jalan agar mereka bisa berprestasi dan maju seperti anak –anak normal.
Karena autisme adalah kekurangan pada saraf otak, maka setiap anak autistik dipastikan mengalami perkembangan kognisi yang jauh lebih lamban dibanding anak normal seumurnya. Perkembangan kognisi yang terlambat dan terhambat itu ditandai antaranya dengan susahnya berkomunikasi verbal dan non verbal, susahnya beradaptasi, sulitnya berkonsentrasi, dan juga sulitnya diajari dengan metode pengajaran konvesional. Oleh karenanya, untuk membuat anak autistik sebisa mungkin hidup seperti anak normal yang pertama diperhatikan adalah daya kognisinya. Karena dengan daya kognisi yang membaik, anak akan semakin bisa hidup mandiri, tidak tergantung pada orang lain, dan itu merupakan awal yang baik bagi kesembuhannya.
Dengan berlatar belakang keadaan ini, maka diupayakanlah penelitian ini untuk mengetahui metode terapi, model pembelajaran dan kurikulum apa saja yang telah dikembangkan oleh yayasan dan lembaga pendidikan autisme, (khususnya daerah jabodetabek) untuk meningkatkan daya kognisi anak autistik.


B. Identifikasi masalah
Dalam penelitian ini ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, yaitu:
1. Apakah informasi tentang autisme ini sudah menyebar rata di masyarakat luas?
2. Apakah pemerintah daerah (pemda) di jabodetabek ikut menangani masalah penanganan autisme di daerahnya masing-masing?
3. Apakah departemen pendidikan nasional kantor wilayah setempat ikut andil dalam mempersiapkan kurikulum atau terapi yang diterapkan lembaga pendidikan autisme?
4. Apakah lembaga pendidikan autisme yang ada di jabodetabek ini melaporkan kurikulum yang digunakan ke Direktorat Pendidikan Luar Biasa departemen pendidikan nasional?
5. Apakah Direktorat Pendidikan Luar biasa memantau perkembangan efektifitas dari metode, terapi dan kurikulum yang diterapkan oleh lembaga pendidikan autisme?
6. Apakah lembaga pendidikan autisme dalam penggunaan kurikulum dan model terapi untuk anak autisme selalu menyesuaikan dengan perkembangan mengenai kurikulum dan model terapi autisme yang diterapkan secara internasional?
7. Apa saja strategi, dan rencana yang dimiliki lembaga pendidikan autisme dalam menerapkan kurikulum dan model terapi terhadap anak penderita autisme?
8. Apa saja faktor penunjang dan penghambat yang mempengaruhi keberhasilan lembaga pendidikan autisme dalam menjalankan misinya?

C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terfokus dalam pembahasan, maka dibatasilah masalah yang ada sebagai berikut:
1. Apa kurikulum dan terapi yang digunakan lembaga pendidikan autisme di jabodetabek?
2. Apa faktor penunjang dan penghambat keberhasilan kurikulum dan terapi yang digunakan lembaga pendidikan autisme?

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat ditentukan rumusan masalah penelitian ini adalah: ”Seperti apa dan bagaimana kurikulum dan terapi yang dijalankan lembaga pendidikan autisme dan apa saja faktor penghambat dan penunjangnya?”

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara kritis pelaksanaan kurikulum dan terapi bagi anak autistik (penderita autisme) dalam upaya peningkatan daya kognitif.
Secara operasionalnya, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan penelitian ini, yaitu:
1. Mendapatkan gambaran yang utuh tentang fenomena autisme di jabodetabek dan penanganan yang diberikan oleh lembaga pendidikan autisme
2. mengetahui kebijakan dan upaya yang dilakukan oleh direktorat pendidikan luar biasa untuk menangani pendidikan anak penderita autisme khususnya di wilayah penelitian jabodetabek
3. menguraikan secara analitis kurikulum dan terapi yang dijalankan lembaga pendidikan autisme terhadap anak autistik.

Mengenai manfaat penelitian ini, secara teoritis adalah untuk: memberikan wawasan baru bagi semua orang yang perduli pada pendidikan anak terutama anak penyandang autisme, bahwa autisme bukanlah tidak bisa disembuhkan. Bahwa anak penyandang autisme jugs memiliki kemampuan intelektual, dan daya kognisi yang bisa dikembangkan dan juga dilatih, dengan segala keterbatasan dan kekurangannya.
Sedangkan secara praktisnya adalah sebagai tambahan wawasan atau bahan perbandingan bagi peneliti lain yang mungkin akan membahas masalah serupa.

F. Metodologi Penelitian
Untuk mencapai hasil yang diinginkan maka dirancanglah metodologi penelitian sebagai berikut:
Dari sudut lokasi sumber data maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian lapangan, dan dari segi sifat data bisa dikategorikan sebagai penelitian kualitatif.
Melalui penelitian lapangan ini, peneliti akan mengumpulkan data tentang lembaga pendidikan autisme di sembilan (9) wilayah jabodetabek, (Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Dari setiap wilayah tersebut akan diambil satu lembaga pendidikan autisme saja, yang dianggap bisa mewakili lembaga lainnya. Ini dimaksudkan untuk mempermudah pengumpulan data dan analisa nantinya. Berarti dari 9 wilayah penelitian tersebut didapatkan 9 lembaga pendidikan autisme.
Pengumpulan data lebih dititikberatkan kepada kurikulum dan terapi yang digunakan lembaga pendidikan autisme tersebut, juga kepada faktor penunjang serta penghambat keberhasilan program atau misi lembaga pendidikan tersebut. Untuk sampai pada data tersebut maka peneliti perlu menganalisa kelengkapan sarana dan fasilitas penunjang dan terapi, kualitas sumber daya manusia yang menjalankan kurikulum dan terapi dimaksud, juga supervisi atas pelaksanaan kurikulum dan terapi.
Pengumpulan data melalui metode kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan pengamatan di lembaga pendidikan yang menjadi objek penelitian. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui misi dan visi lembaga dalam membuka pendidikan bagi anak penyandang autisme ini, mengetahui kurikulum dan terapi yang seperti apa yang diterapkan di lembaga tersebut, bagaimana prosedur pelaksanaannya, kualitas pelaksana dari kurikulum dan terapi dimaksud, juga untuk mengetahui tehnik supervisi yang dilakukan pihak lembaga terhadap SDM-nya sendiri. Untuk kepentingan ini perlu dilakukan wawancara intensif (depth interview) kepada pimpinan lembaga, tenaga pengajar dan terapis, juga kepada wali murid atau orang tua dari anak autis yang bersekolah di lembaga pendidikan tersebut, guna mengetahui tingkat keberhasilan dan efektifitas kurikulum dan terapi yang telah dijalankan.
Selain itu, peneliti juga mengadakan pengamatan terlibat, yaitu pengamatan yang dilakukan sembari sedikit berperan serta dalam kehidupan orang-orang yang diteliti. Denzin menyebutkan bahwa pengamatan terlibat adalah strategi lapangan yang secara simultan memadukan analisis dokumen, wawancara dengan responden dan informan, partisipasi langsung dan observasi, juga introspeksi. Peneliti memilih metode ini karena sifat penelitian yang terbuka, berdasarkan fakta kondisi dan data di lapangan dan juga dapat dipadukan dengan teori dan data dari metode lain.
Sasaran dari pengamatan terlibat ini adalah aktifitas tenaga pengajar dan terapis di dalam dan di luar kelas, baik pada situasi belajar maupun bermain. Dalam memberikan pelajaran sesuai kurikulum yang digunakan, juga aktifitas memberikan terapi sesuai kebutuhan anak autistik. Peneliti melakukan pengamatan seperti ini dengan tujuan menjustifikasi data yang didapat melalui wawancara sebelumnya, dan juga untuk menambah data yang mungkin belum terungkapkan melalui wawancara.
Selanjutnya, penghimpunan data dilakukan melalui pengumpulan dokumen mengenai kondisi anak autistik di sekolah tersebut, jumlah siswa yang masuk setiap tahun, data tertulis atau berupa grafik yang menjelaskan bagaimana kondisi awal daya kognisi anak autistik saat pertama kali datang di lembaga, dan kemudian kondisi yang ada saat ini, data yang lebih menggambarkan peningkatan kemampuan kognisi anak selama belajar dan mendapat terapi di lembaga tersebut. Keluhan, penghargaan, kritik maupun saran yang diterima lembaga dari masyarakat sekitarnya terutama orang tua atau wali dari murid autistik yang dibina oleh lembaga tersebut. Penghimpunan data melalui metode ini bermaksud untuk meng”crosschek”, data yang telah didapatkan dari dua data di atas, yaitu wawancara dan pengamatan terlibat.
Setelah data terkumpul melalui metode ini kemudian dilakukan klasifikasi data, dengan menggabungkan data yang didapatkan dengan wawancara dan pengamatan terlibat. Setelah data terklasifikasi dengan baik kemudian dianalisa secara mendalam sesuai pendekatan penelitian yang digunakan. Dalam menganalisa data mengenai kurikulum dan terapi yang digunakan lembaga, peneliti menggunakan acuan teori dari buku-buku yang bersifat handbook mengenai hal bersangkutan. Selanjutnya analisis teoritis sangat diperlukan untuk menguji kebenaran teori yang telah baku tersebut dengan kondisi nyata yang berlangsung di lapangan penelitian.
Kajian-kajian terdahulu juga dijadikan bahan analisa tambahan dan acuan berfikir dalam mengkritisi penerapan kurikulum dan terapi yang telah berlangsung di lembaga pendidikan dimaksud.

G. Penelitian Terdahulu
Ada dua penelitian terdahulu yang peneliti paparkan di sini:
1. R. Peter Hobson, Autism and The Developmental of Mind, London, (1993). Dalam penelitian ini, Hobson melakukan penelitian untuk membuktikan bahwa kemampuan berfikir anak autistik bisa ditingkatkan, juga dijelaskan beberapa teori dan tehnis pelaksanaan terapi untuk meningkatkan kemampuan tersebut.
2. Mohammad Anas, Adaptasi Penyandang Autisme di Sekolah, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, (2003). Dalam penelitiannya ini Anas menyebutkan gangguan dan masalah yang mungkin timbul saat anak dengan ASD bersekolah. Anas juga menjelaskan beberapa teori untuk mengatasi keadaan tersebut.
Selanjutnya untuk ruang lingkup penelitian di kalangan civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, peneliti belum menemukan penelitian serupa, yang membahas autisme dari sisi peningkatan daya kognisi.

H. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini tidak lebih dari lima bab. Pada bab pertama, yaitu bab pendahuluan, peneliti akan memaparkan poin-poin berikut: latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfa’at penelitian, metodologi penelitian, penelitian terdahulu, sistematika penulisan.
Dilanjutkan dengan bab kedua, yaitu kerangka teori, sub poin dari bab dua adalah sebagai berikut: bagian (A) Autisme, yang dibahas dalam bagian A ini adalah ciri-ciri umum, beberapa jenis sindrom yang terkait dengan autisme, daya kognisi anak autistik, gaya belajar anak autistik, kondisi di Indonesia. Bagian (B), yang dibahas dalam bagian B ini: kurikulum dan terapi untuk anak autistik, individualized curriculum, home education, terapi lovaas/ABA, terapi perilaku, terapi biomedik, terapi sensori integrasi, upaya pemerintah dalam penanganan autisme di Indonesia, kebijakan Direktorat Pendidikan Luar Bias, lembaga pendidikan autisme non formal.
Kemudian setelahnya bab tiga, yaitu metodologi penelitian. Sub poin dari metode penelitian ini adalah: jenis dan pendekatan penelitian, obyek penelitian, instrumen penelitian, pengumpulan data, pengolahan dan analisa data.
Bab keempat, yaitu hasil penelitian, yang menjadi temuan utama dalam bab 4 ada 9 sub poin. Pertama adalah lembaga pendidikan autisme di Jakarta Pusat, yang dibahas dalam lembaga ini adalah kurikulum dan terapi yang dijalankan, kelengkapan sarana dan fasilitas penunjang kurikulum dan terapi. Kualitas sumber daya manusia pelaksana kurikulum dan terapi, supervisi berkala pelaksanaan kurikulum dan terapi. Faktor penunjang dan penghambat keberhasilan lembaga.
Subpoin kedua dan seterusnya adalah lembaga pendidikan autisme di Jakarta Timur, di Jakarta Utara, di Jakarta Selatan, di Bogor, di Depok, di Tangerang, di Bekasi. Kesemua subpoin ini memiliki ruang lingkup pembahasan yang sama.
Terakhir adalah bab kelima, seperti pada umumnya sub poin penutup ini terdiri dari kesimpulan dan implikasi.
























DAFTAR PUSTAKA


Aeni, dkk., Gangguan Perkembangan Pervasif : Ilustrasi 1 Kasus, Jurnal Medika Nusantara., 2001, Vol : 22(2)

Azrin & Fox, Teaching Develompentally Disable Children, Pro-ed., Texas: Austin Publisher, 1971

Bandi, Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, Bandung: Refika Utama, 2006 Cet. Ke 1


Campbell, M, Shay dkk, Pervassif Development Disorder, Comprehensive Text Book of Psychiatry, USA, Mc Millan Publishing, 1983

Chaplin, J.P. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
Courchesne., Gangguan Perkembangan Pervasif : Ilustrasi 1 kasus, (Jurnal Medika Nusantara. 1991, Vol : 22(2)


Djohan. Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik, 1999
Hartono., Infantil Autism, Majalah Medical Indonesia., Jakarta: Yayasan Autisme Indonesia, 1998, edisi V

H.S., Kaplan, Saddock, B.J., Greb,J.A , Synopsis of Psychiatry Behavioral Scienses., Clinical Psychiatry Refford DC (Ed). Baltimore: Williams & Wilkins, 1994

Hodgdon, Linda A, MEd, CCC-SLP, Solving Behavior Problems in Autisme – Improving Communication with Visual Strategies, Quick Roberts Publishing: Michigan-US, 1999, 1st ed

Hurlock, Elizabeth, Child Development, USA: Mc Graw Hill, 1978 6th ed.

Marat, S., & Siregar, J.R. Pengantar Psikologi Perkembangan, Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, 1991

M, Budiman,., Tatalaksana Terpadu Pada Autisme, dalam : Simposium : Seputar Autisme, 1997
Meng, Dr. Lam Chee & Chan Yee Pei, BSc,; Assessment for Children for School Readiness in Singapore Mainstream Education, 2002;  WeCAN Third Annual Autisme Best Practices Conference November 2002

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999


Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004

Newson,dkk., Long-term Outcome For Children With Autism Who Received Early Intensive Behavioral Treatment, Los Angeles, University of California, 1998

TERAPI PEMULIHAN TRAUMA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL
(Kajian dari Sudut Pandang Pendidikan dan Psikologi Islam)

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Bahwa anak adalah permata hati orang tua, itu sudah pasti. Bahwa kejiwaan anak sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, demikianpun sudah pasti. Maka orang tua yang memang merasa menyayangi permata hatinya mestilah berusaha semaksimal mungkin agar perkembangan mental anak terjaga dengan baik dan menuju ke arah yang normal dan sehat. Namun bukan hanya kedua orang tua yang berkewajiban menjaga dan harus bersumbangsih terhadap perkembangan mental anak, seluruh anggota keluarga baik itu keluarga inti maupun keluarga majemuk si anak memiliki andil dan peran yang sama terhadap kewajiban ini, hanya saja intensitasnya yang berbeda.

Seluruh individu dalam satu rumpun keluarga bisa mempengaruhi perkembangan dan kemampuan mental anak. Sumbangan keluarga bagi anak jelas berbentuk materi, kecukupan fasilitas, transformasi pendidikan, jembatan menuju alam sosial yang lebih luas, namun yang lebih terpenting dari semua itu adalah keluarga sangat berperan dan berpengaruh dalam membangun kondisi mental anak.

Seharusnya memang demikian, bahwa orang tua, kakak, adik, paman, bibi, sepupu, kakek, nenek dan bahkan saudara lainnya hendaknya memberi good influence terhadap perkembangan anak terutama mentalnya. Karena inti dari struktur diri manusia itu adalah struktur rohani. Walaupun kondisi fisik kurang sempurna namun bila psikis berkembang ke arah yang normal dan sehat maka kekurangan fisik tidaklah menjadi masalah yang bisa menghambat kemajuan hidup.

Namun yang terjadi di masyarakat luas tidaklah seperti yang seharusnya. Ada catatan hitam tentang kekerasan anak yang ironisnya dilakukan oleh orang dalam keluarga itu sendiri. Banyak kasus anak yang diperkosa atau dilecehkan secara seksual, menerima kekerasan fisik yang tidak seharusnya diterima anak dari siapapun, terlebih dari orang yang mengaku memiliki hubungan darah dengan si anak.

Anak di bawah umur dan balita menjadi korban kekerasan seksual terbesar sepanjang 2003. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) mendata, ada sekitar 50 persen anak di bawah umur dan balita yang menjadi korban dari total 239 kasus (sampai bulan Oktober).
Jenis kekerasan yang dialami berupa perkosaan, sodomi, pedofilia, pencabulan dan pelecehan seksual. Dalam laporan catatan akhir yang disampaikan LBH APIK pada hari ini, Rabu 31/12 di Jakarta, pelaku pada umumnya adalah orang-orang yang dekat dengan korban. "Bahkan memiliki hubungan darah dengan korban (incest)," ujar Vonny Reyneta, Ketua LBH APIK .

Komnas HAM Perlindungan Anak mengeluarkan data selama medio 2006 - 2007 , dalam setiap bulannya terdapat 17 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak di Jakarta. ketujuh belas kasus ini melibatkan anak sebagai korban maupun anak sebagai pelakunya. Kasus terakhir yang mengemuka adalah terjadi pada Kamis 8 Maret 2007 lalu, adalah Muna Nuria (14) diperkosa dan dihabisi nyawanya oleh 2 pelaku yakni Gusti Randa (17) dan Hendra Saputra (15) . Kedua pelaku ini telah ditangkap Polres Jakarta Utara. Kejadian ini membuat dilematis Komnas HAM Perlindungan Anak. Disatu sisi Komnas harus membela kepentingan korban, dan lainnya komnas terbentur untuk melindungi hak kedua pelakunya yang juga masih tergolong ABG itu. Kejadian ini tergolong sadis karena para pelaku yang masih ABG ini tega menghabisi nyawa sang korban, setelah tewas korban diperkosa secara bergiliran. Hal ini telah diakui kedua pelaku sendiri. Masa depan kedua pelaku ABG ini terbayang suram karena meraka dikenakan pasal 340 KUHP pembunuhan berencana dan pasal subsider pasal 338 tentang pembunuhan tanpa rencana yang diancam humuman mati.

Kasus kekerasan seksual anak-anak di Indonesia selama beberapa tahun ini meningkat dengan sangat tajam.Di wilayah Jawa Barat, dari data yang dihimpun dari Polda Jabar dalam kurun waktu 6 bulan (Oktober 2001-Maret 2002) telah terjadi 116 kasus kekerasan seksual kepada anak-anak.Kasus-kasus itu meliputi 57 kasus perkosaan, 25 kasus pencabulan, 9 kasus disodomi, 1 kasus dibawa lari dan disetubuhi, 6 kasus dilacurkan , 9 kasus pelecehan seksual, dan 9 kasus usaha perkosaan. Data-data tersebut diatas hanyalah data mengenai kasus-kasus yang diungkap oleh pihak kepolisian, jumlah real kasus yang tidak maupun belum terungkap bisa jadi jauh lebih besar lagi.Kasus perkosaan yang dilakukan oleh kerabat dekat korban misalnya, kasus-kasus semacam ini biasanya baru terungkap. setelah berlangsung selama bertahun-tahun, sehingga diperkirakan masih banyak kasus-kasus serupa yang tidak pernah terungkap.

Bicara mengenai kekerasan seksual berarti bicara mengenai pelecehan seksual, penyerangan dan penganiayaan seksual, sampai pemerkosaan. Pelecehan seksual yang disertai atau tidak dengan kekerasan merupakan suatu kegiatan yang disembunyikan oleh pelakunya dan keluarga merupakan tempat yang paling aman untuk menyembunyikan hal ini dari masyarakat. Inilah yang kemudian menyebabkan pelecehan seksual di dalam keluarga lebih cenderung untuk menjadi kronis, karena pelaku memiliki kesempatan yang besar untuk mengontrol dan memanipulasi sang anak untuk tidak membuka mulut.     
     
Kesadaran masyarakat yang rendah terhadap masalah ini menjadi salah satu faktor pendukung tindak kekerasan tersebut. Banyak tetangga -bahkan keluarga- yang enggan melaporkan suatu tindak kekerasan yang terjadi di dalam sebuah rumah. Mereka beranggapan bahwa masalah ini adalah masalah keluarga tersebut. Akibatnya, banyak pelaku dengan bebas kembali melakukan berulangkali kekerasan tersebut. Dalam beberapa contoh kasus yang bisa diamati di media massa baik cetak maupun elektronik terlihat bahwa anak-anak sering sekali menjadi objek kekerasan fisik dan seksual.

Kekerasan merupakan suatu tindak kejahatan. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku baik yang terbuka ataupun tertutup, bersifat menyerang ataupun bertahan yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Thomas Santoso menjelaskan empat sifat kekerasan:
1. Kekerasan terbuka: adalah tindak kekerasan yang secara transparan dilakukan baik dengan kekuatan kata-kata yang kasar maupun kekuatan fisik seperti menempeleng dan semacamnya.
2. Kekerasan tertutup: tindak kekerasan yang inheren sifatnya, tidak langsung disampaikan dalam bentuk kata-kata kasar maupun perbuatan fisik tetapi tersirat dalam sikap yang mengancam, baik mengancam itu dengan kata-kata, dengan alat atau dengan mimik wajah.
3. Kekerasan agresif: kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu
4. Kekerasan defensif: kekerasan yang dilakukan untuk mempertahankan sesuatu

Umumnya kekerasan tidak terlepas dari ancaman, ini dikarenakan umumnya pihak korban kekerasan tidak menerima begitu saja sikap yang menyakiti tersebut, sementara pihak yang mengancam tentu saja tidak akan berhenti dengan mudahnya dalam berusaha mendapatkan keinginannya. Lagi pula menurut Weber (1958) ancaman dianggap sebagai suatu bentuk kekerasan. Dengan mengancam sebahagian orang merasa bisa mengontrol dan mengendalikan orang lain. Ancaman menurut Weber merupakan suatu kemampuan untuk mewujudkan keinginan seseorang sekalipun menghadapi keinginan yang berlawanan.

Sedangkan mengenai dimensinya, seorang Gandhian Johan Galtung mengatakan bahwa kekerasan memiliki dimensi sebagai berikut:
1. Kekerasan fisik dan psikis
Kajian fisik dan psikis merupakan ’area’ yang sering menjadi pelampiasan dari orang yang suka melakukan kekerasan. Walaupun disebutkan terpisah namun bukan berarti kekerasan fisik tidak berpengaruh pada kondisi psikologis anak korban kekerasan.
2. Kekerasan berpengaruh yang positif dan negatif
Kekerasan bisa saja bervalue positif tetapi hanya pada para pelakunya, karena dengan ini pelaku mendapatkan kemenangan emosi dan kepuasan kebutuhan, sementara bagi korban cenderung berakibat negatif, bahkan terkadang dalam jangka waktu yang lama dan seringkali tidak terdeteksi secara langsung. Bisa juga dipahami dalam bentuk sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya terdapat pengendalian –tidak bebas-, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif, meskipun mungkin menimbulkan perasaan yang euphoria.
3. Kekerasan ada objek atau tak ada objek
Secara umum kekerasan selalu membutuhkan objek, walaupun itu hanya sebotol kaleng softdrink kosong yang ditendang sekeras-kerasnya atau secangkir kopi yang sengaja dicampakkan ke lantai.
4. Kekerasan ada subjek atau tak ada subjek
Bila kekerasan terjadi dengan adanya subjek disebut personal, berarti kekerasan di sini dilakukan oleh perorangan, namun terkadang kekerasan bisa juga dilakukan oleh bukan orang, yaitu sistem. Suatu sistem yang sangat memaksa, memeras, menekan dan membuat orang menjadi sangat terpaksa mengikuti karena kewajiban tertentu, namun tidak menguntungkan atau hanya memberi keuntungan kecil (tidak sepadan dengan besarnya tekanan) pada orang yang mengikuti.
5. Kekerasan yang disengaja atau tidak disengaja
Kesengajaan atau ketidaksengajaan ini dilihat dari tujuan melakukan kekerasan tersebut bukan dari perbuatannya. Umumnya kekerasan yang bersifat agresif cenderung berdimensi disengaja walau ada beberapa kasus dimana kekerasan bersifat agresif terjadi tanpa sengaja. Namun pada kasus kekerasan yang defensif kekerasan yang terjadi umumnya tidak sengaja.
6. Kekerasan yang tampak atau tersembunyi
Kekerasan yang tampak seperti yang telah dijelaskan, yaitu dengan kata-kata kasar, perbuatan dan penggunaan alat yang bisa menyakiti orang lain dimana tindakan itu terlihat jelas. Kekerasan tersembunyi yaitu kata-kata yang menyiratkan ancaman, dan sikap yang mengancam.

Bila kekerasan seksual dikaitkan dengan dimensi dan sifat kekerasan yang telah diuraikan, bisa diamati bahwa kekerasan seksual bersifat terbuka, tertutup, dan agresif, tidak bersifat defensif. Karena jelas kekerasan seksual terjadi saat pihak pelaku menyerang korban yaitu anak di bawah umur untuk mendapatkan sesuatu yang seharusnya tdak boleh didapatkannya dari anak itu.

Untuk dimensinya maka kekerasan seksual memiliki dimensi kekerasan fisik juga psikis, positif bagi pelaku dan negatif bagi korban, berdimensi kekerasan dengan objek dan subjek (personal/langsung), kekerasan ini juga berdimensi sengaja dan tampak, walaupun juga sering berdimensi tersembunyi, karena seringkali kekerasan seksual didahului dengan ancaman.

Sebenarnya apa definisi yang pasti mengenai kekerasan seksual? Secara umumnya kekerasan seksual adalah kekerasan yang terjadi karena persoalan seksualitas. Ibarat awan dan hujan begitu jugalah hubungan seks dan kekerasan. Selama ada hubungan seks maka selama itu pula kekerasan selalu bersifat possible. Untuk pengertian kekerasan seksual yang diakui dalam perundangan adalah dapat dipahami dengan merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak tentang Ketentuan Pidana Pasal 81 ayat 1 dan 2:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana denagn pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Dalam undang-undang tertera dengan jelas bahwa yang dinamakan kekerasan seksual terhadap anak adalah menggunakan segala cara baik dengan cara yang mengancam jiwa anak maupun bukan dengan tujuan mendapatkan kepuasan seksual yang diinginkan pelaku.

Dalam makalahnya yang berjudul "Penganiayaan Seksual pada Anak" Soetjiningsih menjelaskan mengenai pengertian dari penganiayaan seksual pada anak. Yaitu, bila anak terlibat pada aktivitas seksual yang masih belum dimengerti, dimana tingkat perkembangan anak pada saat itu masih belum siap dan belum bisa memberikan persetujuannya, dan/atau perbuatan tersebut melanggar hukum atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Definisi lainnya mengenai kekerasan seksual, yaitu kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa, dimana anak digunakan untuk mendapatkan kepuasan seksual oleh orang dewasa atau orang lain. Biasanya, penganiayaan seksual dilakukan oleh orang yang lebih tua dari korbannya, atau yang memiliki posisi lebih tinggi dari anak tersebut, jenis kelamin yang berbeda, aktivitas seksual tidak sesuai dengan umur anak, terdapat unsur paksaan, tekanan, ancaman, atau harus merahasiakan, korban yang melawan, dan sering disertai penganiayaan fisik.
Kekerasan seksual pada anak sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.
1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)
2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)
3. Kekerasan dalam ritual agama (Ritualistic abuse)
4. Kekerasan dalam lingkungan institusi (Institutional abuse)
5. Kekerasan dalam lingkungan anak jalanan (Street or stranger abuse)

1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan sepengetahuan keluarga. Ditegaskan oleh Prof. Dr. Soetjiningsih yang memberikan makalah berjudul "Penganiayaan Seksual pada Anak". Soetjiningsih menjelaskan mengenai pengertian dari penganiayaan seksual pada anak. Yaitu, bila anak terlibat pada aktivitas seksual yang masih belum dimengerti, dimana tingkat perkembangan anak pada saat itu masih belum siap dan belum bisa memberikan persetujuannya, dan/atau perbuatan tersebut melanggar hukum atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingkup ini. Dikatakan bahwa dua pertiga dari anak-anak yang mengalami pelecehan seksual, pelakunya adalah keluarga mereka sendiri. Ini tidak hanya meliputi orangtua kandung, namun juga orangtua angkat, kekasih dari orangtua mereka, teman orang tua yang tinggal bersama, maupun kakek, paman, bibi, sepupu, saudara laki-laki dan perempuan.



2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua dari teman sekolah
3. Kekerasan seksual dalam ritual agama (Ritualistic abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam suatu ritual agama atau berdalih untuk ritual agama.
4. Kekerasan seksual dalam lingkungan institusi tertentu (Institutional abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam suatu institusi tertentu, mungkin di sekolah, di tempat kursus, tempat penitipan anak.
5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse)
Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum oleh orang yang tidak dikenal oleh korban. Bisa dengan ancaman atau dengan rayuan memberikan permen, diajak jalan-jalan dan semacamnya.

Perlu dipahami, persoalan-persoalan kekerasan seksual terhadap anak perempuan terutama yang juga berakhir dengan KTD (Kehamilan yang Tidak Dikehendaki), bukan persoalan sederhana yang bisa diselesaikan dengan 'cara' sederhana pula. Misalnya, ada yang kemudian mencoba menyelesaikan persoalan dengan menikahkan anak yang sudah hamil tersebut, baik dengan pelaku ataupun dengan orang lain. Ketika korban seorang pelajar, tidak jarang pihak sekolah menyelesaikan masalah dengan mengeluarkan anak yang hamil dari sekolah. Alasannya, sekolah sudah memiliki peraturan yang tidak mengijinkan siswanya hamil. Penyelesaian-penyelesaian tersebut sungguh bukan mengatasi masalah, tapi justru menambah masalah, khususnya bagi korban.

Harus diakui, isu kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual terhadap anak perempuan dan atau perkosaan, kurang terangkat ke permukaan dibandingkan isu lain. Berbeda dengan masalah trafficking/perdagangan anak, pedofilia, juga pornografi yang jauh lebih banyak dibahas dalam masyarakat. Hal yang makin memprihatinkan ialah, menurut KUHP, hukuman pemerkosa anak lebih ringan di banding hukuman terhadap pemerkosa perempuan dewasa. Sementara di sisi lain, masyarakat bisa sedikit lega dengan adanya Undang Undang Perlindungan Anak yang memberikan hukuman minimal tiga tahun penjara bagi pelaku kekerasan seksual, walaupun dalam implementasinya masih jauh dari harapan.

Dampak kekerasan seksual bagi anak perempuan tidaklah sesaat, tapi bisa jadi seumur hidup. Banyak dari mereka yang setelah mengalami kekerasan seksual, karena merasa sudah tidak perawan lagi dan masa depan suram, pada akhirnya terjerumus ke dunia prostitusi anak. Dalam hal ini, kekerasan dan eksploitasi seksual menjadi semakin dekat dengan dengan kehidupan anak-anak tersebut. Teguh Vedder menjelaskan beberapa akibat yang rentan menyerang anak korban kekerasan seksual, diantaranya:
memiliki self esteem yang rendah
rasa harga diri baru bisa muncul denagn baik dan normal bila individu tidak mengalami hal-hal yang mungkin akan menjatuhkan harga dirinya. Sedangkan pada anak korban kekerasan, sudah jelas anak tersebut direnggut harga dirinya, dianggap rendah oleh pelakunya dan apa hyang terjadi itu bisa melukai rasa percaya dirinya. Masa lalu yang buruk ini akan terus menghantui fikirannya, mungkin jadi mimpi buruk ayng membangunkannya di tengah amlam dan sedikit abnyak akan mempengaruhi pola tingkah lakunya terutama terhadap lawan jenis.
Rusaknya hubungan antara orang tua korban dan korban terhadap pelaku.
Hubungan keluarga yang tadinya utuh menjadi rusak. Karena perbuatan pelaku. Baik orang tua korban maupun korban sendiri pada saat dewasa menyimpan dendam yang tidak akan hilang begitu saja terhadap pelaku. Satu sisi mungkin ingin mengadukan pelaku pada yang berwajib agar mendapatkan hukuman tetapi di sisi lain ada rasa malu yang timbul andainya aib tersebut diketahui saudara lainnya atau kemungkinan akan dipermalukan tetangga. Akhirnya rasa sakit tersebut hanya dipendam saja membuat dendam yang terasa di hati makin membuat lobang yang meregangkan hubungan darah mereka.
Ditambahkan oleh Hurlock, bahwa anak-anak yang mengalami sesuatu yang buruk di masa lalu akan berakibat bagi penerimaan dirinya. Apalagi kalau hal buruk tersebut diberikan oleh keluarga, karena menurut Hurlock keluarga adalah faktor yang paling penting dan paling besar mempengaruhi kepribadian. Bila keluarga justru memberikan masalah besar saat anak masih dalam pembentukan kepribadian, maka cenderung kepribadian anak akan mengarah pada kepribadian yang bernilai kurang positif.

Menurut Nilam Widyarini, incest merupakan aib yang sangat memalukan bagi keluarga, dan sangat menyakiti dan melukai harga diri anak yang jadi korban. Keengganan keluarga membongkar aib justru membuat pelaku semakin berkuasa dan leluasa mengulangi dan mengulangi kembali perbuatan hina itu. Incest sering terjadi antar kakak laki-laki terhadap adik perempuan, atau mungkin adik laki-laki yang bertubuh besar terhadap kakak perempuan yang tidak jauh perbedaan umurnya dan bertubuh lebih kecil, walaupun ini cukup jarang terjadi. Atau antara ayah dengan anak gadisnya apakah itu kandung, tiri atau angkat. Antara anak laki-laki dewasa terhadap ibunya mungkin juga terjadi, tetapi persentasenya cukup kecil. Jelasnya, dalam kekerasan seksual hampir bisa dipastikan wanita berada pada posisi korban dan laki-laki pada posisi pelaku.

Dalam incest ini jarang ditemukan unsur suka – sama –suka. Oleh karenanya bisa dicurigai bahwa ayah atau kakak yang melakukan sexual abuse sampai pemerkosaan terhadap anak gadis atau kakaknya menggunakan kekerasan dalam mencapai maksudnya. Hampir tidak pernah terdengar ada perempuan yang memperkosa laki-laki. Ini dikarenakan karena stigma bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, lagipula dengan sifat khas yang dimiliki laki-laki maupun perempuan memang hampir tidak mungkin perempuan bisa ”memperkosa” perempuan.
Saat incest dicurigai terjadi oleh salah satu anggota keluarga maka cenderung kecurigaan itu di redam, bahkan ketika sampai ke pihak yang berwajibpun cenderung ada pihak keluarga yang terkesan menutupi atau bahkan menyembunyikan fakta. Ketika seorang nenek menyatakan bahwa anaknya tidak bersalah, hal ini mungkin dilakukannya untuk melindungi anaknya, namun juga berarti bahwa mungkin sang nenek sedang memikirkan seluruh keluarganya, termasuk dirinya sendiri, suaminya, sang paman dan bibi, keponakan, yang mungkin merasa terancam dengan terungkapnya satu pelecehan seksual pada salah satu anak di dalam keluarga.

Untuk alasan inilah pelecehan seksual atau bahkan kekerasan seksual dalam keluarga menjadi lebih sulit untuk diusut dan sering terjadi bahwa penyelidikan kasus pelecehan/kekerasan seksual dalam keluarga berhubungan dengan anggota keluarga lainnya. Ada beberapa penyebab atau pemicu timbulnya incest menurut Widyarini. Akar dan penyebab tersebut tidak lain diantaranya adalah pertama, karena pengaruh aspek struktural, yakni situasi dalam masyarakat yang semakin kompleks.
Kompleksitas situasi menyebabkan ketidakberdayaan pada diri individu.
Khususnya apabila ia seorang laki-laki (notabene cenderung dianggap
dan menganggap diri lebih berkuasa) akan sangat terguncang, dan
menimbulkan ketidakseimbangan mental-psikologis. Dalam ketidakberdayaan tersebut, tanpa adanya iman sebagai kekuatan internal/spiritual, seseorang akan dikuasai oleh dorongan primitif,yakni dorongan seksual ataupun agresivitas.

Dorongan primitif ini menjadi lebih buruk lagi karena disupport dengan kemajuan tehnologi yang memang bermata dua. Pada satu sisi kemajuan tehnologi sangat membantu percepatan pembangunan, dan penyebaran lebih banyak informasi pada lebih banyak kalangan dan daerah. Namun seiring itu hi-tech ternyata juga berperan dalam peningkatan jumlah kejahatan, jenis dan modus operandinya. Dalam kasus kekerasan seksual ini pelaku cenderung terobsesi pada korban awalnya belum tentu dimulai dari korban sendiri. Inilah sebab incest yang kedua yaitu konflik budaya.

Anggapan masyarakat pada korban yang memasuki usia remaja, kekerasan seksual yang terjadi dipicu oleh tingkah dan perilaku mereka sendiri, namun anggapan ini tentu tidak bisa diterapkan pada kasus pelecehan atau penganiayaan seksual yang terjadi pada anak di bawah delapan tahun. Banyaknya film porno dalam bentuk cd atau dvd yang mudah didapatkan, murahnya harga player cd atau dvd sehingga banyak yang memiliki, atau beredarnya video porno lewat internet yang di download oleh orang-orang yang memiliki HP dengan fasilitas kamera, kesemua ini bisa menjadi pemicu meningkatnya perkosaan yang dilakukan pada perempuan usia berapapun. Juga media cetak yang sering mengangkat tema pornografi diiringi gambar-gambar seronok, yang demikian ini tentu memancing dan mengarahkan otak pada hal-hal yang bersifat seksualitas.

Penyebab ketiga adalah kemiskinan. Meskipun incest dapat terjadi dalam segala lapisan ekonomi, secara khusus kondisi kemiskinan merupakan rantai situasi yang sangat potensial menimbulkan incest. Sejak krisis 1998, tingkat kemiskinan di Indonesia semakin meninggi. Banyak keluarga miskin hanya memiliki satu petak rumah. Tidak ada sekat antara kamar tidur orang tua dengan anak. Ini bisa memicu nafsu seksual dari kakak laki-laki terhadap adik perempuan atau nafsu ayah terhadap gadis kecilnya karena mereka tidur di satu tempat yang sama.

Sebab yang keempat adalah pengangguran. Banyaknya kasus PHK pada masa krisis membuat banyak ayah menjadi pengangguran. Kondisi ini memaksa perempuan untuk akhirnya sering keluar rumah untuk bekerja. Akhirnya di saat istri semakin jarang di rumah membuat kesempatan terjadinya incest antara ayah dengan anak atau dengan anggota keluarga lainnya semakin besar.

Bicara mengenai asal lingkungan pelaku kekerasan seksual, anak juga harus dijaga dari ancaman dari pihak luar keluarga. Batasan antara lingkup intrafamilial dan ekstrafamilial kadang menjadi kabur dan pengenalan dari salah satunya sering mengantar pada yang lainnya. Seorang anak laki-laki yang mengalami pelecehan seksual di rumah oleh ayahnya, mungkin secara tidak sadar membiarkan dirinya berada dalam situasi yang berbahaya bersama dengan laki-laki lain, yang dapat mengambil kesempatan untuk melakukan hal yang sama padanya jauh dari keluarganya.

Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku biasanya orang dewasa yang dikenal oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan anak tersebut,  kemudian membujuk sang anak ke dalam situasi dimana pelecehan seksual tersebut dilakukan, sering dengan memberikan imbalan tertentu yang tidak didapatkan oleh sang anak di rumahnya. Sang anak biasanya tetap diam karena bila hal tersebut diketahui mereka takut  akan memicu kemarahan dari orangtua mereka. Selain itu, beberapa orangtua kadang kurang peduli tentang dimana dan dengan siapa anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak yang sering bolos sekolah cenderung rentan untuk mengalami kejadian ini dan harus diwaspadai. Lebih jelas lagi akan dirinci tahapan terjadinya sexual abuse:
Fase perjanjian. Pelaku akan menjanjikan akan memberikan sesuatu yang menarik hati si anak. Mungkin berupa makanan, minuman, uang cash, atau diajak jalan-jalan oleh si pelaku sampai anak tidak merasa curiga sedikitpun bahkan sebaliknya merasa nyaman dan dekat dengan si pelaku.
Fase rahasia. Pelaku hampir selalu mengatakan “jangan bilang siapa-siapa ya…” pada anak calon korbannya. Terkadang kata-kata seperti ini disampaikan secara baik-baik tetapi tidak jarang disertai dengan ancaman.
Fase penyingkapan. Biasanya baru terjadi apabila orang tua benar-benar merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada putrinya. Atau mungkin si anak mengeluh sakit pada bagian tubuh tertentu terutama organ vitalnya. Atau pada kebanyakan kasus penganiayaan seksual ini tersingkap setelah anak hamil, dan pada saat itu anak sudah mengalami penganiayaan seksual yang pastinya lebih dari sekali dua kali.

Fenomena inilah yang kadang ditutupi keluarga si anak yang bersangkutan. Walaupun ada anggota keluarga yang mengetahui tentang penganiayaan seksual ini namun membiarkan begitu saja hingga akhirnya si anak hamil. Anak-anak dengan riwayat pelecehan seksual mengalami pengalaman yang buruk dan menderita secara emosional maupun kesulitan tingkah laku. Anak-anak ini membutuhkan bantuan pemulihan trauma setelah pelecehan seksual tersebut dideteksi dan dihentikan.

Dilihat dari sudut pandang manapun, anak adalah harta yang berharga. Dalam lapangan pendidikan ada dikenal istilah periode emas, dan periode penting pertumbuhan anak. Mulai dari kelahirannya sampai akhir masa remaja anak merupakan makhluk yang rentan dan mudah lemah, terpengaruh bahkan terperosok ke lobang-lobang kejahatan dan kemaksiatan bila orang dewasa yang terdekat tidak ”rapi” dalam penjagaanya.

Demikian pula dalam pandangan Islam, anak merupakan titipan Allah yang suatu saat akan diminta pertanggungjawaban orang tua tentang perawatan dan pengasuhan anak tersebut. Bukan hanya pemenuhan kebutuhan materi dan fisik yang harus diupayakan orang tua melainkan juga pemenuhan kebutuhan psikologi anak. Dalam pandangan Zakiah Darajat, kebutuhan yang mendasar bagi setiap manusia pada fase manapun, baik itu anak-anak, remaja, dewasa atau bahkan orang tua adalah kasih sayang dan selanjutnya rasa aman. Apabila orang dewasa yang sudah bisa mengusahakan arah hidupnya sendiri, masih membutuhkan kasih sayang apalagi anak di bawah umur yang umumnya masih sangat bergantung pada orang tua. Kalaupun ada anak-anak yang bisa tidak terlalu bergantung secara materi pada orang tuanya namun sebelum mencapai usia dewasa, hampir setiap orang membutuhkan keluarga untuk berbagi suka duka. Ikatan yang kuat dalam keluarga bisa memberi rasa hangat pada jiwa anak, dan yang demikian itu berpengaruh pada pembentukan rasa percaya diri anak, kestabilan emosi dan pengarahan daya mentalnya terhadap hal yang positif.

Semua kondisi positif itu bisa dicapai dengan bermula dari keluarga yang penuh kasih sayang, dimana bukan hanya orang tua dan saudara kandung yang berkewajiban memperhatikan pemenuhan psikologi anak. Keluarga yang basic kasih sayangnya kuat sangatlah menunjang dan menjadi background kepribadian dan tingkah lakunya di masa mendatang. Baik dari sudut pandang pendidikan anak maupun psikologi Islam, kondisi yang saling menyayangi, saling menguatkan dan saling menerima di keluarga bisa mempermudah pencapaian anak terhadap prestasi fisik maupun psikis. Agar anak bisa mencapai segala prestasi tersebut seyogyanya keluarga dengan seluruh pihak didalamnya menjaga dengan hati-hati. Jangan sampai anak menjadi korban perbuatan buruk yang bisa saja membekas di ingatannya dan merubah tingkah lakunya ke arah yang negatif.
Anak merasa keluarga lah yang mampu menaungi dan melindunginya dari kejahatan dan kekerasan dunia luar. Kondisi keluarga yang membuat anak nyaman dan aman akan sangat membantu dalam proses perkembangan jiwa, kreativitas dan juga kepribadiannya. Pada kasus kekerasan seksual dalam keluarga, bagaimana anak akan merasa aman apabila orang yang menyakitinya bahkan merenggut mahkotanya adalah pamannya atau bahkan ayahnya sendiri? Bahkan dengan demikian keluarga telah menjelma menjadi tempat yang sangat menakutkan bagi anak. Seperti yang digambarkan Hurlock, ”jika anak belajar dalam suasana penuh ancaman ia akan belajar mengutuk (walau dalam hatinya), dan jika ia hidup dalam suasana tertekan dan ketakutan ia akan menjadi penakut terhadap hidup”.

Selanjutnya menurut Zakiah, bahwa anak sangat membutuhkan penghargaan terhadap harga dirinya. Anak perlu merasa memiliki keluarga, merasa punya posisi penting dalam keluarga. Apa yang dikatakannya didengarkan oleh anggota keluarga (walaupun, jelas tidak semua kata-kata anak akan dipertimbangkan), dan apa yang menjadi kemauan atau kegelisahannya diperhatikan oleh keluarga. Bila melihat kepada situasi kekerasa seksual di rumah tangga, jelas bahwa anak korban kekerasan seksual di rumah tangga telah dihancurkan harga dirinya oleh keluarganya sendiri. Justru keluargalah yang membuat ia menjadi gelisah, kehilangan hak bicara (karena diancam) dan kehilangan posisi penting bahwa ia adalah permata keluarga.
Berarti baik dari segi psikologi Islam maupun pendidikan Anak, keluarga memiliki peran terbesar dalam menentukan arah pembentukan jiwa anak. Bagaimanapun pengaruh dari luar keluarga datang pada diri anak, tetap saja pengaruh dari dalam keluarga yang paling memberi kesan dalam perkembangan pemikiran dan tingkah lakunya di masa depan. Bahkan para sosiologpun menilai bahwa keluarga adalah benteng kokoh sebuah lapisan masyarakat, bila benteng ini rapuh maka perlahan konstruksi lapisan masyarakat pun merapuh.

Namun pada sebahagian kasus kekerasan seksual, justru yang menjadi Dewa Siwa bagi cahaya mata si anak adalah keluarganya sendiri. Orang yang sering bermain dengannya, orang yang sering membuatnya tertawa bahkan sering menjaga dan menemani hari-harinya. Luka yang tertoreh dalam jiwa anak akibat kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga dapat dipastikan dua kali lipat lebih perih daripada andainya luka tersebut ditorehkan orang lain di luar keluarga yang mungkin tidak dekat dengannya atau tidak Ia kenal sama sekali.

Ini logis karena anak harus kembali bersosialisasi dengan orang yang telah memberikannya mimpi buruk, dan ia harus memendam dalam-dalam kekecewaan yang kadang tidak dapat dibahasakannya karena ia takut dengan ancaman yang pernah diberikan pelaku. Tentu saja suasana demikian menciptakan tekanan yang sangat mengganggu fikiran dan hatinya, hingga banyak anak yang menjadi korban sexual abuse terutama oleh keluarga akan berubah menjadi pemurung, seperti menyimpan sesuatu namun takut menyampaikannya. Selain itu anak menjadi tidak mempercayai orang lain lagi. Karena kepercayaan yang ia berikan pada keluarga telah dirusak oleh keluarganya sendiri. Mungkin bisa mengakibatkan depresi, merasa berdosa dan tidak berharga, ingin bunuh diri atau melakukan percobaan bunuh diri, menyendiri dan tidak mau bergaul lagi dengan dunia luar.

Akibat lainnya dari incest ini adalah anak bisa membeci laki-laki atau sebaliknya perkembangan kematangan seksualnya menjadi lebih cepat. Bisa saja ia menjadi lebih menyukai seks, bicara mengenai seks, bahkan mungkin ia ingin mengalami hal yang sama dengan laki-laki lain. Kondisi ini pada gilirannya akan memicu anak melakukan hubungan seks dengan pacarnya ataupun menjadikan dirinya sebagai objek seks komersial. Seandainya anak menjadi benci laki-laki maka yang akan terjadi selanjutnya adalah penyimpangan orientasi seksual yang lebih berbahaya yaitu menjadi lesbian. Karena anak dengan pemikirannya yang masih sangat sederhana merasa jenis laki-laki hanya akan menyakitinya karena kaum laki-laki sejenis dengan ayahnya.

Mungkin ini pemikiran yang sepele dan terlalu menggeneralisisr karena pasti tidak semua laki-laki seperti itu. Namun dalam fikiran anak-anak yang demikian itu bukanlah sepele, apalgi bila si anak memiliki gambaran dalam hati dan fikirannya bahwa ayah itu sosok yang akan menyayangi dan melindungi dia apapun yang terjadi, karena awalnya si anak merasa bahwa dialah putri kesayangan ayah. Namun saat sang pelindung ini memaksakan nafsu bejatnya pada anak maka rusaklah jiwa anak yang selama ini menyayangi dan menghormati orang tuanya. Karena awalnya ia sangat sayang sehingga ketika ia kecewa maka ia bisa menjadi sangat benci.

Sebab lainnya karena anak merasakan kekecewaan yang dalam karena tercorengnya hubungan emosional yang harmonis yang selama ini dirasakan anak terhadap pelaku. Hati anak-anak yang lugu akan sangat rapuh menghadapi kenyataan bahwa orang yang disayanginya ternyata menyakitinya bahkan merusak masa depannya dengan cara-cara yang tentu saja tak pernah terbayangkan sama sekali, bahkan kadang tak dimengertinya sedikitpun.

Pada kondisi seperti ini hendaknya keluarga yang lain menginformasikan kekerasan yang dilakukan tersebut kepada yang berwajib, bisa juga ke Komisi Nasional Perlindungan Anak, atau ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia, agar mendapat tindakan kuratif dan juga preventif agar hal demikian tidak terulang lagi pada diri anak.

Namun seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa kadang anggota keluarga takut membeberkan kenistaan yang dilakukan salah seorang anggota keluarga yang lain terhadap si anak di keluarga itu. Takut akan timbul pandangan miring dari keluarga lainnya yang tidak mengetahui akan hal tersebut, atau oleh tetangga di sekitarnya, hingga keluarga yang tahu akan hal ini memilih mendiamkan saja. Padahal ini sangatlah berakibat buruk karena hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan tidak terpenuhi justru oleh keluarganya sendiri.

Dari sekian kasus yang jumlahnya pasti lebih banyak dari yang dilaporkan, telah ada sebagian kasus yang diselesaikan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak terutama divisi Hotline Service bekerja sama dengan Rumah Perlindungan Sosial Anak. Anak-anak korban kekerasan seksual dititipkan di Rumah Perlindungan Sosial Anak untuk mendapatkan terapi pemulihan trauma (trauma healing therapy) dari pendamping, psikolog atau relawan yang telah diberi pelatihan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak.

Terapi ini secara umum bertujuan untuk menenangkan kegoncangan bathin yang dirasakan anak korban kekerasan seksual, agar mereka bisa kembali ke dunia mereka sebelumnya, bisa dengan mata terbuka dan percaya diri melanjutkan kembali bangku sekolah yang mereka tinggalkan. Terapi dilaksanakan dengan bersandar pada prinsip-prinsip konseling dalam psikologi dengan memperhatikan fase perkembangan serta kondisi mental anak pada fase itu, dan juga agama anak.

Atas dasar semua kondisi yang telah dipaparkan, penulis merasa tertarik untuk menjelaskan dan menganalisa terapi pemulihan trauma yang diberikan para terapis di Rumah Perlindungan Sosial Anak dari sudut pandang pendidikan anak dan psikologi Islam.


Identifikasi Pokok Permasalahan dan Perumusan Masalah
Permasalahan pokok yang akan dikaji dalam pelitian ini adalah terapi pemulihan trauma yang digunakan para terapis terhadap anak korban kekerasan seksual dikaji dari sudut pandang pendidikan anak dan psikologi Islam. Perumusan masalah tergambar dalam pertanyaan sebagai berikut:
7. kecakapan yang harus dimiliki terapis untuk memberikan trauma healing terhadap anak korban kekerasan seksual
8. terapi pemulihan trauma yang telah diberikan
9. metode yang digunakan terapis dalam upaya trauma healing
10. faktor penghambat dan pendukung jalannya trauma healing terapy?

Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengupas secara detail terapi pemulihan trauma yang dilakukan Rumah Sosial Perlindungan Anak. Memaparkan terapi pemulihan trauma yang diberikan secara deskriptif analitik, yaitu setelah dipaparkan keseluruhan bagiannya kemudian dianalisa secara kritis dan mendalam. Analisa yang dimaksudkan adalah mengkaji terapi tersebut dari sudut pandang pendidikan anak dan psikologi Islam.

Manfaat penelitian:
1. Secara teoritis, memberikan pemahaman yang komprehensif kepada peneliti dan juga komunitas akademika yang terkait dengan dunia psikologi Islam dan pendidikan, agar dapat memahami lebih jauh tentang fenomena yang nyata terjadi di hadapan mata tentang kekerasan seksual anak dan terapi yang diperlukan untuk memulihkan traumanya.
2. Secara pragmatis, memberikan penjelasan yang mendalam tentang terapi pemulihan terapi yang digunakan untuk memulihkan trauma, untuk kemudian peneliti bisa memberikan sumbangsih yang nyata dalam terapi pemulihan trauma anak korban kekerasan kekerasan seksual.

Tinjauan Hasil Penelitian dan Kajian yang Relevan
Disertasi, Penanganan Anak Korban Kekerasan Seksual di Polres Metro Jakarta Selatan, oleh Prasetijo, (2002). Pada disertasi ini, Prasetijo meneliti proses penanganan yang dilakukan polres Metro terhadap anak korban kekerasan seksual. Dimana proses interogasi dan sikap yang ditampakkan polisi tidak sama dengan ketika polisi tersebut mengintrogasi atau menyelidiki korban kriminal yang lainnya.

Disertasi, Penanganan Pada Anak yang Mwenyaksikan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, oleh Gisella Tani Pratiwi, (2003). Dalam disertasi ini Gisella mengambil anak yang bukan terlibat kekerasan seksual tetapi melihat terjadinya kekerasan fisik dalam ruang lingkup keluarga inti, terutama antara ayah dengan ibu.

Disertasi, Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak, oleh Maria Lamria (2005). Maria Lamria menjelaskan upaya yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak terhadap anak yang menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan ini mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual dan emosional.

Sistematika Penelitian
Pada bab pertama akan dijelaskan mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi Pokok Permasalahan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Hasil Penelitian dan Kajian yang Relevan, Sistematika Penelitian, dan Metodologi Penelitian.

Pada bab ke dua akan dijelaskan mengenai Posisi Anak dalam posisi Keluarga, Masyarakat dan Negara, Kodrat Anak Dalam Islam, Kaidah Islam Dalam Pendidikan Anak, serta Anak Menurut Psikologi Islam .

Selanjutnya bab tiga akan mengupas Definisi, dan Teori-teori Kekerasan, Jenis-jenis Kekerasan dan Akibat yang Ditimbulkannya, Pandangan Islam Terhadap Kekerasan, Pandangan Psikologi Terhadap Kekerasan.

Bab ke empat membahas mengenai Jenis-jenis Kekerasan Anak, Dampak Kekerasan Terhadap Perkembangan Mental Anak, Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan, Posisi dan Fungsi Komisi Nasional Perlindungan Anak, Kekuatan Hukum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Posisi dan Fungsi Rumah Sosial Perlindungan Anak (RSPA).

Untuk bab lima akan dibahas Upaya yang Telah dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak Bekerja Sama Dengan RSPA Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual, Kecakapan yang Harus Dimiliki Oleh Terapis Dalam Menghadapi Trauma Anak Korban Kekerasan Dari Segi Pendidikan Anak dan Psikologi Islam, Metode yang Digunakan Terapis Dalam Terapi Pemulihan Trauma Kaitannya Dengan Pendidikan Anak dan Psikologi Islam, Faktor Penghambat dan Pendukung yang mempengaruhi Keberhasilan Terapi Pemulihan Trauma Anak.

Diteruskan bab enam yang menelaah Pengembalian Jati Diri Anak Korban Kekerasan Seksual Melalui Terapi Pemulihan Trauma (beberapa contoh kasus), dan juga Bakti Rumah Sosial Perlindungan Anak Terhadap Masyarakat.
Sebagai bab terakhir akan dibahas Kesimpulan dan Penutup

6. Metodologi Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif analitik, dengan menggunakan pijakan analisa ilmu pendidikan dan psikologi Islam. Peneliti mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya tentang keekrasan seksual anak dan terapi pemulihan trauma yang dilakukan Rumah Sosial Perlindungan Anak terhadap anak korban kekerasan seksual. Kemudian dilakukan wawancara mendalam dengan pimpinan Rumah Sosial Perlindungan Anak dan beberapa terapis atau psikolog yang memberikan terapi pemulihan trauma terhadap aank korban kekerasan seksual. Peneliti juga mengobservasi secara cermat dan teliti terapi pemulihan trauma yang dilakukan terapis terhadap anak korban kekerasan seksual. Kemudian seluruh data yang didapatkan dari observasi dan wawancara mendalam dikaji, dianalisa dengan berpijak pada ilmu pendidikan anak dan psikologi Islam.

Selasa, Oktober 27, 2009

alhamdulillah....
dari hari ke hari... allah terus menganugrahi banyak nikmat padaku.... :)

Kamis, Oktober 15, 2009

MEMBANGUN KREATIVITAS ANAK: DARI SEGI KOGNISI DAN AGAMA

PENDAHULUAN
Menciptakan suatu hal yang baru kadang bisa dikatakan sulit, kadang mudah. Ketika manusia dihadapkan pada sesuatu yang membuatnya berfikir, maka manusia dengan kelebihan istimewa yang diberikan Allah, yaitu akalnya, akan mencoba berbagai cara menemukan solusi. Salah satu contoh, sepeda. Sejarah sepeda bermula di Inggris tahun 1790, dengan nama Hobby Horses dan Celeriferes. Keduanya belum punya mekanisme sepeda zaman sekarang, batang kemudi dan sistem pedal. Hanya ada dua roda pada sebuah rangka kayu. Penemuan fenomenal dalam kisah masa lalu sepeda tercipta berkat Baron Karl Von Drais. Von Drais yang berhasil melakukan terobosan penting pada tahun 1817, merupakan peletak dasar perkembangan sepeda selanjutnya. Oleh Von Drais, Hobby Horse dimodifikasi hingga mempunyai mekanisme kemudi pada bagian roda depan. Ia menyebutnya Draisienne. Proses penciptaan selanjutnya dilakukan Kirkpatrick Macmillan. Pada tahun 1839, ia menambahkan batang penggerak yang menghubungkan antara roda belakang dengan ban depan Draisienne. Untuk menjalankannya, tinggal mengayuh pedal yang ada. James Starley mulai membangun sepeda di Inggris di tahun 1870. Starley berhasil membuat terobosan dengan mencipta roda berjari-jari dan metode cross-tangent. Sampai kini, kedua teknologi itu masih terus dipakai. Sampai akhirnya, keponakan James Starley, John Kemp Starley melanjutkan karyanya. Ia menciptakan sepeda yang lebih aman untuk dikendarai oleh siapa saja pada 1886. Sepeda ini sudah punya rantai untuk menggerakkan roda belakang dan ukuran kedua rodanya sama. Namun penemuan tak kalah penting dilakukan John Boyd Dunlop pada 1888. Dunlop berhasil menemukan teknologi ban sepeda yang bisa diisi dengan angin (pneumatic tire). Sejak ini sepeda makin menemukan kesempurnaannya hingga sekarang .
Mengapa membicarakan sejarah sepeda? Bukan lampu, mesin uap, telepon dan lainnya? Poin penting dalam sejarah penemuan apapun, adalah IDE dan KREATIVITAS. Bagaimana seorang manusia biasa menjadi luar biasa dengan ide yang muncul, dan tidak sebatas itu, ia berusaha untuk mewujudkan ide-ide itu ke alam nyata. Sesuatu yang tadinya mungkin tidak pernah terbayangkan oleh orang-orang pada zaman itu, namun –melalui ide dan kreativitas yang istimewa- kemudian “sesuatu” itu tercipta dan berkembang hingga akhirnya dinikmati oleh puluhan bahkan ratusan generasi setelahnya. Lalu, apa dan bagaimana kreatifitas itu, dan bagaimana membangun sisi kreatif anak hingga ia bisa menemukan “sesuatu” yang berguna bagi umat manusia di kemudian hari? Akan dibahas secara sekilas pada tulisan berikut.

PEMBAHASAN

MAKNA KREATIVITAS
Para pakar membedakan pengertian kreativitas, beberapa diantaranya: Barron mengatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Makna ‘baru’ di sini menurut Utami , tidaklah menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada, melainkan mewujudkan suatu kombinasi yang sudah ada sebelumnya.
Sedikit lebih panjang Drevdahl menjelaskan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk memproduksi komposisi-komposisi dan gagasan-gagasan baru yang dapat berwujud aktifitas imajinatif dan sintesis yang mungkin melibatkan pembentukan pola-pola baru dan kombinasi dari pengalaman masa lalu yang dihubungkan dengan yang sudah ada pada situasi sekarang. Hasil tersebut berguna, bertujuan, terarah, dan tidak hanya sekedar fantasi. Sumber awal dari perkembangan kreativitas itu disebabkan oleh factor-faktor yang ada dalam lingkungan keluarga .
Sementara Rhodes mengelompokkan kreativitas dalam empat kategori, yaitu product, person, process, dan press. Product menekankan kreativitas dari hasil karya kreatif, baik yang sama sekali baru maupun kombinasi karya-karya lama yang menghasilkan sesuatu yang baru. Person memandang kreativitas dari segi ciri-ciri individu yang menandai kepribadian orang kreatif atau yang berhubungan dengan kreativitas, ini dapat terlihat melalui perilaku yang nampak. Process menekankan bagaimana proses kreatif itu berlangsung sejak dari mulai tumbuh sampai dengan terwujudnya perilaku kreatif. Sedangkan press menekankan pada pentingnya faktor-faktor yang mendukung timbulnya kreativitas pada individu .
Beralih ke Torrance, ia mengatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan memahami kesenjangan-kesenjangan atau hambatan-hambatan dalam hidupnya, merumuskan hipotesis-hipotesis baru, dan mengkomunikasikan hasil-hasilnya, serta sedapat mungkin memodifikasi dan menguji hipotesis- hipotesis yang telah dirumuskan. Kemampuan kreatif ini menurut Torrance berlangsung melalui proses belajar yang dilakukan oleh individu dalam waktu yang lama. Kemampuan ini juga membutuhkan pengetahuan sebagai bahan dalam membuat hipotesis-hipotesis baru terhadap sesuatu.
Dari perspektif psikologi, Maslow mengatakan kreativitas adalah kemampuan manusia mengarah/menuju pada penciptaan/penyusunan sesuatu yang berpola baru. Kreativitas merupakan tanda manusia mengaktualisasikan dirinya. Aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi manusia dalam piramida hierarki kebutuhan yang dikonsepkan Malsow. Aktualisasi diri masuk kepada kelompok B-Needs atau being needs: kebutuhan untuk menjadikan dirinya “ada”, sedangkan empat kebutuhan sebelumnya berada pada kategori D-Needs atau deficit needs: yaitu kebutuhan dasar, yang bila salah satunya tidak terpenuhi dengan imbang, maka manusia akan merasakan kekurangan dalam hidupnya, kebutuhan ini sebagai syarat terciptanya homeostatis.
Sedangkan dari sudut filsafat, menurut Toety Heraty Noerhadi, kreativitas memiliki fungsi biologik dan evolusi budaya. Kreativitas berfungsi biologis ketika stimulus yang muncul direspon dengan sikap/gerakan fisik, sampai membentuk restrukturasi. Ini diawali dari “kondisioning klasik’ sebagai tahapan pertama, yang diciptakan Ivan Pavlov dalam merangsang perilaku anjing melalui bunyi bel. Kondisioning klasik ini dilanjutkan oleh B.F. Skinner terhadap tikus-tikus percobaannya, untuk membedakan pintu yang berbagai bentuk dan warna, melalui proses yang disebut dengan conditioning operant. Tahap ketiga dalam hukum stimulus respon ini adalah kondisioning semantik yang sudah melibatkan bahasa dalam pemberian stimulus. Kondisioning semantik ini akhirnya meluas tidak sebatas bahasa saja melainkan juga mencakup simbol2 dan tanda-tanda, Karena manusia adalah makhluk yang sangat mahir dalam membentuk simbol-simbol dan tanda-tanda untuk menyampaikan makna. Simbol-simbol ini terus mengalami perubahan dan pembaharuan sesuai dengan pengertian-pengertian baru yang dipahami manusia mengenai segala hal. Tahapan pembaharuan ini merupakan tahapan yang terakhir yang dinamakan restrukturasi kreatif. Inilah posisi dan fungsi kreativitas tertinggi yaitu: mengganti tatanan lama dengan tatanan baru.
Kreativitas dalam fungsinya sebagai evolusi budaya. Sejak awal, manusia mengandalkan kemampuan berburu hewan dan bertahan hidup di hutan, namun kemudian ada perubahan situasi dimana manusia harus hidup berpindah-pindah dengan kondisi alam yang mungkin sama sekali berlainan dengan tempat hidup sebelumnya. Dalam kondisi seperti ini dituntut penyesuaian diri yang baik, maka manusia mencoba untuk menyesuaikan kemampuan hidupnya dengan tantangan baru, yang kemudian menimbulkan kreativitas dalam bekerja. Proses perubahan dari zaman batu ke zaman logam merupakan bukti dari kreativitas yang berfungsi sebagai evolusi budaya tersebut.
Terkait dengan budaya, Selo Soemardjan mengatakan bahwa, kreativitas selamanya tidak akan pernah berhenti dipengaruhi oleh kondisi budaya yang mengitari tempat kreativitas itu tumbuh. Budayapun memiliki faktor pembentuk yang beragam, ada yang timbul dari nilai-nilai, norma agama, aturan adat suku, tata nilai hukum dan nilai-nilai normative lainnya.
Dari beberapa definisi yang dipaparkan, ada beberapa hal penting yang bisa disarikan dari kreativitas bahwa; 1) Mengarah pada sesuatu yang baru, 2) Merupakan usaha untuk beradaptasi dengan kesulitan atau tuntutan, 3) Membutuhkan entri/pengetahuan yang sudah ada sebelumnya/pengalaman, 4) Kreativitas bisa dipelajari, bukan hadiah dari Tuhan, 5) Lingkungan sangat mempengaruhi kemampuan kreativitas, 6) Kreativitas membutuhkan proses, bukan sesuatu yang langsung jadi dalam sekejap, 7) Kreativitas sebagai tanda kemampuan mengembangkan diri.
Dari pemahaman beberapa definisi ini bisa dimengerti bahwa, kreatifitas bukanlah sesuatu yang given, melainkan harus diupayakan untuk memilikinya, ada proses belajar yang harus dilewati, ada pengetahuan yang harus dikuasai sebagai basic dari kreativitas itu, juga kreativitas membutuhkan kemauan/desire. Terlihat dari uraian Torrance, bahwa kreativitas timbul sebagai usaha memahami dan mengatasi kesenjangan/kesulitan hidup. Demikian pula yang digambarkan Sutan Takdir Alisyahbana, bahwa kreativitas berfungsi ketika manusia bertingkah laku berevolusi, menyesuaikan diri terhadap perubahan alam. Berarti dibutuhkan will dalam membangun kreativitas. Bisa dipahami juga bahwa kreativitas hanya bisa dimiliki oleh mereka yang mempunyai curiosity. Curiosity itu yang menjadi pendorong untuk bisa melakukan sesuatu demi mengatasi kondisi tertentu.
Bila kreativitas bukanlah given by God, berarti keluarga memiliki peranan besar terhadap pertumbuhan jiwa kreativitas anak, seperti dikatakan Drevdahl, karena keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak, maka pengaruh yang datang dari keluarga adalah pengaruh pertama yang akan membentuk/membantu perkembangan anak. Agar pengarahan/pengajaran materi apapun kepada anak bisa berhasil, termasuk didalamnya mengarahkan anak untuk kreatif, haruslah dimulai dari usia dini. Usia dini, seperti yang “dijual” di iklan-iklan, merupakan golden stage si anak, dimana sistem memorynya sangat mudah menerima dan merekam informasi apapun, sehingga materi apapun akan diterimanya dengan baik. Oleh karenanya penting bagi orang tua, keluarga dan pendidik di sekolah untuk benar-benar memahami masa penting anak, apa saja tugas perkembangannya pada masa-masa itu, untuk selanjutnya dapat dengan semaksimal mungkin mencukupi kebutuhan si anak agar seluruh potensinya terbina. Termasuk di dalamnya daya kreativitas anak.
J. P. Guilford menjelaskan dua model cara berfikir: yaitu konvergen dan divergen. Cara berfikir ini terkait dengan teori belahan otak (hemisphere theory), yaitu pembagian kerja/fungsi otak kanan dan otak kiri. Fungsi otak kanan (right hemisphere) berkenaan dengan pekerjaan yang bersifat non linier, non verbal, holistik, humanistis, kreatif, mencipta, mendisain, bahkan terkait magic/ mistik dan sebagainya. Sementara otak kiri (left hemisphere) berfungsi pada pekerjaan yang bersifat ilmiah, kritis, linier, teratur, sistematis, terorganisir, dan sebagainya. Dari pembagian fungsi dan kemampuan kerja otak ini disimpulkan bahwa cara kerja otak kanan lebih divergent, bersifat menyebar. Sedangkan cara kerja otak kiri lebih convergent, bersifat pemusatan fokus/terarah. Konvergen adalah cara berfikir yang biasa mengulas apa yang sering difikirkan orang lain secara kebanyakan. Sementara berfikir divergen adalah kebalikannya, ia memikirkan apa yang jarang difikirkan. Dalam kaitannya dengan daya kreatif maka cara berfikir divergenlah yang dianggap lebih mampu berkreativitas.
Sedangkan jika dilihat dari psikoanalisa, Freud dan para pengikutnya memandang kreativitas adalah sebagai sublimasi dorongan seksual atau libido. Sehingga dimaknai, orang yang memiliki daya kreativitas yang bagus adalah mereka yang mampu memanage tingkat libidonya. Mereka yang memiliki daya kreativitas yang baik, terkadang melakukan tindakan dan mempunyai pemikiran yang acapkali spontas, di luar dugaan orang lain, sehingga kadang tidak bisa dijelaskan dengan nalar ilmiah. Setelah mempelajari daya kreatrivitas dalam sains, Arthur Koestler menyimpukan bahwa, cara berfikir yang kaku dalam penemuan ilmiah adalah terlalu berlebihan, karena daya kreavitas di mata Koestler adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.
Dari cara-cara berfikir orang-orang yang memiliki daya kreativitas, yang lompatan imajinasinya kadang tidak terduga oleh orang lain, dimana ia biasanya meng-ide-kan sesuatu yang tidak terfikirkan oleh orang lain, maka secara inheren kreativitas seperti mengisyaratkan “kejeniusan” dalam pola kerjanya. Pada tahun 1700-an, jenius dipahami sebagai sebuah daya yang tidak bisa dipahami secara ilmiah, dan misterius dalam menghidupkan aspek-aspek insani, sedangkan saat ini, jenius dipahami sebagai kemampuan luar biasa untuk mencapai orisinalitas yang diinginkan atau pada orang yang memberikan kontribusi baru dan berguna bagi kemanusiaan.
Bila ditekankan pada ide ini, yaitu sisi jenius yang berlindung di balik daya kreativitas, akan muncul pemahaman bahwa kreativitas hanya bisa dimiliki oleh orang-orang jenius. Orang yang memiliki tingkat IQ istimewa yaitu sekitar 150-200. Maka ide ini akan bertentangan dengan pemaknaan kreativitas oleh pakar-pakar yang sebelumnya sudah disebutkan, yaitu Torrance, Drevdahl, Barron, Utami dan Rhodes, mungkinpun oleh banyak pakar lain yang tidak disebutkan di sini. Sedangkan para pakar tersebutpun memberikan definisi seperti itu setelah melalui pengujian hipotesa dan serangkaian penelitian dengan metodologi yang sah. Lalu dimana titik temunya?
Psikoterapi menjawabnya dengan menjabarkan dua kondisi yang bersebrangan, yaitu yang mendukung tumbuhnya daya kreativitas, dan kondisi yang menghalanginya, dimana dua kondisi ini dibahas dari segi internal dan eksternal individu.
Kondisi yang mendukung tumbuhnya kreativitas dari segi internal adalah, penerimaan diri pada fenomena baru, mengurangi penolakan diri dan pertahanannya, respon-respon yang tidak biasa, disiplin diri, penghargaan diri yang tidak berlebihan, minat yang luas, penolakan-penolakan hambatan yang datang dari luar, kemampuan untuk membuat penyaluran kapasitas, dan kemampuan untuk berimprovisasi, dan mendramatisir. Sedangkan dari segi eksternalnya, kondisi yang penuh permainan, tidak terlalu kompetitif, tidak rapat dengan penilaian, memberikan motivasi situasional, tidak ada batasan waktu, percaya, bersifat personal, dan berorientasi proses.
Sebaliknya, kondisi yang menghambat tumbuh kembang kreativitas dari segi internal adalah, perhatian berlebihan pada opini yang lain, keterlibatan berlebihan dengan orang lain, penilaian sikap, membekunya tingkah laku menjadi pola-pola yang kaku dan tingginya rasa takut. Dari sisi eksternalnya yang menghambat lajunya kreativitas adalah tekanan sosial untuk menjadi konformis, batasan waktu, penilaian yang terlalu ketat, tekanan penampilan, disiplin yang berlebihan, serta kurangnya apresiasi bahkan hukuman berlebihan yang diberikan terhadap munculnya sikap-sikap atau ide-ide kreatif.
Kubie, di sisi lain dari psikotherapy, membandingkan proses kreatif dengan neurotic/neurose. Baginya, inti dari jiwa yang sehat adalah fleksibilitas dalam berbagai cara vital, sedangkan inti dari sakit adalah menyimpan tingkah laku yang tidak dapat diubah, dan pola-pola yang tidak pernah terpuaskan.
Secara lebih jauh makna dari pemahaman Kubie ini adalah, orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mampu melenturkan pemikirannya dalam menghadapi kesulitan. Penulis mengidentikkan pemahaman ini dengan kemampuan kreativitas yang didefinisikan Torrance. Bahwa, kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk mencari solusi yang tepat ketika berhadapan dengan kesulitan. Apabila saraf melentur, kondisi jiwa bisa fleksibel menghadapi tekanan, maka ia akan –seperti karet- elastis. Dimana elastis tidak mudah putus. Jika disandingkan dengan teori toleransi stres dalam ilmu fisika, bahwa toleransi stres adalah suatu keadaan benda berupa kawat atau tali, yang menahan benda lain di atasnya yang jauh lebih berat. Ketika itu, ia akan melengkung, dan toleransi stres adalah waktu (seberapa lama) kawat melengkung mampu menahan beban berat, sebelum akhirnya putus. Ketika kawat kian melengkung, mungkin pula meregang karena beratnya beban, ini bisa disamakan dengan kondisi seseorang yang sedang menanggung beban mental yang hebat, sehingga mengalami gangguan neurose. Sedangkan bila kawat tidak mampu lagi menahan berat benda, maka kawat akan putus, dengan kata lain, jika saraf tidak mampu lagi menanggulangi dan menampung persoalan, maka saraf akan putus. Pada beberapa orang ini akan berakibat stroke, dan pada sebagian lain ini akan berakhir di psikose, yaitu sakit jiwa.
Jiwa mengalami neurose karena ia tidak mampu merubah persepsinya tentang suatu keadaan yang menyakitinya, tidak mampu mengganti sudut pandang pemikiran terhadap keadaan yang menimpa, dan jiwa yang demikian, menyimpan ketidakpuasan yang sangat tingi terhadap hidup. Itulah yang melatarbelakangi definisi singkat yang dikatakan Kubie, bahwa inti rasa sakit adalah menyimpan tingkah laku yang tidak berubah dan pola-pola yang tidak terpuaskan. Maka sakit yang dipahamkan Kubie disini bukanlah pada wilayah fisik melainkan psikis, yaitu self, mind and soul.
Kembali pada psikoterapi, Lynn Wilcox mengatakan bahwa manusia dan semua yang ada di alam raya ini adalah hasil kreativitas Tuhan. Tidak ada daya manusia sedikitpun untuk bisa berkreativitas selain menggunakan daya yang diberikan oleh Tuhan, dan itu terjadi melalui ketersambungan yang kuat antara manusia dengan Tuhan. Ini sangatlah selaras dengan keyakinan yang diajarkan Islam, bahwa tiada kekuatan kecuali dari Allah yang maha tinggi lagi maha besar. Kekuatan yang dimaksud, adalah kekuatan apa saja, semua jenis kekuatan, baik itu fisik apalagi psikis. Berarti jika manusia ingin menjadi kuat jiwa raganya selain ia harus mengusahakannya dengan kemampuannya, ia harus menjalin koneksi yang intens dengan Tuhannya, karena hanya Tuhannya-lah yang mampu memberikan kekuatan tersebut kepada manusia. Agar manusia memiliki kekuatan untuk berbuat, untuk berkreativitas maka ia harus membuka mata hatinya terhadap Tuhannya, mendekat, sangat mendekat. Demikianlah gambaran yang dipaparkan Wilcox dalam psikoterapinya, bahwa ketersambungan dengan tuhan adalah inti daya untuk berbuat apa saja, inti dari kreativitas.
Jika dari awal, dirunutkan, maka poin-poin penting dari kreativitas semakin bertambah, mulai dari unsur pembelajaran, proses, pengalaman, motivasi lingkungan, adaptasi/respon terhadap permasalahan, pengembangan/aktualisasi diri, sampai pada unsur kejeniusan, bahkan psikotherapy terutama Wilcox memasukkan unsur kedekatan hubungan dengan Tuhan, sebagai pilar penting dari sebuah bangunan kreativitas.
Walaupun demikian, bertambahnya unsur penting yang harus ada dalam penumbuhan kreativitas, tidaklah bersebrangan maknanya satu sama lain. Semua pilar pokok tersebut saling berhubungan erat dan mendukung satu sama lain, bahkan bila satu diantaranya absen, maka kreativitas tidak akan mudah tumbuh dengan baik, sebagaimana penjelasan lebih lanjut.
Perjalanan pembelajaran mengenai segala sesuatu memerlukan proses. Bahkan Allahpun menciptakan alam ini melewati tahapan proses yang bisa diamati dalam al Qur’an. Walaupun dalam ayat lain Allah mengatakan bahwa untuk penciptaan apapun Ia bisa saja hanya dengan mengucapkan “kun/jadi!” maka jadilah apapun yang dikehendakinya (Q.S. Yaasin/36: 82). Namun Allah tetap menciptakan langit dan bumi dalam dua hari (Q.S. Fushshilat/14: 9), yang demikian itu bertujuan untuk menjelaskan pada manusia bahwa penciptaan sesuatu memerlukan proses, walaupun sebenarnya Allah bisa menciptakannya seketika.
Maka dari itu, wajar bila manusia memerlukan proses untuk sampai pada sesuatu, karena manusia tidak memiliki daya Kun fa Yakun seperti Allah. Manusia harus belajar, manusia yang enggan belajar menurut Mahmud Qombar, bagaikan hewan yang bodoh, karena setiap orang biasa pasti memerlukan bimbingan orang lain yang lebih tahu untuk memberinya pengetahuan sehingga dirinya tidak tersesat. Untuk menjadi kreatif membutuhkan sebuah pembelajaran. Karena perubahan tingkah laku yang dicapai seseorang dari tidak bisa menjadi bisa, tidak tahu menjadi tahu, tidak kreatif menjadi kreatif tentunya melewati tahapan-tahapan pembelajaran, sebagai hasil dari proses kognitif yang dilakukan oleh individu atas dasar pengalaman dan interaksi dirinya dengan lingkungan sekitarnya.
Menguasai pengetahuan yang biasa dipelajari orang lain, untuk menjadi “bisa” dalam hal yang biasa buat kebanyakan orang memerlukan proses belajar yang baik dan mencukupi syarat. Apalagi untuk memiliki daya yang “tidak biasa” yaitu kreativitas, seperti dikatakan bahwa kreativitas tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Dalam usaha menjadi kreatif, seseorang memerlukan lingkungan yang kondusif, yaitu lingkungan yang memotivasi. Walaupun individu memiliki minat belajar tinggi, sarana belajar memadai, potensi intelektual menunjang, namun lingkungan tidak mendukung, maka proses pembelajaran untuk menjadi/menguasai apapun tetap mengalami kemandegan, oleh karenanya faktor mileu adalah salah satu pilar penting bagi keberhasilan sebuah proses pembelajaran atau pendidikan apapun.
Ketika individu sudah memulai untuk belajar yang didukung salah satunya dengan lingkungan yang memotivasi, maka sebuah proses pencarian kemampuan telah dimulai. Dalam proses ini, individu akan menemukan pengalaman-pengalaman baru tentang banyak hal. Pengalaman atau pemahaman baru terkadang tidak hanya timbul dari hasil belajar, dapat juga timbul dari usaha adaptasi individu terhadap perubahan, atau merupakan jawaban dari tuntutan masalah yang dialami. Pengalaman demi pengalaman akan membimbing individu untuk mendapatkan pengetahuan yang kian komprehensif tentang segala sesuatu. Proses pembelajaran yang melahirkan pengalaman ini membutuhkan kemampuan intelektual untuk mengurai dan menganalisa pengalaman-pengalaman yang didapatkan sehingga mampu memaknai informasi yang telah didapatkan dengan pemaknaan yang baru dan berbeda, namun tetap berguna. Atau bahkan memberikan sebuah pemahaman baru mengenai sesuatu.
Selain membutuhkan daya kognisi, diperlukan juga kepribadian yang matang, dimana ia dalam berfikir mencoba menemukan sesuatu itu, tidak lagi memikirkan keuntungan dirinya, namun untuk kemaslahatan orang lain. Individu bersedia menggunakan waktu dan kemampuannya semaksimal mungkin, untuk melakukan yang terbaik bagi sesamanya. Ia bersedia mengembangkan dirinya demi kepentingan orang lain. Hanya individu yang sudah memiliki kematangan pribadi yang mampu berlaku demikian. Itulah sebab mengapa Maslow meletakkan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tertinggi dan terpisah dari kebutuhan dasar, karena walau semua manusia membutuhkannya namun tidak semua manusia mampu menggapainya.
Demikianlah untuk memecahkan suatu masalah berat/penting, atau menjawab tuntutan terhadap sesuatu, individu menggunakan kematangan pribadinya dalam mengembangkan diri bagi kepentingan orang lain, pengalaman yang sudah didapatkannya untuk dicombine dengan daya intelektualnya yang tinggi sehingga bisa menemukan sesuatu yang baru, yang bisa disebut solusi. Pada tahap ini, tingkat intelegensi seseorang dituntut untuk terlibat secara maksimal. Itulah yang mendasari terselipnya ide jenius pada daya kreativitas seperti yang disebutkan sebelumnya. Karena untuk mampu memaknai sebuah informasi/fenomena dengan pemahaman yang berbeda, tidak mengikuti pemahaman sebelumnya, bahkan mampu memunculkan sudut pandang yang sebelumnya tidak pernah terfikirkan oleh orang kebanyakan, tentu membutuhkan analisa tinggi dengan tingkat intelegensi yang tidak rendah. Karena informasi ataupun fenomena yang diamati sama dengan yang diamati oleh orang lain, namun terjawantahkan melalui pola fikir yang berbeda sehingga hasilpun berbeda, melampaui batas pemahaman umum, bahkan kadang terlihat “lain”.
Namun begitu, bukan berarti individu yang tingkat intelegensinya sedang kemudian tidak mampu berkreasi atau tidak memiliki daya kreativitas sama sekali, karena seperti sudah dijabarkan bahwa kreativitas bukan given by God, walaupun sumbernya memang dari God/the Source. Karena daya kreativitas bukanlah sesuatu yang dibawa dari lahir laksana DNA. Ianya bisa dipelajari dan diusahakan, walaupun mungkin akan ada perbedaan antara individu yang berintelegensi sangat tinggi dengan yang hanya “tinggi” atau bahkan di bawah itu.
Lalu apa hubungannya kreativitas dengan segala unsur pembangunnya, itu dengan kedekatan kepada Tuhan? Perlu diingat bahwa manusia terlahir dengan fitrahnya masing-masing. Fitrah bisa disandingkan maknanya dengan potensi. Dalam Islam manusia dikenal memiliki potensi untuk belajar. Dalam al Qur’an, manusia kadang disebut dengan istilah nas (bentuk tunggal)/insan (bentuk jamak), Kata insan berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa, dapat dikatakan bahwa kata insan menunjuk suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari adanya kesadaran penalaran Kata insan digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain adalah akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan . Apabila manusia dikatakan bisa berbeda seorang dengan lainnya karena salah satu faktornya adalah kecerdasan, berarti manusia memiliki tingkat intelegensi yang berbeda seorang dengan yang lainnya. Berarti pula manusia memiliki potensi belajar. Walaupun tingkat intelegensi dan kemauan serta kemampuan belajar bukan satu-satunya yang mempengaruhi kecerdasan. Tersirat pula dalam beberapa ayat al Qur’an yang kerap diakhiri dengan kata-kata “apakah kamu tidak berfikir?” “apakah kamu tidak berakal?”. Kata-kata ini menunjukkan bahwa akal dan potensi untuk belajar dan diajar telah diberikan Allah, tetapi manusia kurang memaksimalkannya atau bahkan dinilai Allah tidak memanfaatkannya.
Karena otak sebagai organ berfikir dan akal sebagai kemampuan berfikir adalah pemberian Allah, juga willing untuk belajar juga dianugrahi Allah, maka sudah seharusnya manusia bila ingin memaksimalkan daya kerja otaknya, mendekatkan diri secara lebih kepada Tuhannya. Sebuah ibarat yang umum dalam kenyataan hidup sehari-hari, jika seorang bawahan ingin mendapatkan kenaikan gaji/kenaikan pangkat dari atasan hendaklah ia memperbaiki kinerjanya, memperbaiki etos kerjanya, memperbaiki sifatnya secara personal sebagai bawahan juga dalam relasinya dengan sesama karyawan, apalagi dengan atasan. Karena kenaikan gaji/kenaikan pangkat adalah nilai plus yang belum tentu bisa didapatkan bawahan lainnya. Demikianlah kiranya dengan kreativitas, karena daya kreativitas adalah nilai plus bagi cara kerja akal sebagai kemampuan berfikir, yang tidak semua orang memilikinya sehingga untuk mendapatkannya, hendaklah mengadakan pendekatan yang intens dengan Sang Sumber kreativitas itu sendiri. Dari penjelasan ini sekiranya bisa diketahui titik temu semua pilar-pilar pembangun rumah “kreativitas”.

KREATIVITAS PADA ANAK
Perkembangan kreativitas pada umumnya mengikuti pola-pola yang dapat diramalkan, mulai dari tahap awal perkembangan anak, dunia bermainnya sampai pada tahapan selanjutnya kettika ia dewasa. Karena kreativitas merupakan bagian dari perkembangan kognisi maka kreativitas dapat ditinjau dari perkembangan kognitif, berdasarkan teori kognitif Jean Piaget. Menurutnya ada empat tahapan perkembangan kognitif, yang dalam penjelasan berikut juga akan dijabarkan dari segi perkembangan kreativitasnya, termasuk proses belajar, pengaruh mileu, dan penanaman jiwa keagamaan, yaitu:
1. Tahap sensori motoris
Tahap ini dimulai dari kelahiran sampai usia 2 tahun, dimana anak belajar dan berusaha mencapai kematangan dalam memfungsikan saraf sensori motoris, yaitu saraf yang ada pada tangan, kaki dan seluruh persendian. Mampu berlari, walau tidak kencang adalah target yang seharusnya mampu dicapai anak pada saat umurnya 2 tahun. Pada tahap ini, interaksi anak dengan mileunya masih terpaku sekitar keluarga, terutama keluarga inti, atau orang yang satu rumah dengannya. Interaksi dengan lingkungan lebih berorientasi pada gerakan otot-otot dan saraf motoriknya, ia suka menyentuh dan memegang sesuatu dengan erat, dan lebih cenderung tergantung dari stimulus dari lingkungannya. Apabila orang tua dan keluarga dekatnya sering menstimulasi untuk berjalan maka kemampuan berjalannya akan lebih cepat dikuasai dibandingkan anak yang kurang mendapat stimulasi.
Mengenai kreativitas, piaget menjelaskan pada usia ini, kemampuan berkreasi masih nol, karena semua kegiatannya hanya berorientasi fisik yang bersifat refleksif, karena pandangannya terhadap objek masih belum permanen, mudah dialihkan. Ia belum mengenal konsep ruang dan waktu, konsep tentang dirinya dan hubungan dengan orang lain, sehingga belum mampu menciptakan sesuatu.
Sedangkan untuk penanaman jiwa keagamaan, dalam pandangan Woodworth, bayi telah memiliki insting keagamaan diantara sekian insting yang dimilikinya, hanya saja seluruh indra dan organ berfikirnya belum mencapai kematangan fungsi, sehingga nilai-nilai keagamaan belum mampu ditangkap ataupun dinalarnya. Karena bayi memiliki insting keagamaan, yang memang telah diketahui dalam Islam, bahwa tiap bayi lahir dengan fitrahnya, dan setiap manusia memiliki fitrah atau berpotensi untuk bertuhan dan beragama, Nabi mensunatkan seorang bapak untuk mengazankan putra atau membisikkan iqamat di telinga putrinya ketika lahir. Selanjutnya yang bisa dilakukan orang tua adalah membiasakan anak dengan situasi yang agamis, atau mendengar kata-kata pujian seperti tahmid, tahlil dan sebagainya. Misalnya dibawa berzikir setiap selesai shalat jama’ah. Ketika akan menyuapi anak, ibunya terlebih dahulu membaca do’a mau makan. Ketika anaknya bersin, orang tua yang menyebut kalimat tahmid. Saat akan memandikan, mengenakan baju, menyusui, atau menggendongnya, dahulukan dengan menyebut lafadz basmalah, dan cara-cara lainnya.
2. Tahap pra operasional
Tahap ini berlangsung dari usia 2-7 tahun, disebut juga tahap intuisi karena perkembangan kognisinya memperlihatkan kecendrungan yang ditandai oleh situasi intuitif. Ini disebabkan perbuatannya tidak didasari pertimbangan rasional melainkan didorong oleh perasaan, kecendrungan alamiah, peniruan sikap-sikap yang didapat dari orang yang bermakna, serta lingkungan sekitarnya. Anak bersifat egosentris di usia ini, yang dalam pandangan Kartono, berbentuk naïf. Karena sifatnya itu, ia sering bertentangan bahkan dengan orang tuanya, yang diistilahkan sebagai masa Trotzalter (penentangan) pertama, karena ia lebih belajar untuk mengikuti kemauan dan perasaannya.
Daya kreativitas pada usia ini sudah mulai tumbuh karena anak sudah memiliki memory, mulai memahami keterkaitan ruang dan waktu walaupun secara sederhana, mampu memikirkan masa lalu dan masa datang sesuai kemampuan imajinasi dan kekuatan memory serta daya tangkapnya, meskipun rentang waktu yang diingat dan difikirkannya masih sangat pendek. Selain itu, anak memiliki kemampuan untuk menterjemahkan fenomena alam dan sesuatu yang ada di lingkungannya secara animistik dan antropomorfik. Animistik adalah menjelaskan fenomena alam dengan menggunakan perumpamaan hewan. Sementara antropomorfik adalah menjelaskan fenomena alam dengan perumpamaan manusia. Seperti misalnya ketika seorang gadis kecil say bye kepada bunga-bunga, ia membayangkan bunga tersenyum kepadanya.
Kemampuannya ini akan tumbuh dengan baik bila mileunya mendukung, misalnya orang tua memasukkan anak ke kelompok play group/TK yang berkualitas, dan di rumah keluarga juga rajin memberikan stimulasi dengan memberikan mainan-mainan yang menunjang kreativitas dan meningkatkan daya imajinasi anak, sembari mengamati perkembangan dan arah minat anak. Kemampuan imajinasi pada anak-anak merupakan kemampuan dasar kreativitas. Tanpa adanya imajinasi yang melampaui pemahaman umum, sebuah hal baru akan sulit tercipta, seperti halnya penemuan sepeda, pastilah diawali dari angan-angan untuk bisa berjalan dengan menaiki sesuatu agar bisa lebih cepat sampai di tujuan dibanding dengan berjalan kaki.
Untuk bidang keagamaan, pada usia ini menanamkan agama pada anak bisa dilakukan dengan dongeng, Ernest menyebut masa ini dengan the Fairy Tale Stage. Daya fantasinya yang sangat tinggi bisa dimanfaatkan untuk mengenalkan konsep kekuasaan Tuhan melalui dongeng yang dikarang, walaupun kurang masuk akal.
3. Tahap operasional konkret
Mulai usia 7-11 tahun perkembangan kognitif anak memasuki tahap konkret, karena anak mulai memahami realita yang terjadi di sekitarnya, sehingga ia mulai belajar untuk objektif, egoisnya berkurang, mulai bisa memahami fikiran dan perasaan orang lain, walaupun tidak sepenuhnya.
Mengenai kreativitasnya, pun sudah mulai berkembang, karena daya imajinasinya tetap tinggi sedangkan konsep ruang dan waktu yang ada di fikirannya makin terbentuk dengan sempurna. Sebagai contoh, sebuah lomba menggambar pernah diadakan untuk menghibur anak-anak penghuni penampungan korban Tsunami Aceh yang terjadi tahun 2006. Peserta lomba adalah anak-anak yang masih di usia SD, berarti tidak lebih dari 12 tahun. Dari semua gambar yang masuk, 90% diantaranya adalah gambar air yang menggenang begitu luas, dan gambar rumah atau hanya atap rumah yang hancur terseret arus. Beberapa anak yang kehilangan keluarganya bahkan menggambar ayah dan ibu atau kakaknya dalam posisi tidur, diantara genangan air (seakan terbawa Tsunami). Kesemua itu mengilustrasikan terjadinya Tsunami, padahal lomba diadakan setelah berbulan-bulan pasca Tsunami. Lomba menggambar itu menjadi penyaluran kreativitas mereka, yang didasari oleh pengalaman, dan memory, bahkan tersalurkan juga perasaan mereka walaupun ketika menggambar tidak lagi meneteskan air mata karena kemampuan mereka menyadari realita sudah semakin berkembang.
Mileu tetap memegang peranan penting, dan ini terlihat pada lomba menggambar ini, dimana kreativitas mereka dipengaruhi oleh stimulus yang mereka dapatkan dari kejadian di lingkungan. Dalam usaha membangkitkan jiwa agama anak, di usia ini mulai bisa dikenalkan konsep Tuhan secara lebih mendekati kebenaran seperti yang diajarkan agama. Karena kemampuan akal yang sudah bisa memikirkan realitas, atau the Realistic Stage, dalam istilah Ernest.
4. Tahap operasional formal
Setelah 11 tahun, untuk selanjutnya kemampuan kognisi anak memasuki tahap operasional formal. Kemampuannya berfikir logis hampir menyertai seluruh perbuatannya. Aspek moral dan sensitivitasnya terhadap dunia luar semakin berkembang baik. Ia belajar memisahkan antara rasio dan perasaannya. Walaupun ia tidak selalu berbuat rasional, karena pada masa remaja. Sekitar usia 15-18 tahun, anak akan memasuki masa Strung and Drum, yaitu masa yang penuh dengan kegoncangan, ketidakstabilan emosi, yang kadang mengaburkan pemikiran rasional yang awalnya telah mulai dimiliki.
Untuk sisi kreativitasnya, masa-masa ini merupakan masa yang potensial dan kondusif untuk menumbuhkembangkan kreativitas sampai tingkat yang lebih tinggi. Seiring dengan relasi sosial yang sangat meluas, bukan hanya dekat rumah atau sebatas teman sekolah, namun jauh lebih dari itu, apalagi dengan adanya tekhnologi internet yang menyediakan media seperti friendster, facebook, twitter dan semacamnya yang menstimulasi anak melanglang jauh dari dunia keluarga. Mileu pergaulan anak yang sangat jauh meluas dari sebelumnya akan memberikan banyak pengaruh dan tidak selamanya pengaruh itu negative ataupun positif sifatnya. Dari perkembangan relasi, akan timbul ide-ide baru. Misalnya ide nge-band, atau mencari kerja sampingan di luar sekolah (yang positif) tanpa sepengetahuan orang tua untuk membantu ekonomi keluarga.
Karena pada masa ini, anak sudah mulai mampu memikirkan hal yang abstrak, yang terus berkembang, maka anak sudah bisa memahami nilai agama yang lebih abstrak, seperti nilai-nilai ibadah yang dijelaskan agama, konsep pahala dan dosa, surga dan neraka, serta konsep-konsep abstrak lainnya yang ada di dalam agama. Ernest menyebut masa ini dengan the Individual Stage.
--------------------------------------------------------------------------------------
Demikian penjelasan teori kognisi dan kreativitas Jean Piaget yang disertai analisa dari sisi proses belajar, pengaruh mileu serta pendidikan agamanya. Jika dikembalikan pemikiran kepada unsur-unsur penting kreativitas yang telas disebutkan pada halaman 5 tulisan ini, maka terdapat unsur aktualisasi diri yang dipahamkan Maslow. Tidak adanya unsur ini bukan dikarenakan teori Jean Piaget belum sempurna atau unsur kreativitas yang dipaparkan Maslow. Melainkan karena kemampuan intelegensi anak memang belum sampai ke tahap itu. Bahkan walau agama telah dikenalkan dari bayi, namun tetap belum menemukan bentuknya yang sempurna, baik dari segi pemahaman apalagi pengamalan. Zakiah Darajat mengatakan bahwa kematangan beragama seseorang biasanya dimulai pada usia 24 tahun, baru dimulai, dan masih akan terus berkembang, bergantung kepada banyak faktor yang mempengaruhi, dan tidak ada limit bagi kematangan beragama. Walaupun pada masa anak-anak sudah mengenal konsep Tuhan versi mereka karena diperkenalkan oleh orang tuanya, namun pemahaman utuh dan benar mengenai agama baru tumbuh ketika memasuki masa dewasa awal.
Sejalan dengan kemampuan dan kematangan beragama, maka kematangan pribadi sampai akhirnya mampu mengembangkan diripun, bukan sesuatu yang muncul begitu saja, ia merupakan sesuatu yang muncul perlahan-lahan dan menemukan bentuknya yang sempurna ketika semakin dewasa, itulah sebabnya dalam teori kognisi dan daya kreativitas Jean Piaget yang dilengkapi analisa tentang proses belajar serta pengaruh mileu, tidak menyebutkan perkembangan keagamaan dan kematangan pribadi untuk mengaktualisasikan dirinya.
BEBERAPA LANGKAH MENSTIMULASI KREATIVITAS ANAK
Setelah memahami kemampuan kognisi dan perkembangan daya kreativitas anak dari teori Jean Piaget, berikut dijelaskan sekilas tentang beberapa langkah menstimulasi perkembangan kreativitas anak.
Menstimulasi perkembangan anak bisa melalui cara bercerita, bermain, mendengarkan musik, dan melalui lukisan. Masing-masing cara tersebut memiliki poin-poin penting yang urgen untuk dimengerti oleh orang tua.
1. Melalui cerita. Cerita bisa disampaikan oleh guru di sekolah SD atau TK, dan bisa juga oleh orang tuanya pada waktu senggang, biasanya menjelang tidur malam. Dalam pemberian cerita, oleh siapapun hendaknya memperhatikan hal-hal berikut:
a. Pemilihan cerita yang cocok dengan tingkat intelegensi anak, seperti anak dibawah 7 tahun menyukai cerita tentang hewan, sedangkan usia 11 tahun sudah menyukai cerita tentang superheroes.
b. Ikatan emosional antara anak dengan yang menceritakan. Ini berpengaruh kepada situasi emosional juga terhadap penerimaan jiwanya akan nilai dari cerita yang dibacakan.
c. Efektifitas sarana, seperti penggunaan buku cerita bergambar bagi anak-anak. Karena anak masih menyukai dunia gambar.
d. Kemampuan pencerita, cerita tidak hanya dibacakan kemudian selesai. Pencerita juga memasukkan nilai-nilai positif yang terkandung dalam cerita, dengan perlahan, tidak terburu-buru dan sabar. Memahamkan nilai tidaklah dengan cara yang keras/mengomeli, tetapi dengan cara yang menarik hati, sehingga nilai cerita yang disampaikan bisa teringat dan mempengaruhi tingkah lakunya setelah itu. Pencerita harus pula menguasai intonasi bicara dalam bercerita ditambah mimik yang mendukung situasi yang diceritakan, sehingga membuat anak tertarik, senang mendengarkan cerita sampai selesai.
e. Menghargai dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan anak tentang cerita tersebut dengan sabar, walau terkadang pertanyaan yang dilontarkannya terkesan bodoh. Karena bertanya pada dasarnya buka tanda ketidaktahuan melainkan tanda keingintahuan, karena itu harus diapresiasi, jika tidak akan menumbuhkan perasaan tidak nyaman antara anak dengan pihak yang bercerita
f. Menurut penulis, untuk kian mendekatkannya pada agama, hendaklah ia diceritakan kisah-kisah nabi dalam al Qur’an, atau kisah-kisah orang shalih, atau sahabat nabi. karena banyak nilai moral dalam kisah-kisah itu, nilai-nilai yang akan mereka butuhkan untuk menjadi pribadi yang unggul. Tidak lupa memulai dengan basmalah, dan mengakhiri cerita menjelang tidur dengan hamdalah dan yang paling terakhir, doa menjelang tidur disusul cium sayang orang tuanya.
2. Melalui permainan. Ada banyak permainan di dunia anak, mulai dari permainan tradisional yang dimiliki tiap budaya suku, permainan yang didapatkan dari guru di sekolah mungkin pula yang diajarkan keluarga dan lingkungan, sampai permainan modern yang tersedia di pasaran, seperti mobil-mobilan atau boneka dan semacamnya, di Timezone atau berupa game komputer. Dalam menawarkan permainan atau barang mainan kepada anak, hendaknya orang tua perlu mengetahui:
a. Sisi positif yang didapatkan anak dengan permainan/mainan itu
b. Pengaruh permainan/mainan terhadap tugas belajar yang tentu saja lebih pokok diselesaikan anak
c. Tingkat ketergantungan anak terhadap permainan/mainan tersebut
d. Model permainan yang disukainya dan tingkat kecintaannya pada permainan/mainan tersebut, karena terkadang gejala penyimpangan orientasi seksual sudah muncul pada usia dini, ketika masa-masa bermain, hanya terkadang orang tua kurang mewaspadainya.
e. Menurut penulis, janganlah didekatkan anak pada permainan yang sedikit mengarah kepada judi, atau permainan negative lainnya, seperti main dengan taruhan uang, karena banyak sekali jenis permainan seperti itu saat ini. Pahamkan pada anak nilai negatif yang tersembunyi dalam permainan tersebut.
3. Melalui musik. Telah umum diketahui berdasarkan penelitian yang valid, bahwa alunan musik bisa merangsang fungsi tertentu dalam saraf otak kanan, sesuai teori belahan otak. Musik beralunan lembut seperti Mozart dan Bethoven diyakini bisa menstimulasi pertumbuhan otak bayi bahkan sejak di dalam kandungan, bukan hanya itu, segala jenis musik asal tidak terlalu keras baik untuk perkembangan otak bayi, juga termasuk shalawat Nabi Muhammad SAW yang dialunkan melalui kaset dan diperdengarkan ke perut ibu ketika mengandung, memberikan pengaruh pada peningkatan kecerdasan bayi setelah lahir. Untuk cara dengan musik ini, ada beberapa catatan penting:
a. Sebaiknya musik yang diperdengarkan adalah musik yang tidak keras atau hingar bingar, karena alunan musik yang sering didengar mempengaruhi kondisi jiwa bayi. Itu sebabnya sangat baik meninabobokkan anak dengan melantunkan asmaul husna atau shalawat Nabi, karena kalimat-kalimat indah itu lebih menenangkan jiwa anak dari pada alunan musik biasa, perlu diingat sekali lagi bahwa manusia adalah pancaran dari zat Tuhan, maka ketika ia diingatkan dengan nama Tuhannya, alam bawah sadarnya akan mendengar dan jiwanya menjadi tenang, walau kenyataannya ia masih belum mengerti konsep Tuhan.
b. Bersama anak menyanyikan lagu yang disukainya akan menguatkan tali kasih sayang anak dengan orang tuanya.
c. Arahkan anak untuk menyukai musik yang baik, apalagi dewasa ini anak-anak terkesan lebih cepat tumbuh dewasa daripada seharusnya yang didengarnya musik orang dewasa. Dimana lirik lagu yang dihafalnya adalah kata-kata yang bukan untuk konsumsi anak seusianya
d. Menurut penulis, sebaiknya orang tua mengajak anak menghafalkan asmaul husna dengan mengikuti irama lagunya, yang kini tersedia banyak dalam bentuk kaset dan MP3. Untuk ini, sebaiknya orang tua telah hafal lebih dulu, jikalau tidak, usaha ini akan lebih mudah untuk gagal, karena anak lebih melihat kepada apa yang dilakukan orang tuanya daripada mendengarkan apa yang dikatakan kepadanya.
4. Melalui lukisan. Melukis atau menggambar membangkitkan sisi kecerdasan anak yang lain. Karena melalui lukisan atau gambar ia akan mengembangkan imajinasinya, kemudian melenturkan jari-jarinya untuk membentuk sesuatu yang dikhayalkannya. Berarti saraf motorik jari tangan dan intelegensi terutama saraf pada otak kanan bekerja bersamaan. Ia melanglang buana ke alam imaginatif, menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya mengenai bentuk benda-benda atau tempat-tempat, bahkan lengkap dengan suasana tertentu, misalnya gedung sekolah lengkap dengan lapangan dan bendera merah putih, dengan suasana upacara bendera Senin pagi. Ia berspekulasi dengan nilai-nilai estetika versinya sendiri melalui ekspresi warna, yang mungkin kadang terlihat kacau oleh mata orang dewasa. Namun disitulah ia mereka-reka dan membangun sebuah seni, menuangkan daya kreativitas yang dimiliki, dan di atas semua itu, ia telah berusaha untuk mengekspresikan dirinya dengan cara terbaik menurutnya, dan ia berharap untuk diterima. Berkaitan dengan ini maka sebaiknya orang tua:
a. Memfasilitasi anak untuk menggambar/melukis. Walaupun tidak harus sampai mengikutkannya dalam kursus lukis.
b. Menghargai apapun yang digambarnya, dan memotivasi untuk hasil yang lebih baik. Kalaupun ada yang tidak baik dalam lukisannya tidaklah harus dikasari.
c. Memperhatikan kecendrungan objek gambar anak, karena apa yang digambarnya adalah apa yang dikhayalkannya, dan itu menunjukkan kecendrungan jiwanya
d. Menurut penulis, sebaiknya saat anak menggambar, biasakan ia memulainya dengan basmalah, dan mengakhirinya dengan hamdalah, ketika ia menggambar pemandangan alam, hendaknya diceritakan kepadanya bagaimana kekuasaan Allah dalam menciptakan semua itu. Ketika anak berhasil menggambar sesuatu, apalagi bila gambar tersebut benar-benar bagus, ingatkan anak untuk mensyukuri nikmat Allah yang telah memberikannya kemampuan melukis dengan baik.

PENUTUP
Sedikit ulasan ini sekiranya menggambarkan bahwa penting bagi orang tua untuk membimbing anak dalam menemukan daya kreativitasnya. Karena tiap anak dilahirkan dengan tingkat intelegensi yang berbeda, sehingga orang tua tidak pernah tahu keistimewaan apa yang dimiliki anak apabila tidak distimulasi. Pun karena kreativitas bukan given by God, sehingga mestilah bisa dipelajari.
Walaupun anak memiliki kecendrungan bakat dan minat tertentu, namun hendaknya orang tua tetap mengarahkan anak ke jalan yang benar menurut agama, karena dunia hanya tempat singgah sementara, ada kampung akhirat yang lebih abadi untuk ditinggali, kendatipun demikian manusia tidak boleh melupakan nasibnya di dunia (Q.S. Al Qashash/28: 77). Maka kewajiban orang tua menyiapkan anak untuk memiliki bekal menjadi manusia yang bermutu sesuai dengan kualifikasi mutu yang diminta dunia dan akhirat. Karena jika manusia ingin bahagia dunia akhirat hendaklah ia menguasai ilmu mengenai keduanya.
Sekali lagi, manusia adalah pancaran zat Allah, daya yang dimiliki manusia adalah God’s blessing, maka untuk memiliki nilai plus dari daya yang telah diberikan, selain diusahakan dengan intelegensi, dibantu stimulasi dan motivasi lingkungan, di atas segalanya hendaklah individu membiasakan menjalin komunikasi yang intens dengan Penciptanya. Karena kreativitas bahkan daya apapun adalah bersumber dari the Source. Manusia tersambung dengan Tuhan seperti lampu tersambung dengan pemantiknya. Bila pemantik tidak bersedia mengalirkan energi pada lampu, maka selamanya lampu akan redup.
“Hendaklah manusia membuka diri terhadapNya, berjalan di jalanNya, menyatu denganNya, dan biarkan pola-pola Tuhan mengairi relung jiwa, niscaya akan terbuka segala keindahan, memahami keteraturan alam, untuk kemudian dimulainya ide-ide kreativitas yang berguna bagi umat dunia”




DAFTAR PUSTAKA

Alisyahbana, S. Takdir, (ed.) Kreativitas; Kumpulan Makalah Simposium Kreativitas Akademi Jakarta, Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1983
Arieti, Silvano, Creativity, New York: Basic Books, 1986
Asrori, Mohammad, Mohammad Ali, Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 2005, cet. ke 2
Asy'arie, Musya, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur'an, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992
Barron, R. and R. Woods, An Introduction to Philosophy of Education, London: Methuen, 1982
Bybee R.W. and R.B. Sund, Piaget for Educators, Ohio: Charles E. Merril, 1982
Clark B., Growing Up Gifted, Ohio: A Bell and Howell Information Company, 1983
Darajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970
-------------------, Kesehatan Mental, Jakarta: Penerbit Kwitang, 1996, cet. Ke 23
FJ. Monks, AMP Knoers, Siti Rahayu Haditono, Psikologi perkembangan: pengantar dalam berbagai bidangnya, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004, cet ke-15
http://adesuryana.blogspot.com/2009/02/sejarah-sepeda.html

http://www.bobby-bola.com/info%20ortu.htm, Info Orang Tua.

Hurlock, Elizabeth, Child Development, Mc Graw Hill, 1978, 6th ed
Husni, Dzaatil, Diktat Ajar Psikologi Perkembangan, Untuk internal STAI Darunnajah, Jakarta, 2009
Husni, Dzaatil, Diktat Ajar Psikologi Umum, Untuk internal STAI Darunnajah, Jakarta, 2009
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007
Jung, Carl Gustav, Modern Man in Search of a Soul, New York: Harcourt Brace & World, 1962
Khalli al, Amal Abdussalam, Mengambangkan Kreativitas Anak, (Terj. Hj. Umma Farida Lc.), Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2006
Kartono, Kartini, Psikologi Perkembangan Anak, Jakarta: CV Mandar Maju, 1995 Cet ke-5
Koestler, Arthur, The Act of Creation, New York: Dell, 1984
Kubie, L. Neurotic Distortion of the Creative Process, University of Kansas Press, 1980
Maslow, Abraham, Motivation and Personality New York: Harper, 1945, hal 60
Mc Cormak, A.J. Piagetian Theory and the Development of Creative Thinking, Ohio: Charles E. Merril, 1982
Munandar, Utami, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992
Newman & Newman, Development Through Life: a Psychosocial Approach, Illinois: The Dersey Press, 1979

Noi, Tay Swee and Peter J. Smith, Managing Stress: Guide To Asian Living, Tokyo: Mr. Grow Hill Inc, 1990
Peavy, Vance, Therapy and Creativity: A Dialogue, New York: Basic Books, 1989
Qombar, Mahmud, Dirasat Turatsiyyah fi al-Tarbiyah al-Islamiyah, Qatar: Dar al-Tsaqofah, 1405H/1985M, Jilid. Ke-1,
Shihab, Quraish, Wawasan al-Quran, Mizan, Bandung, 1996
---------, Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), Cet. ke-7,vol. 11
---------, Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), Cet. ke-7,vol. 12
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan; Suatu Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet.II, 1995
Torrance, E. P., The Faces and Forms of Creativity, Buffalo: Creative Educational Foundation, 1981
Wilcox, Lynn, Personality Psychotherapy, (Terj.) Yogyakarta: Ircisod, 2006
Yusuf, Syamsu LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: CV Rosda Karya, 2002 cet. Ke-3

 

miss_dzaa_here Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by faris vio Templates Image by vio's Notez