Rabu, September 30, 2009

MANUSIA DARI PERSPEKTIF AL QUR'AN DAN HADITS

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA
(kajian dan analisa dari sudut pandang al Qur’an, al Hadits,
pemikiran filsafat, sosiologi dan antropologi)

PENDAHULUAN
Manusia adalah pembentuk, pelaku, perubah, penikmat bahkan sekaligus perusak dan penghancur budaya itu sendiri. Dengan segala yang ada pada dirinya, manusia berusaha memenuhi kepentingannya dan mencapai kesejahteraannya. Dari usaha itu timbullah ide-ide, aturan-aturan dan sejalan dengan aturan muncul pula reward and punishment bagi yang mengikuti atau tidak aturan tersebut. Kesemua ini disebut dengan budaya. Pada tulisan ini sedikit akan dijabarkan sosok manusia sebagai makhluk budaya dalam beberapa perspektif, yaitu Al Qur’an dan al Hadits, filsafat, sosiologi dan antropologi.

Manusia dari Perspektif al Qur’an dan al Hadits

laqad khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim...
Menurut Raghib Al Asfahani seorang pakar bahasa al Qur’an, sebagaimana dikutip Quraish Shihab memandang kata taqwim pada ayat ini sebagai isyarat tentang keistimewaan manusia dibandingkan binatang, yaitu akal, pemahaman dan bentuk fisiknya yang tegak lurus. Jadi, kalimat ahsanu taqwim berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin. Berarti sebaik-baik bentuk dalam ayat ini tidak bisa hanya difahami baik dalam bentuk fisik semata, namun juga baik dalam bentuk psikisnya. Allah berbuat demikian karena Allah ingin menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Oleh karenanya Allah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk, sehingga tidak ada satu makhlukpun yang lebih tinggi derajatnya dari manusia. Selayaknya ilmu perakitan komputer, maka Allah telah merakit manusia dengan sistem hardware dan software, lengkap, berkualitas tinggi dan multifungsi. Kesemua perangkat ini bekerja secara sinergis dan dinamis agar manusia bisa menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi.
Al-Qur’an dengan gamblang menjelaskan bahwa manusia telah diserahi “mahligai/singgasana” untuk bertahta yaitu dunia, power untuk berbuat yaitu kekuatan fisik dan psikis, serta sarana dan prasarana yaitu alam semesta termasuk di dalamnya hewan dan tumbuhan, yang bisa digunakan manusia untuk kesejahterannya.
”Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin..” (QS. Luqman/31: 20)
“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (QS. An Nahl/16: 14).
Dalam al-Qur'an, ada tiga kata yang digunakan untuk menunjukkan arti manusia, yaitu kata insan, kata basyar dan kata Bani Adam. Kata insan dalam al-Qur'an dipakai untuk manusia yang tunggal, sama seperti ins. Sedangkan untuk jamaaknya dipakai kata an-nas, unasi, insiya, anasi. Adapun kata basyar dipakai untuk tunggal dan jamak. Kata insan yang berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa, maka dapatlah dikatakan bahwa kata insan menunjuk suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari adanya kesadaran penalaran Kata insan digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain adalah akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan .

Kata insan jika dilihat dari asalnya nasiya yang artinya lupa, menunjuk adanya kaitan dengan kesadaran diri. Untuk itu, apabila manusia lupa terhadap seseuatu hal, disebabkan karena kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Maka dalam kehidupan agama, jika seseorang lupa sesuatu kewajiban yang seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa, karena ia kehilangan kesadaran terhadap kewajiban itu. Tetapi hal ini berbeda dengan seseorang yang sengaja lupa terhadap sesuatu kewajiban. Sedangkan kata insan untuk penyebutan manusia yang terambil dari akar kata al-uns atau anisa yang berarti jinak dan harmonis , karena manusia pada dasarnya dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungannya. Manusia mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup tinggi, untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan sebagai makhluk yang berbudaya, ia tidak liar baik secara sosial maupun alamiah.

Kata basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk baik laki-laki ataupun perempuan, baik satu ataupun banyak. Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang berarti kulit. "Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain". Al-Qur'an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna [dual] untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriyahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyampaikan bahwa "Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu (QS. al-Kahf /18: 110). Di sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai tahapan kedewasaan. Firman allah (QS.al-Rum /3 : 20) "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya [Allah] menciptakan kamu dari tanah, ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran". Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rezki

Penggunaan kata basyar di sini "dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggungjawab. Dan karena itupula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada (perhatikan QS al-Hijr /15: 28), yang menggunakan kata basyar, dan QS. al-Baqarah /2 : 30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitahuan Allah kepada malaikat tentang manusia .
Dijelaskan bahwa manusia dalam pengertian basyar tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan. Sedangkan manusia dalam pengertian insan mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang sepenuhnya tergantung pada kebudayaan, pendidikan, penalaran, kesadaran, dan sikap hidupnya. Untuk itu, pemakaian kedua kata insan dan basyar untuk menyebut manusia mempunyai pengertian yang berbeda. Insan dipakai untuk menunjuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran, sedangkan basyar dipakai untuk menunjukkan pada dimensi alamiahnya, yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, makan, minum dan mati .
Dari pengertian insan dan basyar, manusia merupakan makhluk yang dibekali Allah dengan potensi fisik maupun psikis yang memiliki potensi untuk berkembang. Al-Qur'an berulangkali mengangkat derajat manusia dan berulangkali pula merendahkan derajat manusia. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi dan bahkan para malaikat. Allah juga menetapkan bahwa manusia dijadikan-Nya sebagai makhluk yang paling sempurna keadaannya dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain (Q.S. At Tiin/95: 4). Allah sendirilah yang menciptakan manusia yang proporsional (adil) susunannya (Q.S. Al Infithaar/82: 7).

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk berpribadi, sebagai makhluk yang hidup bersama-sama dengan orang lain, sebagai makhluk yang hidup di tengah-tengah alam dan sebagai makhluk yang diciptakan dan diasuh oleh Allah. Manusia sebagai makhluk berpribadi, mempunyai fungsi terhadap diri pribadinya. Manusia sebagai anggota masyarakat mempunyai fungsi terhadap masyarakat. Manusia sebagai makhluk yang hidup di tengah-tengah alam, berfungsi terhadap alam. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan dan diasuh, berfungsi terhadap yang menciptakan dan yang mengasuhnya. Selain itu manusia sebagai makhluk pribadi terdiri dari kesatuan tiga unsur yaitu : unsur perasaan, unsur akal, dan unsur jasmani .
Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk semi-samawi dan semi duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat-sifat : mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, lagit dan bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan jiwa ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan. Tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan psikis mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya.

Manusia terbagi pada dua unsur, jasmani dan rohani. Unsur jasmani sudahlah jelas, sedangkan unsur rohani ini terbagi pada empat bagian. Empat bagian itu adalah ruh, nafs/jiwa , qalbu/hati , akal/daya fikir .
RUH, sekilas mungkin ruh bisa dipahami sebagai nyawa, karena apabila ruh diambil maka manusia itu dikatakan tidak bernyawa. Namun sesungguhnya ruh tidaklah hanya sebatas nyawa, ketika manusia dicabut nyawanya, seketika itu juga itu fisiknya mati, namun ruh tetaplah hidup. Ia kembali ke hadhirat Illahi, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Lalu apabila dipertanyakan tentang penjelasan ruh, tiada seorangpun bisa menjawabnya, bahkan Nabi Muhammad SAW sekalipun.
”Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah “ruh itu termasuk urusan Tuhanku” dan tidaklah kamu dberi pengetahuan melainkan sedikit” (Q.S. Al Israa/17: 85)

Sedikit mengutip Cak Nur, bahwa manusia menurutnya merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang mengagumkan dan penuh misteri. Dia tersusun dari perpaduan dua unsur ; segenggam tanah bumi, dan ruh Allah, maka siapa yang hanya mengenal aspek tanahnya dan melalaikan aspek tiupan ruh Allah, maka dia tidak akan mengenal lebih jauh hakikat manusia . Selanjutnya, ketika manusia menyadari hakikat penciptaannya maka hendaknya ia sadar apa tugas penciptaannya,
Kembali kepada unsur rohani manusia, setelah ruh maka unsur selanjutnya adalah jiwa/nafs. Jenis-jenis derivat nafsiyah dalam ilmu nafsiologi terdiri dari nafs Ammarah (yang cenderung jahat), nafs Musawwilah (yang menipu diri sendiri, setingkat dengan nafs Ammarah), nafs Lawwamah (nafsu yang bisa mengarah pada kebaikan dan juga kejahatan) dan nafs Muthmainnah (nafsu yang sudah dikendalikan oleh iman hingga tidak mudah mengarah kepada perbuatan tercela) .

Dalam wadah nafs terdapat hati . Hati dan akal bekerja sama dengan jiwa dalam mencapai kebutuhan akan kesejahteraan dan kesenangan hidup. Jiwa adalah pendorong bagi hati dan akal untuk bersinergi mencapai keinginan. Bila suatu keinginan telah diraih, maka jiwa akan segera beralih pada keinginan dan hasrat yang lain. William Stren, mengatakan bahwa manusia adalah Unitas yaitu jiwa dan raga merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan dalam bentuk dan perbuatan. jika jiwa terpisah dari raga, maka sebutan manusia tidak dapat dipakai dalam arti manusia yang hidup. Jika manusia berbuat, bukan hanya raganya saja yang berbuat atau jiwanya saja, melainkan keduanya sekaligus. Secara lahiriyah memang raganya yang berbuat yang tampak melakukan perbuatan, tetapi perbuatan raga ini didorong dan dikendalikan oleh jiwa . Jiwa takkan pernah berhenti melakukan perbuatan apa saja demi mengejar keinginannya sampai benar-benar ada halangan yang membuat suatu keinginan itu tidak mampu teraih.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat difahami manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah dari semua ciptaan-Nya, tetapi hanya manusialah yang paling sempurna, sehingga kepadanya dipercayakan untuk mengelola alam ini. Memang manusia telah dipersiapkan Allah sedemikian rupa, dengan dimensi jasmani dan rohani yang tidak bisa terlepas dari ketergantungan terhadap alam, terutama untuk memenuhi kebutuhan dimensi jasmaninya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah memiliki tanggung jawab dan juga potensi yang sangat besar sebagai khalifah di bumi, namun begitu manusia membutuhkan ikatan yang kuat dengan penciptanya agar hidupnya terarah dan bahagia secara psikologis.

Manusia dari Perspektif Filsafat
Dari segi filsafat, ada dua aliran tentang eksistensi manusia: aliran monoisme dan dualisme .
Monoisme adalah aliran yang berkeyakinan bahwa badan dan jiwa adalah satu kesatuan yang tak mungkin bisa dipisah. Aliran ini memiliki lima teori, 1) materialisme ekstrim: bagi teori ini, badan dan jiwa hanyalah sebuah material. Tidak ada istilah peristiwa mental, karena bagi teori ini kesemuanya itu materi yang berarti berujud fisik. Semua pengalaman mental dapat difisikalisasi. Kalaupun tidak, maka bisa dicarikan sinonimnya dengan benda fisik, 2) Teori identitas, bagi teori ini istilah fisik dan psikis hanyalah sekedar identitas atau nama, namun hakikinya keduanya sama, berari istilah jiwa dan raga itu hanya terbatas pada makna konotasi, sementara makna denotasinya sama yang berujung pada materi juga, 3) Idealisme, Descartes dengan ucapannya yang terkenal: cogito ergo sum (saya berfikir maka Saya ada), dan diteruskan keyakinannya oleh Barkeley, yang mengatakan bahwa objek fisik hanya dapat dimengerti dan dipahami artinya sejauh pertanyaan dapat ditafsirkan sebagai pernyataan mengenai persepsi orang yang menangkapnya. 4) Teori Double Aspect, dalam teori ini yang diyakini oleh Spinoza, mental dan fisik bersumber dari hal yang sama, manusia adalah –seperti yang dicetuskan Descartes- res cognitas (zat yang berfikir), namun juga res extenza (zat yang memiliki keluasan: bentuk), namun baik res cognitas maupun res extenza ini baik secara terpisah ataupun disatukan tetap saja tidak dapat menjelaskan secara utuh siapa dan apa manusia itu. 5) Monoisme Netral, bagi pandangan ini, baik jiwa maupun badan masing-masingnya adalah kumpulan dari unsur-unsur yang sejenis, inilah yang membedakan jiwa dan raga atau badan, yaitu unsur pembentuk, sedangkan asalnya dan kodratnya adalah sama.
Beralih ke aliran dualisme, yang berkeyakinan bahwa mental dan fisik merupakan dua hal yang benar-benar berbeda, bukan hanya makna konotasi atau berbeda dalam unsur pembentuk, namun benar-benar berbeda dalam hal objek, kemampuan dan kodratnya, namun walau berbeda mental dan fisik sangatlah berhubungan satu sama lain. Aliran ini memiliki empat pandangan: 1) Interaksionisme, tesis pandangan ini adalah terkadang peristiwa mental menyebabkan peristiwa badani, dan juga sebaliknya. 2) Occasionalisme, filsuf pada teori ini meyakini bahwa Tuhan menjadi penghubung antara peristiwa fisik dan psikis. Mereka meyakini karena adanya perasaan takut disitulah kesempatan Tuhan untuk membuat tubuh gemetar. 3) Paralelisme, bahwa peristiwa fisik dan psikis adalah dua hal paralel yang memang sudah distel Tuhan seperti itu, contohnya lidah merasakan manis ketika mencicipi gula bukan karena gula memberi rasa manis pada lidah, namun karena Tuhan menciptakan seperti itu, ketika lidah mencicipi gula pastilah akan manis. 4) Epiphenomenalisme, hubungan kausal hanya terjadi pada psikis terhadap fisik dan tidak sebaliknya.
Selain itu pula ada beberapa pendapat filsuf lainnya. Plato diantaranya, menilai manusia sebagai pribadi, tidak terbatas pada bersatunya jiwa dan raga. Bagi Plato, yang dimaksud pribadi manusia itu adalah jiwanya. Badan hanyalah alat yang berguna semasa hidup. Namun selain berguna badan juga memberati jiwa bila jiwa ingin mencapai kesempurnaan. Plato meyakini bahwa jiwa sudah memiliki pre-eksistensi di Dunia Ide, sebelum dipersatukan dengan badan. Thomas Aquinas tidak menyetujui pendapat ini, karena baginya pribadi manusia adalah makhluk individual yang dianugrahi kodrat rasional. Manusia baru menjadi pribadi yang utuh bila badan dan jiwa bersatu, karenanya tidak ada pre-eksistensi jiwa sebelum bertemu badan. Immanuel Kant berfikir bahwa, yang disebut pribadi adalah sesuatu yang sadar akan identitas numeriknya pada waktu yang berbeda-beda.
Lain lagi dengan John Stuart Mill yang beranggapan manusia adalah individual yang memiliki kebebasan mutlak dalam hubungannya dengan masyarakat. Bagi Mill kepentingan individu haruslah diutamakan dari kepentingan masyarakat . Sebaliknya John Dewey berpendapat, bahwa pribadi manusia adalah sosok pribadi yang merupakan wakil dari suatu grup atau kelompok masyarakat. Seorang individu manusia barulah bisa dikatakan pribadi bila ia mengemban dan menampilkan nilai-nilai sosial dari masyarakat tertentu. Bagi Dewey, manusia haruslah bermasyarakat, baru kemudian ia utuh menjadi manusia .

Manusia dari Perspektif Antropologi
Menurut Koentjaraningrat, antropologi adalah “ilmu tentang manusia”. Dalam perkembangannya di Amerika, antropologi dipakai dalam arti yang sangat luas, karena meliputi baik bagian-bagian fisik maupun sosial dari “ilmu tentang manusia”. Pada bahasan selanjutnya akan dikemukakan mengenai manusia dalam pandangan antropologi.
Sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Dalam Antropologi kebudayaan, manusia dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam suatu masyarakat yang majemuk, serta perkembangan dalam teknologinya, dan terutama hal yang mendasar adalah kemampuan nya dalam membentuk kelompok atau dukungan yang satu sama lain serta bentuk pertolongan terhadap sesama yang paling utama. Jadi dengan demikian perbedaan yang amat besar antara manusia dengan makhluk lainnya adalah: A) Sebagian besar dari kelakuannya dikuasai akal B) Kehidupannya di muka bumi hanya mungkin dengan suatu sistem peralatan yang merupakan hasil dari akalnya C) Sebagian besar dari kelakuannya harus dibiasakannya dengan belajar D) Mempunyai bahasa E) Pengetahuannya bersifat akumulatif F) Sistem pembagian kerja dalam masyarakatnya jauh lebih kompleks dari pada dalam masyarakat binatang G) Masyarakatnya menunjukan suatu aneka warna yang besar. Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu .
Menurut antropolog fitrah manusia itu ada tiga macam: mempertahankan hidup (dengan makan minum), melangsungkan hidup (dengan bersuami istri), dan membela hidup (dengan mempersenjatai diri). Dalam al Qur’an, Allah telah berfirman mengenai fitrah manusia, seperti yang dianalisa antropolog di atas, dan dicukupkan pula sarana untuk pencapaian fitrah tersebut:
1. Bahwa Allah SWT telah meng-ada-kan alam ini untuk kebutuhan manusia.
”Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.....” (QS. Al Baqarah : 29)
2. Bahwa Allah telah pula meyediakan sarana untuk melangsungkan hidup.
”Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak & cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS. An Nahl/16 : 72)

3. Bahwa Allah juga memerintahkan manusia untuk melawan demi eksistensinya.

”Dan siaplah kamu untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”
(QS. Al Anfal/8 : 60)

Manusia dari Perspektif Sosiologi
Dari sudut pandang sosiologi, manusia adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Interaksi ini terjadi dari pertama kali manusia diciptakan. Dalam kisah nabi Adam AS, diceritakan betapa nabi Adam merasa kesepian tinggal di surga sendiri, walaupun surga menyediakan semua makanan, minuman yang sangat lezat, suasana pemandangan yang sangat indah. Surga juga diisi dengan bunga-bunga dan burung-burung yang sangat cantik. Namun nabi Adam AS tetap merasa kesepian, karena tidak ada makhluk yang bisa diajaknya berinteraksi dengan caranya sebagai manusia. Allah yang maha mengetahui akhirnya menciptakan Siti Hawa, dan akhirnya nabi Adam AS memiliki teman sekaligus istri, yang bisa diajaknya berkomunikasi hingga tidak merasa kesepian lagi.
Lalu bagaimana proses timbulnya kebudayaan?
Kebudayaan timbul karena adanya kebutuhan manusia. Manusia dalam hidupnya memiliki kebutuhan yang sangat banyak. Sesuai dengan pembagian yang telah disistematisasi oleh Abraham Maslow sebagai piramida hierarki kebutuhan manusia .



Self
actualization


Esteem Needs

Belonging Needs

Safety Needs

Physiological Needs


Empat kebutuhan pertama disebut sebagai deficit needs atau D-needs, maksudnya bila salah satu dari empat kebutuhan itu tidak didapatkan manusia maka ia akan sangat merasakan kekurangan. Keempat kebutuhan ini sebagai kebutuhan yang paling dasar dan memerlukan keseimbangan (homeostatis) satu sama lainnya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan inilah manusia mengadakan interaksi, apakah itu dengan sesama manusia, dengan hewan dan tumbuhan, terlebih lagi dengan alam.
Proses interaksi antara individu akan menyebar menjadi proses interaksi antar kelompok. Karena individu-individu yang memiliki kesamaan akan mengelompokkan diri. Baik pengelompokkan tersebut sebagai bentuk inisiatif para individu tersebut, seperti adanya komunitas pencinta alam, atau pengelompokkan yang diatur oleh orang/pihak/komunitas lain, seperti sistem klasikal di sekolah.
Proses interaksi sosial berlangsung menurut suatu pola, yang sebenarnya berisikan harapan-harapan masyarakat tentang apa yang sepantasnya dilakukan dalam hubungan-hubungan sosial . Proses-proses interaksi tersebut melahirkan kebudayaan. Dalam setiap gerak-geriknya manusia melahirkan kebudayaan. Kebudayaan melingkupi apa yang dilakukan, diwujudkan, dikatakan, dibentuk oleh manusia. Manusia merupakan makhluk sosial, dimana manusia tidak akan pernah bisa hidup sendiri. Akan selalu membutuhkan kehadiran orang lain dalam hidupnya. Itulah sebabnya manusia hidup bermasyarakat, baik dalam masyarakat yang homogen, masyarakat majemuk, maupun masyarakat heterogen . Pendek kata manusia mulai dari awal penciptaannya, iapun telah menciptakan, membutuhkan sekaligus memanage kebudayaan tersebut, baik secara sadar ataupun tidak. Ashley Montagu mengatakan, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan hidupnya.


SEKILAS TENTANG BUDAYA
Lebih lanjut tentang budaya, kata budaya merupakan bentuk majemuk kata budi-daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa. Sebenarnya kata budaya hanya dipakai sebagai singkatan kata kebudayaan, yang berasal dari bahasa Sangsekerta budhayah yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Budaya atau kebudayaan dalam bahasa Belanda di istilahkan dengan kata culturur. Dalam bahasa Inggris culture. Sedangkan dalam bahasa Latin dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam .
Culture didefinisikan pertama kali oleh seorang antropolog E. B. Taylor tahun 1871. Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Perkembangan definisi dilanjutkan oleh Kuntjaraningrat yang mengartikan budaya dengan: keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Ia lebih memerinci lagi pembagian unsur kebudayaan menjadi sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, serta sistem teknologi dan peralatan. Ada dua hal penting yang bisa dipahami dari definisi kedua orang besar ini, yaitu “belajar”. Setiap orang, kelompok, generasi menularkan dan mewariskan nilai-nilai budaya pada orang lain, kelompok dan generasi selanjutnya melalui proses belajar. Inilah yang akhirnya mendasari bahwa: sistem, metode, kurikulum dan materi pendidikan suatu bangsa haruslah merujuk kepada kebudayaan bangsa tersebut. Dalam artian, tetap menerima pembaharuan bilamana dirasa perlu, tetap adaptif dan selektif terhadap materi atau unsur pendidikan yang dialirkan oleh budaya luar, namun tidak menghilangkan unsur-unsur penting budaya yang pada awalnya telah dimiliki bangsa tersebut. Ini berarti materi pendidikan yang berkualitas dan banyak diminati di negara lain belum tentu menjadi urgen di negara Indonesia.
Pada komunitas masyarakat yang heterogen, seperti halnya bangsa Indonesia, kebudayaan yang terbentuk adalah super culture atau kebudayaan induk. Contoh: adanya perundang-undangan Indonesia, sistem peradilan Indonesia. Indonesia terdiri dari berbagai suku. Setiap suku memiliki kebudayaannya sendiri, kebudayaan suku ini agak berbeda namun tidak menyimpang dari kebudayaan induk. Kebudayaan yang seperti ini diistilahkan sebagai sub culture. Yaitu bagian kebudayaan khusus yang ada di dalam kebudayaan induk namun tidak bertentangan dengan kebudayaan induk. Namun juga ada bagian kebudayaan yang bertentangan nilai-nilainya dengan kebudayaan induk, seperti prostitusi, judi dan sebagainya, para sosiolog menyebutnya dengan counter culture.
Dalam dunia profesi juga terdapat kebudayaan induk atau culture. Pada profesi hukum, terdapat kebudayaan induk para aparat hukum, ini disebut culture. Dunia aparat hukum terbagi menjadi polisi, hakim, jaksa, pengacara, petugas Lembaga Pemasyarakatan yang masing-masing memiliki kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan induk namun tidak bertentangan, disebut sub culture dunia hukum. Dari masing-masing bagian tersebut kadang ada sub culture yang negatif, misalnya budaya suap menyuap pengacara pada hakim, jaksa yang berpihak pada yang salah karena kepentingan pribadi, petugas LP yang menerima suap dari keluarga napi dan sebagainya, ini disebut counter culture dunia hukum. Ini juga berlaku pada dunia pendidikan, dunia medis, dan sebagainya.
Dalam perkembangan kehidupan manusia, akan selalu ada culture pada setiap ”dunia” tertentu, yang pasti memiliki sub culture dan juga counter culture. Misalkan dunia perusahaan yang berorientasi materi, beda culture, sub culture bahkan juga counter culturenya dunia pendidikan yang berorientasi ilmu dan moral, beda pula dengan culture dunia seni yang berorientasi nilai estetika, lebih berbeda lagi dengan culture dunia religi, yang berorientasi ketuhanan dengan ajaran dan kepercayaan tertentu. Komunitas remaja memiliki culture, sub culture dan counter culture yang berbeda dengan orang dewasa dan anak-anak. Begitulah seterusnya. Dalam setiap komunitas dan pranata akan selalu ada peluang dan orang yang menimbulkan atau mensosialisasikan counter culture. Peluang ini tidak akan pernah bisa dibasmi secara tuntas, manusia hanya mampu mengurangi dan mengantisipasinya saja.
Tiga unsur yang terpenting budaya dalam pembentukan hasil kebudayaan adalah sistem pengetahuan, nilai, dan pandangan hidup.
1. Sistem Pengetahuan
Para ahli menyadari bahwa masing-masing suku bangsa di dunia memiliki sistem pengetahuan tentang: alam sekitar, alam flora dan fauna, zat-zat, manusia, sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia, ruang dan waktu. Unsur-usur dalam pengetahuan inilah yang sebenarnya menjadi materi pokok dalam dunia pendidikan di seluruh dunia.
2. Nilai
Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Keputusan nilai dapat menentukan sesuatu berguna atau tidak berguna, benar atau salah, baik atau buruk, religius atau sekuler, sehubungan dengan cipta, rasa dan karsa manusia. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetis), baik (nilai moral atau etis), religius (nilai agama).
Pengaruh sistem nilai terhadap kehidupan individu karena nilai sebagai suatu realitas yang abstrak dirasakan sebagai daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup. Dalam realitasnya nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola berfikir, dan pola bersikap. Nilai adalah daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada tingkah laku seseorang. Oleh karenanya nilai menjadi penting dalam kehidupan seseorang, sehingga tidak jarang pada tingkat tertentu orang tidak segan untuk mengorbankan hidup demi mempertahankan nilai yang dianut.
Menurut Allport, Vernon dan Lindzey, ada enam nilai dasar yang dibawa manusia dalam proses berbudaya: 1) nilai teori : hakikat penemuan kebenaran lewat berbagai metode seperti rasionalisme, empirisme dan metode ilmiah, 2) nilai ekonomi, mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia, 3) nilai estetika, berkaitan dengan keindahan rupa dan warna, bentuk sesuatu, juga mencakup sense of harmony manusia terhadap sesuatu, 4) nilai sosial, berorientasi kepada hubungan antar manusia yang lebih ditekankan pada segi perikemanusiaan, 5) nilai politik, berkenaan dengan unsur kekuasaan dan pengaruh dalam kelompok atau terhadap kelompok lain, 6) nilai agama, mencakup penghayatan yang bersifat mistik dan transedental dalam usaha manusia memberi arti kehadirannya di bumi. Mengamati nilai ke enam, yaitu nilai agama, bisa disimpulkan bahwa, oleh Allport dan temannya ini agama (dalam makna ritual) merupakan produk kebudayaan, karena awalnya didorong oleh pemaknaan nilai agama itu sendiri. Senada dengan itu Hendro Puspito menganalisa bahwa agama suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan yang non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri dan masyarakat pada umumnya.
3. Pandangan Hidup
Pandangan hidup adalah suatu nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat dan dipilih secara selektif oleh individu, kelompok atau suatu bangsa. Pandangan hidup suatu bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya, dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.
Ketiga unsur ini, sistem pengetahuan, nilai dan pandangan hidup telah dimiliki manusia sejak dahulu kala, sesuai dengan keadaan dan peri kehidupan manusia pada masing-masing zaman. Ketiga unsur ini menyatu dalam pola fikir dan tingkah laku, bahasa dan juga sikap manusia terhadap dirinya, sesamanya, hewan, tumbuhan dan alam secara universal, dalam membentuk kebudayaan.

BEBERAPA HASIL KEBUDAYAAN
BAHASA
Alat interaksi yang pertama digunakan manusia adalah bahasa. Bahasa adalah sebuah sistem simbol-simbol yang dibunyikan dengan suara (vokal) dan ditangkap dengan telinga (auditory). Ralp Linton mengatakan salah satu sebab paling penting dalam memperlambangkan budaya sampai mencapai ke tingkat seperti sekarang ini adalah pemakaian bahasa. Bahasa berfungsi sebagai alat berpikir dan berkomunikasi. Tanpa kemampuan berpikir dan berkomunikasi budaya tidak akan ada. Selain itu, menurut guru besar sosiologi Soerjono Soekamto, bahasa digunakan manusia bukan hanya untuk menyampaikan maksud, melainkan juga menambah wawasan, mempengaruhi bahkan memaksa orang lain untuk mewujudkan keinginan . Bahasa adalah sarana yang netral, karenanya ia bisa digunakan untuk hal yang positif juga negatif.
Macam bahasa juga berbeda sesuai dengan kelompok culture atau sub culture yang membentuknya. Bahasa Sunda berbeda dengan bahasa Jawa. Suku Sunda pun bisa dianggap culture terhadap anak-anak suku Sunda, karena ada perbedaan budaya suku Sunda di Bandung dengan suku Sunda di Karawang atau Bogor. Oleh karenanya bahasa Sunda orang Bogor berbeda sedikit dengan logat dan materi bahasa orang Bandung. Begitu pula Jawa, ada perbedaan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bahkan sesama Jawa Timur atau sesama Jawa Tengahpun ada perbedaan.
Bahasa juga dibentuk oleh dunia profesi. Ini disebabkan dalam keseharian, setiap komunitas menghadapi berbagai gejala, fenomena dan peristiwa. Sekelompok orang atau komunitas tersebut perlu berinterpretasi terhadap apa yang dihadapi, dan memerlukan suatu istilah yang disepakati bersama oleh komunitas tersebut atau oleh komunitas lain yang sealiran untuk mempermudah komunikasi antar mereka. Dari sinilah terbentuknya bahasa melalui profesi. Bahasa dunia hukum mestilah berbeda dengan bahasa orang medis, bahasa orang agamis pasti bertolak belakang dengan kaum premanis. Istilah, julukan atau sebutan yang populer di kalangan remaja kemungkinan besar tidak ditemukan pada komunitas orang dewasa atau lanjut usia.

MITOS dan RELIGI
Telah diketahui bahwa di zaman purbakala, agama yang ada hanyalah berupa kepercayaan animisme dan dinamisme. Ini dimulai dari perasaan dan pemikiran manusia yang meyakini adanya kekuatan yang jauh lebih besar dari mereka, yang mampu melindungi dan menolong mereka, namun sekaligus mampu menghancurkan mereka apabila mereka melakukan kesalahan. Hingga akhirnya timbullah budaya menyembah pepohonan, matahari, api atau percaya pada kekuatan roh, benda antik dan sebagainya.
Mitos dan agama merupakan hasil budaya (ada juga ahli yang menyebutnya sebagai gejala budaya) yang paling rumit didekati dengan analisis logis. Namun, kenyataannya, manusia zaman purbakala melakukan keberlangsungan hidupnya dengan berpegang teguh pada mitos dan religi versi mereka di zaman itu. Mitos begitu kuat melingkupi pemikiran mereka. Misalkan pada suku asli Australia, Aborigin, ketika salah satu anggota suku ada yang meninggal, mereka tidak menganggap itu sudah semestinya atau suatu kebetulan, melainkan kematian tersebut pastilah karena gangguan roh jahat yang tidak ada “penawarnya”, guna-guna pihak lain, atau karena melawan kekuatan supra natural yang mereka segani . Sehingga berlandaskan mindset mereka yang seperti itu maka timbullah pemujaan-pemujaan, ritual-ritual, yang mereka maksudkan agar roh jahat atau kesialan tidak menghampiri. Juga timbullah pantangan-pantangan dalam hidup keseharian yang begitu ditaati dan dijaga oleh anggota dan kepala suku.

HUKUM
Tidak selamanya manusia berperilaku atau melakukan cara-cara yang baik untuk mencapai tujuan, terkadang ia mengambil jalan pintas. Counter culture sudah ada sejak zaman Nabi adam AS, dengan adanya pembunuhan pertama dalam sejarah manusia, yang dilakukan Qabil terhadap saudaranya Habil. Untuk itulah kemudian diperlukan sebuah sistem hukum. Agar manusia berjalan sesuai dengan norma yang ditentukan oleh komunitasnya, agar tidak terjadi benturan dengan sesamanya. Setiap hukum suatu bangsa akan berbeda dengan bangsa lain, karena pembentukan hukum dilandaskan kepada ideologi, pandangan hidup, nilai-nilai, kondisi sosial dan psikologis bangsa tersebut yang tentu saja berbeda dengan bangsa lain .


PENUTUP

Dari semua yang dibutuhkan, diusahakan, disikapi, dikatakan, dibentuk, atau bahkan dihancurkan oleh manusia akan menimbulkan kebudayaan. Dari kebutuhan berbicara lahirlah budaya, bahasa isyarat, huruf dan simbol-simbol. Dari kebutuhan sandang muncul benang, alat jahit, sepatu, tas, topi, bahkan sampai industri fashion. Dari kebutuhan pangan lahir resep makanan, perkakas dapur, tehnologi pertanian, sampai kepada budaya barter barang-barang kebutuhan yang kelanjutannya melahirkan ilmu ekonomi dan administrasi Dari kebutuhan papan muncul seni arsitektur, interior dan eksterior. Dari kebutuhan jiwa muncul mitos dan religi, Dari kebutuhan sosialnya lahir hukum dan perudang-undangan, nilai etika dan moral. Dari kebutuhan akal mucul kurikulum, dan sekolah.
Dari kebutuhan egonya tercipta perhiasan-perhiasan, pernak-pernik yang menentunkan kelas sosial pemakainya. Dari kebutuhan akan kesehatan badannya lahir ilmu medis dan pengobatan tradisional, sampai gerakan/jenis olahraga. Dari kebutuhan terhadap alat-alat muncul tehnologi perkayuan, permesinan, dari kebutuhan untuk mempertahankan eksistensinya di dunia lahirlah budaya riset untuk menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi kelangsungan umat manusia di muka bumi. Intinya, budaya lahir dari kebutuhan manusia.




DAFTAR PUSTAKA

’Abd Al Baqĩ’, Muhammad Fuad, Al Mu’jãm Mufahrâs Li Alfâdz Al Qur’ãn Al Karĩm, Al Qahirah: Daar Al Hadis, 1999

Allport, Gordon W., Philip E. Vernon, dan Gardner Lindzey, Studies of Values, Boston: Houghton-Mifflin, 1951

Asy'arie, Musya, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur'an, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992

Basyir, Ahmad Azhar, Falsafah Ibadah dalam Islam, Yogyakarta: UII Press, 1984

Cassirer, Ernst, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia, (Terj.) Jakarta: PT. Gramedia, 1990, Cet. Ke 2

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997

Dewey, John, Individuals Old and New, New York: Capricorn Books, 1962

Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994 Cet ke 2.

Hadi, Hardono, Jati diri Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1996

Hardoko, Dick, Citra Manusia, dalam Ilmu Budaya Dasar: Buku Pegangan Ajar, (Jakarta: UI Press,1995
Kaswardi, EM. K., Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Jakarta: PT. Gramedia, 1993

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalis, dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993
---------------------, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Jambatan, 1975

Maslow, Abraham, Motivation and Personality New York: Harper, 1945

Mill, John Stuart, On Liberty, Indianapolis: Hackett Publishing Company Inc., 1978

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000

Montagu, Ashley, Man: His First Million Years, New York: Mentor, 1961

Mubarok, Ahmad, Jiwa Dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, cet. ke 1,.

Muhasibi, Abdillah al, Hidup Tanpa Derita, “Kiat praktis dan Jitu Menata Kinerja Hati dan Akal, Jakarta: Penerbit Hikmah, 2006

Najati, Muhammad Usman, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Pustaka Hidayah: Bandung, 2002

Nawawi, Rif'at Syauqi, Konsep Manusia Menurut al-Qur'an, dalam Rendra K (Penyunting), Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Ndraha, Taliziduhu, Budaya Organisasi, Jakarta: Rineka Cipta, 2003

Puspito, Hendro, O.C., Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1998

Shihab, Quraish M, Tafsir Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), Cet. ke-7
----------, Wawasan al-Quran, Mizan, Bandung, 1996

Sitompul, A.A., Manusia dan Budaya, Jakarta: Gunung Mulia, 1993

Soekanto, Soerjono, Memperkenalkan Sosiologi, Jakarta: CV. Rajawali, 1985

Sukanto, Nafsiologi: Suatu Pendekatan Alternatif dari Psikologi, Jakarta: Integrita Press,1985
Sukirin, Pokok-pokok Psikologi Pendidikan, FIP-IKIP, Yogyakarta, 1981

Suparlan, Parsudi, Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1995)

Taylor, E. B., Primitive Culture, London: John Murray, 1871

Rabu, September 30, 2009

MANUSIA DARI PERSPEKTIF AL QUR'AN DAN HADITS

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA
(kajian dan analisa dari sudut pandang al Qur’an, al Hadits,
pemikiran filsafat, sosiologi dan antropologi)

PENDAHULUAN
Manusia adalah pembentuk, pelaku, perubah, penikmat bahkan sekaligus perusak dan penghancur budaya itu sendiri. Dengan segala yang ada pada dirinya, manusia berusaha memenuhi kepentingannya dan mencapai kesejahteraannya. Dari usaha itu timbullah ide-ide, aturan-aturan dan sejalan dengan aturan muncul pula reward and punishment bagi yang mengikuti atau tidak aturan tersebut. Kesemua ini disebut dengan budaya. Pada tulisan ini sedikit akan dijabarkan sosok manusia sebagai makhluk budaya dalam beberapa perspektif, yaitu Al Qur’an dan al Hadits, filsafat, sosiologi dan antropologi.

Manusia dari Perspektif al Qur’an dan al Hadits

laqad khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim...
Menurut Raghib Al Asfahani seorang pakar bahasa al Qur’an, sebagaimana dikutip Quraish Shihab memandang kata taqwim pada ayat ini sebagai isyarat tentang keistimewaan manusia dibandingkan binatang, yaitu akal, pemahaman dan bentuk fisiknya yang tegak lurus. Jadi, kalimat ahsanu taqwim berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin. Berarti sebaik-baik bentuk dalam ayat ini tidak bisa hanya difahami baik dalam bentuk fisik semata, namun juga baik dalam bentuk psikisnya. Allah berbuat demikian karena Allah ingin menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Oleh karenanya Allah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk, sehingga tidak ada satu makhlukpun yang lebih tinggi derajatnya dari manusia. Selayaknya ilmu perakitan komputer, maka Allah telah merakit manusia dengan sistem hardware dan software, lengkap, berkualitas tinggi dan multifungsi. Kesemua perangkat ini bekerja secara sinergis dan dinamis agar manusia bisa menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi.
Al-Qur’an dengan gamblang menjelaskan bahwa manusia telah diserahi “mahligai/singgasana” untuk bertahta yaitu dunia, power untuk berbuat yaitu kekuatan fisik dan psikis, serta sarana dan prasarana yaitu alam semesta termasuk di dalamnya hewan dan tumbuhan, yang bisa digunakan manusia untuk kesejahterannya.
”Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin..” (QS. Luqman/31: 20)
“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (QS. An Nahl/16: 14).
Dalam al-Qur'an, ada tiga kata yang digunakan untuk menunjukkan arti manusia, yaitu kata insan, kata basyar dan kata Bani Adam. Kata insan dalam al-Qur'an dipakai untuk manusia yang tunggal, sama seperti ins. Sedangkan untuk jamaaknya dipakai kata an-nas, unasi, insiya, anasi. Adapun kata basyar dipakai untuk tunggal dan jamak. Kata insan yang berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa, maka dapatlah dikatakan bahwa kata insan menunjuk suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari adanya kesadaran penalaran Kata insan digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain adalah akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan .

Kata insan jika dilihat dari asalnya nasiya yang artinya lupa, menunjuk adanya kaitan dengan kesadaran diri. Untuk itu, apabila manusia lupa terhadap seseuatu hal, disebabkan karena kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Maka dalam kehidupan agama, jika seseorang lupa sesuatu kewajiban yang seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa, karena ia kehilangan kesadaran terhadap kewajiban itu. Tetapi hal ini berbeda dengan seseorang yang sengaja lupa terhadap sesuatu kewajiban. Sedangkan kata insan untuk penyebutan manusia yang terambil dari akar kata al-uns atau anisa yang berarti jinak dan harmonis , karena manusia pada dasarnya dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungannya. Manusia mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup tinggi, untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan sebagai makhluk yang berbudaya, ia tidak liar baik secara sosial maupun alamiah.

Kata basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk baik laki-laki ataupun perempuan, baik satu ataupun banyak. Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang berarti kulit. "Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain". Al-Qur'an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna [dual] untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriyahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyampaikan bahwa "Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu (QS. al-Kahf /18: 110). Di sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai tahapan kedewasaan. Firman allah (QS.al-Rum /3 : 20) "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya [Allah] menciptakan kamu dari tanah, ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran". Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rezki

Penggunaan kata basyar di sini "dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggungjawab. Dan karena itupula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada (perhatikan QS al-Hijr /15: 28), yang menggunakan kata basyar, dan QS. al-Baqarah /2 : 30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitahuan Allah kepada malaikat tentang manusia .
Dijelaskan bahwa manusia dalam pengertian basyar tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan. Sedangkan manusia dalam pengertian insan mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang sepenuhnya tergantung pada kebudayaan, pendidikan, penalaran, kesadaran, dan sikap hidupnya. Untuk itu, pemakaian kedua kata insan dan basyar untuk menyebut manusia mempunyai pengertian yang berbeda. Insan dipakai untuk menunjuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran, sedangkan basyar dipakai untuk menunjukkan pada dimensi alamiahnya, yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, makan, minum dan mati .
Dari pengertian insan dan basyar, manusia merupakan makhluk yang dibekali Allah dengan potensi fisik maupun psikis yang memiliki potensi untuk berkembang. Al-Qur'an berulangkali mengangkat derajat manusia dan berulangkali pula merendahkan derajat manusia. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi dan bahkan para malaikat. Allah juga menetapkan bahwa manusia dijadikan-Nya sebagai makhluk yang paling sempurna keadaannya dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain (Q.S. At Tiin/95: 4). Allah sendirilah yang menciptakan manusia yang proporsional (adil) susunannya (Q.S. Al Infithaar/82: 7).

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk berpribadi, sebagai makhluk yang hidup bersama-sama dengan orang lain, sebagai makhluk yang hidup di tengah-tengah alam dan sebagai makhluk yang diciptakan dan diasuh oleh Allah. Manusia sebagai makhluk berpribadi, mempunyai fungsi terhadap diri pribadinya. Manusia sebagai anggota masyarakat mempunyai fungsi terhadap masyarakat. Manusia sebagai makhluk yang hidup di tengah-tengah alam, berfungsi terhadap alam. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan dan diasuh, berfungsi terhadap yang menciptakan dan yang mengasuhnya. Selain itu manusia sebagai makhluk pribadi terdiri dari kesatuan tiga unsur yaitu : unsur perasaan, unsur akal, dan unsur jasmani .
Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk semi-samawi dan semi duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat-sifat : mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, lagit dan bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan jiwa ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan. Tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan psikis mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya.

Manusia terbagi pada dua unsur, jasmani dan rohani. Unsur jasmani sudahlah jelas, sedangkan unsur rohani ini terbagi pada empat bagian. Empat bagian itu adalah ruh, nafs/jiwa , qalbu/hati , akal/daya fikir .
RUH, sekilas mungkin ruh bisa dipahami sebagai nyawa, karena apabila ruh diambil maka manusia itu dikatakan tidak bernyawa. Namun sesungguhnya ruh tidaklah hanya sebatas nyawa, ketika manusia dicabut nyawanya, seketika itu juga itu fisiknya mati, namun ruh tetaplah hidup. Ia kembali ke hadhirat Illahi, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Lalu apabila dipertanyakan tentang penjelasan ruh, tiada seorangpun bisa menjawabnya, bahkan Nabi Muhammad SAW sekalipun.
”Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah “ruh itu termasuk urusan Tuhanku” dan tidaklah kamu dberi pengetahuan melainkan sedikit” (Q.S. Al Israa/17: 85)

Sedikit mengutip Cak Nur, bahwa manusia menurutnya merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang mengagumkan dan penuh misteri. Dia tersusun dari perpaduan dua unsur ; segenggam tanah bumi, dan ruh Allah, maka siapa yang hanya mengenal aspek tanahnya dan melalaikan aspek tiupan ruh Allah, maka dia tidak akan mengenal lebih jauh hakikat manusia . Selanjutnya, ketika manusia menyadari hakikat penciptaannya maka hendaknya ia sadar apa tugas penciptaannya,
Kembali kepada unsur rohani manusia, setelah ruh maka unsur selanjutnya adalah jiwa/nafs. Jenis-jenis derivat nafsiyah dalam ilmu nafsiologi terdiri dari nafs Ammarah (yang cenderung jahat), nafs Musawwilah (yang menipu diri sendiri, setingkat dengan nafs Ammarah), nafs Lawwamah (nafsu yang bisa mengarah pada kebaikan dan juga kejahatan) dan nafs Muthmainnah (nafsu yang sudah dikendalikan oleh iman hingga tidak mudah mengarah kepada perbuatan tercela) .

Dalam wadah nafs terdapat hati . Hati dan akal bekerja sama dengan jiwa dalam mencapai kebutuhan akan kesejahteraan dan kesenangan hidup. Jiwa adalah pendorong bagi hati dan akal untuk bersinergi mencapai keinginan. Bila suatu keinginan telah diraih, maka jiwa akan segera beralih pada keinginan dan hasrat yang lain. William Stren, mengatakan bahwa manusia adalah Unitas yaitu jiwa dan raga merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan dalam bentuk dan perbuatan. jika jiwa terpisah dari raga, maka sebutan manusia tidak dapat dipakai dalam arti manusia yang hidup. Jika manusia berbuat, bukan hanya raganya saja yang berbuat atau jiwanya saja, melainkan keduanya sekaligus. Secara lahiriyah memang raganya yang berbuat yang tampak melakukan perbuatan, tetapi perbuatan raga ini didorong dan dikendalikan oleh jiwa . Jiwa takkan pernah berhenti melakukan perbuatan apa saja demi mengejar keinginannya sampai benar-benar ada halangan yang membuat suatu keinginan itu tidak mampu teraih.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat difahami manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah dari semua ciptaan-Nya, tetapi hanya manusialah yang paling sempurna, sehingga kepadanya dipercayakan untuk mengelola alam ini. Memang manusia telah dipersiapkan Allah sedemikian rupa, dengan dimensi jasmani dan rohani yang tidak bisa terlepas dari ketergantungan terhadap alam, terutama untuk memenuhi kebutuhan dimensi jasmaninya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah memiliki tanggung jawab dan juga potensi yang sangat besar sebagai khalifah di bumi, namun begitu manusia membutuhkan ikatan yang kuat dengan penciptanya agar hidupnya terarah dan bahagia secara psikologis.

Manusia dari Perspektif Filsafat
Dari segi filsafat, ada dua aliran tentang eksistensi manusia: aliran monoisme dan dualisme .
Monoisme adalah aliran yang berkeyakinan bahwa badan dan jiwa adalah satu kesatuan yang tak mungkin bisa dipisah. Aliran ini memiliki lima teori, 1) materialisme ekstrim: bagi teori ini, badan dan jiwa hanyalah sebuah material. Tidak ada istilah peristiwa mental, karena bagi teori ini kesemuanya itu materi yang berarti berujud fisik. Semua pengalaman mental dapat difisikalisasi. Kalaupun tidak, maka bisa dicarikan sinonimnya dengan benda fisik, 2) Teori identitas, bagi teori ini istilah fisik dan psikis hanyalah sekedar identitas atau nama, namun hakikinya keduanya sama, berari istilah jiwa dan raga itu hanya terbatas pada makna konotasi, sementara makna denotasinya sama yang berujung pada materi juga, 3) Idealisme, Descartes dengan ucapannya yang terkenal: cogito ergo sum (saya berfikir maka Saya ada), dan diteruskan keyakinannya oleh Barkeley, yang mengatakan bahwa objek fisik hanya dapat dimengerti dan dipahami artinya sejauh pertanyaan dapat ditafsirkan sebagai pernyataan mengenai persepsi orang yang menangkapnya. 4) Teori Double Aspect, dalam teori ini yang diyakini oleh Spinoza, mental dan fisik bersumber dari hal yang sama, manusia adalah –seperti yang dicetuskan Descartes- res cognitas (zat yang berfikir), namun juga res extenza (zat yang memiliki keluasan: bentuk), namun baik res cognitas maupun res extenza ini baik secara terpisah ataupun disatukan tetap saja tidak dapat menjelaskan secara utuh siapa dan apa manusia itu. 5) Monoisme Netral, bagi pandangan ini, baik jiwa maupun badan masing-masingnya adalah kumpulan dari unsur-unsur yang sejenis, inilah yang membedakan jiwa dan raga atau badan, yaitu unsur pembentuk, sedangkan asalnya dan kodratnya adalah sama.
Beralih ke aliran dualisme, yang berkeyakinan bahwa mental dan fisik merupakan dua hal yang benar-benar berbeda, bukan hanya makna konotasi atau berbeda dalam unsur pembentuk, namun benar-benar berbeda dalam hal objek, kemampuan dan kodratnya, namun walau berbeda mental dan fisik sangatlah berhubungan satu sama lain. Aliran ini memiliki empat pandangan: 1) Interaksionisme, tesis pandangan ini adalah terkadang peristiwa mental menyebabkan peristiwa badani, dan juga sebaliknya. 2) Occasionalisme, filsuf pada teori ini meyakini bahwa Tuhan menjadi penghubung antara peristiwa fisik dan psikis. Mereka meyakini karena adanya perasaan takut disitulah kesempatan Tuhan untuk membuat tubuh gemetar. 3) Paralelisme, bahwa peristiwa fisik dan psikis adalah dua hal paralel yang memang sudah distel Tuhan seperti itu, contohnya lidah merasakan manis ketika mencicipi gula bukan karena gula memberi rasa manis pada lidah, namun karena Tuhan menciptakan seperti itu, ketika lidah mencicipi gula pastilah akan manis. 4) Epiphenomenalisme, hubungan kausal hanya terjadi pada psikis terhadap fisik dan tidak sebaliknya.
Selain itu pula ada beberapa pendapat filsuf lainnya. Plato diantaranya, menilai manusia sebagai pribadi, tidak terbatas pada bersatunya jiwa dan raga. Bagi Plato, yang dimaksud pribadi manusia itu adalah jiwanya. Badan hanyalah alat yang berguna semasa hidup. Namun selain berguna badan juga memberati jiwa bila jiwa ingin mencapai kesempurnaan. Plato meyakini bahwa jiwa sudah memiliki pre-eksistensi di Dunia Ide, sebelum dipersatukan dengan badan. Thomas Aquinas tidak menyetujui pendapat ini, karena baginya pribadi manusia adalah makhluk individual yang dianugrahi kodrat rasional. Manusia baru menjadi pribadi yang utuh bila badan dan jiwa bersatu, karenanya tidak ada pre-eksistensi jiwa sebelum bertemu badan. Immanuel Kant berfikir bahwa, yang disebut pribadi adalah sesuatu yang sadar akan identitas numeriknya pada waktu yang berbeda-beda.
Lain lagi dengan John Stuart Mill yang beranggapan manusia adalah individual yang memiliki kebebasan mutlak dalam hubungannya dengan masyarakat. Bagi Mill kepentingan individu haruslah diutamakan dari kepentingan masyarakat . Sebaliknya John Dewey berpendapat, bahwa pribadi manusia adalah sosok pribadi yang merupakan wakil dari suatu grup atau kelompok masyarakat. Seorang individu manusia barulah bisa dikatakan pribadi bila ia mengemban dan menampilkan nilai-nilai sosial dari masyarakat tertentu. Bagi Dewey, manusia haruslah bermasyarakat, baru kemudian ia utuh menjadi manusia .

Manusia dari Perspektif Antropologi
Menurut Koentjaraningrat, antropologi adalah “ilmu tentang manusia”. Dalam perkembangannya di Amerika, antropologi dipakai dalam arti yang sangat luas, karena meliputi baik bagian-bagian fisik maupun sosial dari “ilmu tentang manusia”. Pada bahasan selanjutnya akan dikemukakan mengenai manusia dalam pandangan antropologi.
Sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Dalam Antropologi kebudayaan, manusia dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam suatu masyarakat yang majemuk, serta perkembangan dalam teknologinya, dan terutama hal yang mendasar adalah kemampuan nya dalam membentuk kelompok atau dukungan yang satu sama lain serta bentuk pertolongan terhadap sesama yang paling utama. Jadi dengan demikian perbedaan yang amat besar antara manusia dengan makhluk lainnya adalah: A) Sebagian besar dari kelakuannya dikuasai akal B) Kehidupannya di muka bumi hanya mungkin dengan suatu sistem peralatan yang merupakan hasil dari akalnya C) Sebagian besar dari kelakuannya harus dibiasakannya dengan belajar D) Mempunyai bahasa E) Pengetahuannya bersifat akumulatif F) Sistem pembagian kerja dalam masyarakatnya jauh lebih kompleks dari pada dalam masyarakat binatang G) Masyarakatnya menunjukan suatu aneka warna yang besar. Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu .
Menurut antropolog fitrah manusia itu ada tiga macam: mempertahankan hidup (dengan makan minum), melangsungkan hidup (dengan bersuami istri), dan membela hidup (dengan mempersenjatai diri). Dalam al Qur’an, Allah telah berfirman mengenai fitrah manusia, seperti yang dianalisa antropolog di atas, dan dicukupkan pula sarana untuk pencapaian fitrah tersebut:
1. Bahwa Allah SWT telah meng-ada-kan alam ini untuk kebutuhan manusia.
”Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.....” (QS. Al Baqarah : 29)
2. Bahwa Allah telah pula meyediakan sarana untuk melangsungkan hidup.
”Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak & cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS. An Nahl/16 : 72)

3. Bahwa Allah juga memerintahkan manusia untuk melawan demi eksistensinya.

”Dan siaplah kamu untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”
(QS. Al Anfal/8 : 60)

Manusia dari Perspektif Sosiologi
Dari sudut pandang sosiologi, manusia adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Interaksi ini terjadi dari pertama kali manusia diciptakan. Dalam kisah nabi Adam AS, diceritakan betapa nabi Adam merasa kesepian tinggal di surga sendiri, walaupun surga menyediakan semua makanan, minuman yang sangat lezat, suasana pemandangan yang sangat indah. Surga juga diisi dengan bunga-bunga dan burung-burung yang sangat cantik. Namun nabi Adam AS tetap merasa kesepian, karena tidak ada makhluk yang bisa diajaknya berinteraksi dengan caranya sebagai manusia. Allah yang maha mengetahui akhirnya menciptakan Siti Hawa, dan akhirnya nabi Adam AS memiliki teman sekaligus istri, yang bisa diajaknya berkomunikasi hingga tidak merasa kesepian lagi.
Lalu bagaimana proses timbulnya kebudayaan?
Kebudayaan timbul karena adanya kebutuhan manusia. Manusia dalam hidupnya memiliki kebutuhan yang sangat banyak. Sesuai dengan pembagian yang telah disistematisasi oleh Abraham Maslow sebagai piramida hierarki kebutuhan manusia .



Self
actualization


Esteem Needs

Belonging Needs

Safety Needs

Physiological Needs


Empat kebutuhan pertama disebut sebagai deficit needs atau D-needs, maksudnya bila salah satu dari empat kebutuhan itu tidak didapatkan manusia maka ia akan sangat merasakan kekurangan. Keempat kebutuhan ini sebagai kebutuhan yang paling dasar dan memerlukan keseimbangan (homeostatis) satu sama lainnya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan inilah manusia mengadakan interaksi, apakah itu dengan sesama manusia, dengan hewan dan tumbuhan, terlebih lagi dengan alam.
Proses interaksi antara individu akan menyebar menjadi proses interaksi antar kelompok. Karena individu-individu yang memiliki kesamaan akan mengelompokkan diri. Baik pengelompokkan tersebut sebagai bentuk inisiatif para individu tersebut, seperti adanya komunitas pencinta alam, atau pengelompokkan yang diatur oleh orang/pihak/komunitas lain, seperti sistem klasikal di sekolah.
Proses interaksi sosial berlangsung menurut suatu pola, yang sebenarnya berisikan harapan-harapan masyarakat tentang apa yang sepantasnya dilakukan dalam hubungan-hubungan sosial . Proses-proses interaksi tersebut melahirkan kebudayaan. Dalam setiap gerak-geriknya manusia melahirkan kebudayaan. Kebudayaan melingkupi apa yang dilakukan, diwujudkan, dikatakan, dibentuk oleh manusia. Manusia merupakan makhluk sosial, dimana manusia tidak akan pernah bisa hidup sendiri. Akan selalu membutuhkan kehadiran orang lain dalam hidupnya. Itulah sebabnya manusia hidup bermasyarakat, baik dalam masyarakat yang homogen, masyarakat majemuk, maupun masyarakat heterogen . Pendek kata manusia mulai dari awal penciptaannya, iapun telah menciptakan, membutuhkan sekaligus memanage kebudayaan tersebut, baik secara sadar ataupun tidak. Ashley Montagu mengatakan, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan hidupnya.


SEKILAS TENTANG BUDAYA
Lebih lanjut tentang budaya, kata budaya merupakan bentuk majemuk kata budi-daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa. Sebenarnya kata budaya hanya dipakai sebagai singkatan kata kebudayaan, yang berasal dari bahasa Sangsekerta budhayah yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Budaya atau kebudayaan dalam bahasa Belanda di istilahkan dengan kata culturur. Dalam bahasa Inggris culture. Sedangkan dalam bahasa Latin dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam .
Culture didefinisikan pertama kali oleh seorang antropolog E. B. Taylor tahun 1871. Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Perkembangan definisi dilanjutkan oleh Kuntjaraningrat yang mengartikan budaya dengan: keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Ia lebih memerinci lagi pembagian unsur kebudayaan menjadi sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, serta sistem teknologi dan peralatan. Ada dua hal penting yang bisa dipahami dari definisi kedua orang besar ini, yaitu “belajar”. Setiap orang, kelompok, generasi menularkan dan mewariskan nilai-nilai budaya pada orang lain, kelompok dan generasi selanjutnya melalui proses belajar. Inilah yang akhirnya mendasari bahwa: sistem, metode, kurikulum dan materi pendidikan suatu bangsa haruslah merujuk kepada kebudayaan bangsa tersebut. Dalam artian, tetap menerima pembaharuan bilamana dirasa perlu, tetap adaptif dan selektif terhadap materi atau unsur pendidikan yang dialirkan oleh budaya luar, namun tidak menghilangkan unsur-unsur penting budaya yang pada awalnya telah dimiliki bangsa tersebut. Ini berarti materi pendidikan yang berkualitas dan banyak diminati di negara lain belum tentu menjadi urgen di negara Indonesia.
Pada komunitas masyarakat yang heterogen, seperti halnya bangsa Indonesia, kebudayaan yang terbentuk adalah super culture atau kebudayaan induk. Contoh: adanya perundang-undangan Indonesia, sistem peradilan Indonesia. Indonesia terdiri dari berbagai suku. Setiap suku memiliki kebudayaannya sendiri, kebudayaan suku ini agak berbeda namun tidak menyimpang dari kebudayaan induk. Kebudayaan yang seperti ini diistilahkan sebagai sub culture. Yaitu bagian kebudayaan khusus yang ada di dalam kebudayaan induk namun tidak bertentangan dengan kebudayaan induk. Namun juga ada bagian kebudayaan yang bertentangan nilai-nilainya dengan kebudayaan induk, seperti prostitusi, judi dan sebagainya, para sosiolog menyebutnya dengan counter culture.
Dalam dunia profesi juga terdapat kebudayaan induk atau culture. Pada profesi hukum, terdapat kebudayaan induk para aparat hukum, ini disebut culture. Dunia aparat hukum terbagi menjadi polisi, hakim, jaksa, pengacara, petugas Lembaga Pemasyarakatan yang masing-masing memiliki kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan induk namun tidak bertentangan, disebut sub culture dunia hukum. Dari masing-masing bagian tersebut kadang ada sub culture yang negatif, misalnya budaya suap menyuap pengacara pada hakim, jaksa yang berpihak pada yang salah karena kepentingan pribadi, petugas LP yang menerima suap dari keluarga napi dan sebagainya, ini disebut counter culture dunia hukum. Ini juga berlaku pada dunia pendidikan, dunia medis, dan sebagainya.
Dalam perkembangan kehidupan manusia, akan selalu ada culture pada setiap ”dunia” tertentu, yang pasti memiliki sub culture dan juga counter culture. Misalkan dunia perusahaan yang berorientasi materi, beda culture, sub culture bahkan juga counter culturenya dunia pendidikan yang berorientasi ilmu dan moral, beda pula dengan culture dunia seni yang berorientasi nilai estetika, lebih berbeda lagi dengan culture dunia religi, yang berorientasi ketuhanan dengan ajaran dan kepercayaan tertentu. Komunitas remaja memiliki culture, sub culture dan counter culture yang berbeda dengan orang dewasa dan anak-anak. Begitulah seterusnya. Dalam setiap komunitas dan pranata akan selalu ada peluang dan orang yang menimbulkan atau mensosialisasikan counter culture. Peluang ini tidak akan pernah bisa dibasmi secara tuntas, manusia hanya mampu mengurangi dan mengantisipasinya saja.
Tiga unsur yang terpenting budaya dalam pembentukan hasil kebudayaan adalah sistem pengetahuan, nilai, dan pandangan hidup.
1. Sistem Pengetahuan
Para ahli menyadari bahwa masing-masing suku bangsa di dunia memiliki sistem pengetahuan tentang: alam sekitar, alam flora dan fauna, zat-zat, manusia, sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia, ruang dan waktu. Unsur-usur dalam pengetahuan inilah yang sebenarnya menjadi materi pokok dalam dunia pendidikan di seluruh dunia.
2. Nilai
Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Keputusan nilai dapat menentukan sesuatu berguna atau tidak berguna, benar atau salah, baik atau buruk, religius atau sekuler, sehubungan dengan cipta, rasa dan karsa manusia. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetis), baik (nilai moral atau etis), religius (nilai agama).
Pengaruh sistem nilai terhadap kehidupan individu karena nilai sebagai suatu realitas yang abstrak dirasakan sebagai daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup. Dalam realitasnya nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola berfikir, dan pola bersikap. Nilai adalah daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada tingkah laku seseorang. Oleh karenanya nilai menjadi penting dalam kehidupan seseorang, sehingga tidak jarang pada tingkat tertentu orang tidak segan untuk mengorbankan hidup demi mempertahankan nilai yang dianut.
Menurut Allport, Vernon dan Lindzey, ada enam nilai dasar yang dibawa manusia dalam proses berbudaya: 1) nilai teori : hakikat penemuan kebenaran lewat berbagai metode seperti rasionalisme, empirisme dan metode ilmiah, 2) nilai ekonomi, mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia, 3) nilai estetika, berkaitan dengan keindahan rupa dan warna, bentuk sesuatu, juga mencakup sense of harmony manusia terhadap sesuatu, 4) nilai sosial, berorientasi kepada hubungan antar manusia yang lebih ditekankan pada segi perikemanusiaan, 5) nilai politik, berkenaan dengan unsur kekuasaan dan pengaruh dalam kelompok atau terhadap kelompok lain, 6) nilai agama, mencakup penghayatan yang bersifat mistik dan transedental dalam usaha manusia memberi arti kehadirannya di bumi. Mengamati nilai ke enam, yaitu nilai agama, bisa disimpulkan bahwa, oleh Allport dan temannya ini agama (dalam makna ritual) merupakan produk kebudayaan, karena awalnya didorong oleh pemaknaan nilai agama itu sendiri. Senada dengan itu Hendro Puspito menganalisa bahwa agama suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan yang non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri dan masyarakat pada umumnya.
3. Pandangan Hidup
Pandangan hidup adalah suatu nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat dan dipilih secara selektif oleh individu, kelompok atau suatu bangsa. Pandangan hidup suatu bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya, dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.
Ketiga unsur ini, sistem pengetahuan, nilai dan pandangan hidup telah dimiliki manusia sejak dahulu kala, sesuai dengan keadaan dan peri kehidupan manusia pada masing-masing zaman. Ketiga unsur ini menyatu dalam pola fikir dan tingkah laku, bahasa dan juga sikap manusia terhadap dirinya, sesamanya, hewan, tumbuhan dan alam secara universal, dalam membentuk kebudayaan.

BEBERAPA HASIL KEBUDAYAAN
BAHASA
Alat interaksi yang pertama digunakan manusia adalah bahasa. Bahasa adalah sebuah sistem simbol-simbol yang dibunyikan dengan suara (vokal) dan ditangkap dengan telinga (auditory). Ralp Linton mengatakan salah satu sebab paling penting dalam memperlambangkan budaya sampai mencapai ke tingkat seperti sekarang ini adalah pemakaian bahasa. Bahasa berfungsi sebagai alat berpikir dan berkomunikasi. Tanpa kemampuan berpikir dan berkomunikasi budaya tidak akan ada. Selain itu, menurut guru besar sosiologi Soerjono Soekamto, bahasa digunakan manusia bukan hanya untuk menyampaikan maksud, melainkan juga menambah wawasan, mempengaruhi bahkan memaksa orang lain untuk mewujudkan keinginan . Bahasa adalah sarana yang netral, karenanya ia bisa digunakan untuk hal yang positif juga negatif.
Macam bahasa juga berbeda sesuai dengan kelompok culture atau sub culture yang membentuknya. Bahasa Sunda berbeda dengan bahasa Jawa. Suku Sunda pun bisa dianggap culture terhadap anak-anak suku Sunda, karena ada perbedaan budaya suku Sunda di Bandung dengan suku Sunda di Karawang atau Bogor. Oleh karenanya bahasa Sunda orang Bogor berbeda sedikit dengan logat dan materi bahasa orang Bandung. Begitu pula Jawa, ada perbedaan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bahkan sesama Jawa Timur atau sesama Jawa Tengahpun ada perbedaan.
Bahasa juga dibentuk oleh dunia profesi. Ini disebabkan dalam keseharian, setiap komunitas menghadapi berbagai gejala, fenomena dan peristiwa. Sekelompok orang atau komunitas tersebut perlu berinterpretasi terhadap apa yang dihadapi, dan memerlukan suatu istilah yang disepakati bersama oleh komunitas tersebut atau oleh komunitas lain yang sealiran untuk mempermudah komunikasi antar mereka. Dari sinilah terbentuknya bahasa melalui profesi. Bahasa dunia hukum mestilah berbeda dengan bahasa orang medis, bahasa orang agamis pasti bertolak belakang dengan kaum premanis. Istilah, julukan atau sebutan yang populer di kalangan remaja kemungkinan besar tidak ditemukan pada komunitas orang dewasa atau lanjut usia.

MITOS dan RELIGI
Telah diketahui bahwa di zaman purbakala, agama yang ada hanyalah berupa kepercayaan animisme dan dinamisme. Ini dimulai dari perasaan dan pemikiran manusia yang meyakini adanya kekuatan yang jauh lebih besar dari mereka, yang mampu melindungi dan menolong mereka, namun sekaligus mampu menghancurkan mereka apabila mereka melakukan kesalahan. Hingga akhirnya timbullah budaya menyembah pepohonan, matahari, api atau percaya pada kekuatan roh, benda antik dan sebagainya.
Mitos dan agama merupakan hasil budaya (ada juga ahli yang menyebutnya sebagai gejala budaya) yang paling rumit didekati dengan analisis logis. Namun, kenyataannya, manusia zaman purbakala melakukan keberlangsungan hidupnya dengan berpegang teguh pada mitos dan religi versi mereka di zaman itu. Mitos begitu kuat melingkupi pemikiran mereka. Misalkan pada suku asli Australia, Aborigin, ketika salah satu anggota suku ada yang meninggal, mereka tidak menganggap itu sudah semestinya atau suatu kebetulan, melainkan kematian tersebut pastilah karena gangguan roh jahat yang tidak ada “penawarnya”, guna-guna pihak lain, atau karena melawan kekuatan supra natural yang mereka segani . Sehingga berlandaskan mindset mereka yang seperti itu maka timbullah pemujaan-pemujaan, ritual-ritual, yang mereka maksudkan agar roh jahat atau kesialan tidak menghampiri. Juga timbullah pantangan-pantangan dalam hidup keseharian yang begitu ditaati dan dijaga oleh anggota dan kepala suku.

HUKUM
Tidak selamanya manusia berperilaku atau melakukan cara-cara yang baik untuk mencapai tujuan, terkadang ia mengambil jalan pintas. Counter culture sudah ada sejak zaman Nabi adam AS, dengan adanya pembunuhan pertama dalam sejarah manusia, yang dilakukan Qabil terhadap saudaranya Habil. Untuk itulah kemudian diperlukan sebuah sistem hukum. Agar manusia berjalan sesuai dengan norma yang ditentukan oleh komunitasnya, agar tidak terjadi benturan dengan sesamanya. Setiap hukum suatu bangsa akan berbeda dengan bangsa lain, karena pembentukan hukum dilandaskan kepada ideologi, pandangan hidup, nilai-nilai, kondisi sosial dan psikologis bangsa tersebut yang tentu saja berbeda dengan bangsa lain .


PENUTUP

Dari semua yang dibutuhkan, diusahakan, disikapi, dikatakan, dibentuk, atau bahkan dihancurkan oleh manusia akan menimbulkan kebudayaan. Dari kebutuhan berbicara lahirlah budaya, bahasa isyarat, huruf dan simbol-simbol. Dari kebutuhan sandang muncul benang, alat jahit, sepatu, tas, topi, bahkan sampai industri fashion. Dari kebutuhan pangan lahir resep makanan, perkakas dapur, tehnologi pertanian, sampai kepada budaya barter barang-barang kebutuhan yang kelanjutannya melahirkan ilmu ekonomi dan administrasi Dari kebutuhan papan muncul seni arsitektur, interior dan eksterior. Dari kebutuhan jiwa muncul mitos dan religi, Dari kebutuhan sosialnya lahir hukum dan perudang-undangan, nilai etika dan moral. Dari kebutuhan akal mucul kurikulum, dan sekolah.
Dari kebutuhan egonya tercipta perhiasan-perhiasan, pernak-pernik yang menentunkan kelas sosial pemakainya. Dari kebutuhan akan kesehatan badannya lahir ilmu medis dan pengobatan tradisional, sampai gerakan/jenis olahraga. Dari kebutuhan terhadap alat-alat muncul tehnologi perkayuan, permesinan, dari kebutuhan untuk mempertahankan eksistensinya di dunia lahirlah budaya riset untuk menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi kelangsungan umat manusia di muka bumi. Intinya, budaya lahir dari kebutuhan manusia.




DAFTAR PUSTAKA

’Abd Al Baqĩ’, Muhammad Fuad, Al Mu’jãm Mufahrâs Li Alfâdz Al Qur’ãn Al Karĩm, Al Qahirah: Daar Al Hadis, 1999

Allport, Gordon W., Philip E. Vernon, dan Gardner Lindzey, Studies of Values, Boston: Houghton-Mifflin, 1951

Asy'arie, Musya, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur'an, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992

Basyir, Ahmad Azhar, Falsafah Ibadah dalam Islam, Yogyakarta: UII Press, 1984

Cassirer, Ernst, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia, (Terj.) Jakarta: PT. Gramedia, 1990, Cet. Ke 2

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997

Dewey, John, Individuals Old and New, New York: Capricorn Books, 1962

Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994 Cet ke 2.

Hadi, Hardono, Jati diri Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1996

Hardoko, Dick, Citra Manusia, dalam Ilmu Budaya Dasar: Buku Pegangan Ajar, (Jakarta: UI Press,1995
Kaswardi, EM. K., Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Jakarta: PT. Gramedia, 1993

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalis, dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993
---------------------, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Jambatan, 1975

Maslow, Abraham, Motivation and Personality New York: Harper, 1945

Mill, John Stuart, On Liberty, Indianapolis: Hackett Publishing Company Inc., 1978

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000

Montagu, Ashley, Man: His First Million Years, New York: Mentor, 1961

Mubarok, Ahmad, Jiwa Dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, cet. ke 1,.

Muhasibi, Abdillah al, Hidup Tanpa Derita, “Kiat praktis dan Jitu Menata Kinerja Hati dan Akal, Jakarta: Penerbit Hikmah, 2006

Najati, Muhammad Usman, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Pustaka Hidayah: Bandung, 2002

Nawawi, Rif'at Syauqi, Konsep Manusia Menurut al-Qur'an, dalam Rendra K (Penyunting), Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Ndraha, Taliziduhu, Budaya Organisasi, Jakarta: Rineka Cipta, 2003

Puspito, Hendro, O.C., Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1998

Shihab, Quraish M, Tafsir Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), Cet. ke-7
----------, Wawasan al-Quran, Mizan, Bandung, 1996

Sitompul, A.A., Manusia dan Budaya, Jakarta: Gunung Mulia, 1993

Soekanto, Soerjono, Memperkenalkan Sosiologi, Jakarta: CV. Rajawali, 1985

Sukanto, Nafsiologi: Suatu Pendekatan Alternatif dari Psikologi, Jakarta: Integrita Press,1985
Sukirin, Pokok-pokok Psikologi Pendidikan, FIP-IKIP, Yogyakarta, 1981

Suparlan, Parsudi, Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1995)

Taylor, E. B., Primitive Culture, London: John Murray, 1871

 

miss_dzaa_here Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by faris vio Templates Image by vio's Notez